REVOLUSI SPIRITUAL
Gambar garuda—elang, yang membawa wujud Pancasila pasti ada pada setiap pecahan mata uang rupiah. Barangkali selalu mengingatkan Bangsa Indonesia untuk tidak satu detik pun melupakan nilai-nilai kebenaran yang ada dalam sila-sila Pancasila.
Apa nilai-nilai kebenaran Pancasila yang tak boleh satu detik pun dilupakan? Pasti sulit menjawabnya. Karena Bangsa Indonesia belum tahu; tidak pernah ingin tahu; dan tidak pernah berfikir untuk mencari tahu apa nilai-nilai kebenaran yang ada dalam sila-sila Pancasila.
Karena Bangsa Indonesia belum tahu tentang nilai-nilai kebenaran Pancasila. Bisa jadi. Selama ini Pancasila tanpa disadari telah diamalkan sembarangan.
Pancasila banyak disebut sebagai falsafah negara. Sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia. Dan tak jarang ada yang menyebut sebagai ideologi negara. Pada hal secara tegas UUD ’45 menyatakan bahwa Pancasila adalah "dasar negara."
Dengan demikian sangat mungkin Pancasila telah diamalkan dengan “panca-salah.” Yaitu salah tafsir, salah ajar, salah arah, salah-salahan dan salah urus. Uraiannya seperti berikut.
Sila pertama.Ketuhanan Yang Maha Esa, diamalkan dengan salah tafsir.
Keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, hanya dipercaya dan diyakini ada oleh Bangsa Indonesia. Hal ini merujuk pada Pe empat Pak Harto yang mencoba menawarkan pedoman penghayatan pengamalan Pancasila. Karena tidak tahu cara menyempurnakan Pancasila.
Artinya. Tuhan Yang Maha Esa hanya dianggap ada. Pada hal walau tidak diyakini atau tidak dipercaya ada, Tuhan Yang Maha Esa mutlak kekal Keberadaan-NYA. Keberadaan-NYA sungguh bisa dimengerti, disadari dan diakui karena menghadirkan bukti Keberadaan-NYA yang tidak terbantahkan.
Sila kedua. Prikemanusiaan Yang Adil dan Beradab, diamalkan dalam salah ajar, salah didik atau salah asuh.
Maka dunia pendidikan selama ini bingung mencari arah. Anak-anak bangsa dididik untuk menjadi bangsa yang berjiwa Pancasila yang berkepribadian Indonesia. Yang mengabadikan NKRI. Atau dididik untuk menjadi bangsa yang harus bisa ikut terbawa arus globalisasi yang masih membingungkan banyak negara.
Tata nilai bagaimana yang akan ada dalam budaya globalisasi barangkali masih menjadi tanda tanya bagi banyak negara. Yang ditakuti adalah kemungkinan muncul budaya hidup bersama saling mendesak. Atau saling menyingkirkan. Yang mungkin akan berlanjut tradisi "tawuran" tanpa senjata alias bertarung secara masal dengan tangan kosong.
Saat ini kejujuran jadi sikap aneh, langka dan sering berbahaya. Kebohongan dan kejahatan bisa jadi pelindung mereka yang salah. Keadilan tak jelas tempatnya. Mafia gentayangan di mana-mana. Kekuasaan diburu para preman. Sementara para penguasa bingung dengan kekuasaan yang amanah. Dan si pemilik kekuasaan tidak tahu tentang kuasanya.
Hanya duit yang ada gambar burung garuda Pancasila yang konsisten memberi kebenaran nilai segalanya. Sampai nilai ibadah pun dinilai dengan rupiah. Walau segalanya tidak selalu bisa dinilai hanya dengan uang.
Sila ketiga. Persatuan Indonesia, diamalkan di salah arah, atau salah jalur.
Seharusnya bersatu untuk menyatu demi kesatuan bangsa. Yang dilakukan justru bersatu untuk unggul pada berbagai sengketa dan tawuran. Bersatu untuk melawan mereka yang bukan lawan. Bersatu untuk menundukkan penegak hukum. Bersatu untuk melecehkan demokrasi.
Sila keempat. Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan, diamalkan dengan salah-salahan omong atau salahomongsaling menyalahkan omongan.
Hasilnya? Keputusan terbaik dengan mufakat diganti dengan nilai voting. Atau membuat mufakat yang dipaksakan. Demokrasi dimaknai omong apa saja dianggap sah-sah saja. Dan “bebas” mendirikan ormas-ormas semaunya.
Sila kelima.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat, diamalkan dengan tidak tahu cara mengurusnya sehingga terjadi salah urus.
Dampaknya. Yang sejahtera cuma yang duduk di “sana” dan di “sana.” Yang kaya tambah kaya. Dan yang miskin tambah melarat. Yang di bawah-bawah tidak kebagian apa-apa.
Barangkali begitulah kira-kira praktik panca-salah dalam mengamalkan Pancasila selama ini. Dan sesungguhnya setiap sila dari Pancasila diperlakukan dengan panca-salah.
Misalnya saja sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa.” Karena salah tafsir, maka yang terjadi salah ajar. Beragama yang seharusnya menunjukkan sikap saling menghormati; yang tampil justru sikap pengakuan merasa sudah paling benar dengan kepercayaan dan keyakinannya.
Karena salah ajar, maka terjadi salah arah. Maka beragama yang seharusnya bersama-sama tak pernah lelah berbuat yang ibadah. Yang terjadi justru memaksa diri mengumpulkan dana untuk bermegah-megah menyelenggarakan ritual-ritual akbar.
Karena salah ajar, maka orang sering omong salah-salahan omong, mencari-cari salah dan dosa orang lain sambil berpura-pura dirinya bebas dari segala salah dan dosa.
Karena sering salah omong, maka orang jadi salah tingkah yang berakibat sering salah urus segala hal. Korupsi dianggap hal biasa atau wajar. Korupsi yang seharusnya dipantang. Berubah menjadi hak menggunakan peluang menghalalkan yang diharamkan.
Beruntunglah Bangsa Indonesia. Presiden Jokowi hadir seperti berani keluar dari jalur “normal” yang sepuluh tahun dilalui Presiden SBY.
Presiden Jokowi berani tanpa kompromi membawakan nawa cita. Berani seperti tak peduli dengan DPR RI yang sedang gagap bergulat sendiri dengan gigih membagi diri dalam koalisi KMP dan KIH.
Maka dengan kehadiran Presiden Jokowi, cahaya terang Pancasila agak tampak sedikit lebih jelas dan nyata walau masih hanya pada wujud judul sia-silanya.
Demi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kaum Muhammadiah dan Nahdlatul Ulama bisa salat—idulfitri, pada hari yang sama.
Demi perikemanusian yang adil dan beradab semua penjahat narkoba disempurnakan hukumannya secara terhormat oleh regu tembak yang ditunjuk negara.
Demi persatuan Indonesia Petral dibubarkan.
Demi menghormati demokrasi, bisa digelar besar-besaran acara demo 411 dan demo 212 super damai.
Demi menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat diselenggarakan tax amnesty.
Ada pertanyaan mendasar. Kapan panca-salah mengamalkan Pancasila yang disebut di atas akan berakhir?
Jawabnya. Setiap saat. Jika sila-sila Pancasila tanpa disadari sudah mewujud nyata dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Berkat revolusi mental Jokowi yang terus dikobarkan Ahok.
Panca-salah mengamalkan Pancasila berakhir. Ditandai dengan kesulitan mendapatkan sosok-sosok pemimpin yang bersedia menerima mandat dari rakyat sebagai pemimpin yang siap jadi pelayan bangsanya. Sulit mencari pemimpin-pemimpin yang siap mengorbankan kepentingan pribadi demi rakyat yang dipimpin.
Dan tanpa disadari. Hadir budaya malu menonjolkan diri punya ambisi dan nafsu jadi presiden.
Hal demikian pasti bisa terjadi. Apa lagi jika keberadaan Pancasila sudah disempurnakan dengan uraian detil makna setiap silanya. Kebenaran Pancasila pasti bisa dimengerti, bisa diajarkan, bisa dipelajari dan bisa diamalkan dalam kehidupan bernegara oleh seluruh bangsa di dunia.
Jika banyak negara mau memakai Pancasila dalam bernegara maka seluruh bangsa di dunia akan hidup dalam dunia baru. Seperti cita-cita Bung Karno.
Setiap warga negara akan merasa temuliakan oleh keberadaan negaranya. Dan yang demikian itu ada di negara yang Islami.
Demikian. Salam bahagia dan damai sejahtera bagi yang sempat membaca tulisan ini. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H