Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penyalahgunaan Kekuasaan Lebih Berbahaya dari Kejahatan Korupsi, Narkoba dan Terorisme?

25 September 2016   18:10 Diperbarui: 25 September 2016   18:27 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Saat ini ada forum yang sedang sibuk membahas Revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi dan narkoba.

Menkumham Yasonna H Laoly mengundang para ahli hukum untuk ikut hadir dalam forum yang digelar dengan tema "Pembuatan Cetak Biru Pembangunan Hukum Indonesia di bidang Hukum dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Hak Warga Binaan Permasyarakatan," sebagai sikap nyata pemerintah sangat memperhatikan partisipasi publik.

Ada kegelisahan publik karena PP No.99 Tahun 2012 dianggap tidak sempurna dan menguntungkan koruptor.  Maka diundang para pakar untuk membahas dan mengatasi persoalan tersebut.

Harapan Menkumham Yasonna H Laoly, setelah narapidana korupsi menjalani berapa tahun hukuman di penjara, baru dapat diberikan remisi.  

Tetapi, untuk sementara, para pakar menyepakati pemberian remisi hanya dapat diberikan kepada narapidana kasus narkoba. 

Dan sementara. Yang disepakati dan bisa dirumuskan yaitu bagi narapidana narkoba yang bukan bandarnya. Bandarnya harus dihukum berat. Remisi diberikan setelah narapidana menjalani masa tahanan sekian tahun.

Sedang remisi narapidana kasus korupsi masih dalam tahap pembahasan.

Menurut Yasonna H Laoly, pemberian remisi terhadap koruptor harusnya dilakukan oleh hakim saat menjatuhkan vonis di pengadilan. Hakim adalah yang membuat putusan tidak memberi remisi. Karena pencabutan hak remisi ada pada hakim.

Pemikiran dan harapan penulis sebagai orang awam, yang juga harus menaati hukum-hukum yang berlaku di negaranya.  Sebaiknya tidak ada hukuman yang ringan dan berat di negara ini. Yang ada hanya hukuman yang adil.

Yaitu  hukuman yang “berperikemanusiaan yang adil dan beradab,” sesuai dengan sila kedua Pancasila.

Kalau narapidana memunyai hak menerima remisi. Semua narapidana tanpa diskriminasi sebaiknya juga berhak menerima remisi.

Semua narapidana divonis oleh hakim dengan adil dan beradab berdasar kitab undang-undang hukum pidana. Jadi sebaiknya tidak perlu ada hukuman yang berat dan hukuman yang ringan. Yang ada hukuman yang minimal dan maksimal dalam kontek waktu menjalani hukuman tentunya.

Bahwa kemudian ada terdakwa yang tidak dihukum sama sekali bukan berarti kesalahannya dianggap kecil maka dimaafkan. Tetapi memang yang bersangkutan benar-benar tidak harus dihukum menurut hakim. Karena dakwaan jaksa penuntut kepada terdakwa tidak terbukti.

Hukuman mati bagi bandar narkoba sama sekali bukan hukuman yang berat. Justru hukuman tersebut membebaskan terpidana mati dari penderitaan hidup hidup sebagai orang terhukum.

Hukuman mati itu pasti harus benar dan adil karena yang dihukum membahayakan kehidupan suatu bangsa.

Hukuman mati bagi teroris apakah adil? Belum tentu.

Sebab yang mau menjadi teroris umumnya hanya orang bodoh yang bisa disesatkan dengan faham yang menyesatkan kebenaran suatu ajaran agama. Anggap saja para teroris adalah orang yang tidak waras  atau “gila”.

Demikianlah kesepakatan yang mungkin harus dicapai oleh semua penegak—ahli,  hukum. Seorang teroris harus diperlakukan sebagai orang bodoh—gila, yang berbahaya bagi kehidupan siapa saja.

Sehingga dalam mengadili kasus terorisme, tidak perlu ada perdebatan sengit antara jaksa penuntut dan penasihat hukum. Memperdebatkan barang bukti dan kesaksian di persidangan, yang sangat bisa “mengecoh” persepsi umum tentang terorisme.

Dalam perkara terorisme. Yang ada hanya perdebatan sengit antara jaksa penuntut dan penasihat hukum, untuk membantu hakim bisa memvonis secara berperikemanusiaan yang adil dan beradab, terhadap mereka yang bodoh dan bertambah bodoh dengan pemahaman ajaran fahamnya,  maka mau menjadi anggota kelompok teroris di negeri ini.

Bahwa seorang teroris bisa mati ditembak oleh densus delapan delapan. Bisa saja karena teroris itu umumnya bersenjata api, melawan sampai mati dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap polisi.

Bangsa Indonesia bukan bangsa pengidap dendam seperti yang mungkin sempat terlihat dikesankan oleh beberapa tokoh penting di negeri ini.

Maka para koruptorpun tidak perlu dihukum seberat-beratnya. Apa lagi sampai dimatikan atau dibunuh oleh negara.

Karena dendam kesumat terhadap koruptor, walau tersamar sesungguhnya masih bisa berisi harapan untuk menerima pujian sebagai orang yang gigih melawan korupsi.

Terhadap koruptor. Negara cukup menyita seluruh harta kekayaannya hasil korupsi. Kalau mungkin termasuk uang yang tersembunyi di bank-bank luar negeri disita oleh negara.

Dan koruptor tetap harus dipenjara atas perbuatan korupsi yang dilakukan. Tentu saja sebagai narapidana yang tetap memunyai hak menerima remisi.

Bukankah tax amnesty diberlakukan bagi para pengemplang pajak yang sebenarnya juga wujud dari para koruptor yang tidak kena otete KPK?

Kalau ada tax amnesty bagi para pengemplang pajak, kenapa harus tidak ada remisi bagi narapidana korupsi?

Tampaknya kejahatan yang dianggap sangat berbahaya di negeri ini hanya korupsi, narkoba dan terorisme saja. Maka ketiga pelaku kejahatan tersebut perlu diperlakukan diskriminatif oleh negara. Tidak boleh menerima remisi.

Menurut penulis ketiga jenis kejahatan tersebut masih kalah hebat kadar kejahatannya dibanding dengan “kejahatan menyalahgunakan kekuasaan negara.”

Hakikat kekuasaan negara  adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, atau diminta dari rakyat.

Penyalahgunaan kekuasaan negara bisa menghukum, menghilangkan bahkan menghabisi siapa saja yang tidak bersalah dengan cara apa saja, oleh  yang menghendaki.

Dalam banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan memang bisa ditangani secara benar di negeri ini. Tetapi di negara manapun seringkali bisa dianggap seperti bukan hal yang perlu terlalu dibahas seperti lazimnya bernegara secara beradab.

Seperti waktu terjadi Perang Teluk. Kekuasaan boleh menuduh Irak memiliki senjata pemusnah yang berbahaya. Ternyata kemudian ada sumber lain yang dipercaya yang menyatakan bahwa tuduhan itu katanya tidak benar.

Siapa yang harus peduli dengan penyalahgunaan kekuasaan yang demikian? Saddam Husain sudah digantung oleh bangsanya sendiri. Seperti Saddam Husain pernah melakukan hal yang sama terhadap bangsanya yang dianggap musuh.

Demikian. Salam sejahtera kepada yang sempat membaca tulisan ini. Terimakasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun