Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Megawati, Susilo BY, Prabowo, Nama-nama Besar yang Hilang Kebesarannya?

11 September 2016   06:22 Diperbarui: 11 September 2016   08:55 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Sejarah Bangsa Indonesia mencatat dengan tinta tebal. Nama-nama yang tidak akan pernah terlupakan oleh bangsa ini dalam kurun waktu yang pendek dan singkat mengikuti zaman setiap rezim.

Nama besar Bung Karno tak akan pernah terlupakan walau rezim-rezim bergantian menandai setiap zaman di negeri ini.

Dan saat ini nama besar Pak Harto nyaris hanya terdengar saat orang-orang masih juga bertanya, siapa dalang di balik layar yang menghabisi demikian banyak nyawa orang PKI.  Meski ada rekaman peristiwa bahwa beliau sendiri menyatakan yang membubarkan PKI.

Nama besar Pak Habibie barangkali akan abadi sebagai salah seorang negarawan negeri ini yang tidak tampak tergiur dengan politik. Tetapi sangat bersemangat mengajak bangsanya selalu maju seirama dengan langkah peradaban modern. Terutama dalam dunia penerbangan.

Nama besar Gus Dur, barangkali akan abadi sebagai negarawan yang “nakal” terhadap kenakalan mereka yang nakal-nakal dalam bernegara.

Nama besar Megawati, mungkin masih perlu direnungkan dan dipertanyakan.  

Demikian pula dengan nama besar Susilo Bambang Yudhoyono—SBY.  

Ternyata sampai detik ini. Penampilan Megawati dan SBY terkesan masih sangat “saling terpengaruh.”

Nama besar Megawati agaknya tak bisa dipisahkan begitu saja dengan nama besar Susilo Bambang Yudhoyono dan  juga dengan nama besar Prabowo Subianto pendiri partai Gerindra.

Sebagai presiden ke lima NKRI. Megawati semula agaknya terlalu banyak berharap kepada sosok SBY untuk bersama-sama membangun negara ini. Di tengah suasana transisi dan masih sangat kuatnya otot orde baru di mana-mana. Terutama di Partai Golkar.

Dimasukkanlah SBY sebagai seorang tokoh yang mau dekat dengan dirinya. Sebagai salah satu menteri dalam kabinet Mega-Hamzah.

Mungkin disertai harapan. SBY masih bersamanya, bila Mega selesai masa tugas sebagai presiden NKRI yang tidak cukup genap lima tahun bersama Hamzah Haz.  Dan Mega bisa terpilih kembali sebagai presiden NKRI periode 2004-09.

Harapan Mega lenyap dalam kecewa yang mungkin dirasa berat. Ketika SBY bermanuver mengundurkan diri sebagai menteri.  Dengan meninggalkan jejak yang berkesan terderitakan karena “direndahkan” Megawati.

Selanjutnya bangsa ini disuguhi tontonan mencengangkan. Secara gamblang tersaksikan oleh bumi dan langit hubungan “luar biasa” antara dua tokoh bangsa yang tampak saling mendiamkan satu terhadap yang lain.

Mega dan SBY seperti dua batang magnit. Jika kutubnya yang sama didekatkan pasti saling menolak untuk menjauh. Dan pasti saling menarik jika kutubnya berbeda.

Pada pilpres 2009 Mega dan Prabowo dengan alot saling memaksakan diri maju berpasangan sebagai capres-cawapres.

Mega harus berdampingan dengan Prabowo yang beraroma wewangian orde baru. Mereka dapat bahu membahu kampanye demi kemenangkan bersama.

Pilpres 2009 menghadirkan pertarungan Mega-Prabowo melawan SBY-Budiono sebagai patahana tangguh yang sudah dinyatakan menang dalam satu putaran oleh Partai Demokrat sebagai mesin politiknya. Sejak jauh hari sebelum hari pencoblosan.

Hubungan dekat penuh saling pengertian Mega dan Prabowo juga berhasil melepaskan DKI Jakarta dari Fauzibowo.  Dan menyerahkan sepenuhnya pemprov DKI Jakarta dengan penuh kebanggaan kepada Joko Widodo-Ahok.

Ada ungkapan. Dalam politik tidak ada persahabatan yang abadi. Yang ada hanya persahabatan yang dinamis. Dengan kata lain, persahabatan dalam politik hanya sementara. Dan yang sementara itulah yang abadi.   Persahabatan dalam berpolitik selalu berubah-ubah.  Menyesuaikan terhadap perubahan kepentingan pihak-pihak yang perlu bersahabat.

Pilpres 2014. Tidak ada petahana. Semua tokoh terkenal di negara ini bisa maju sebagai capres. Dan berpeluang sama jika Megawati mau maju sendiri sebagai capres. Sebab di mata pengamat politik dan lembaga survei Mega bisa dikalahkan oleh siapa saja.

Agaknya Mega punya tabiat bisa mengalah asal tidak kalah. Maka ia tidak mau maju sendiri sebagai capres karena tidak mau kalah. Demi NKRI.

Ditunjuklah Jokowi sebagai petugas partai menjadi capres didampingi JK yang disingkirkan SBY dari perannya sebagai wapres dalam pemerintahannya pada periode yang kedua. Mungkin dengan dasar perhitungan dari pengalaman. Bahwa SBY menang dalam pilpres 2004 karena berpasangan dengan JK.

Prabowo jengkel, kesal dan marah karena Mega tidak mau ditemui. Kemarahan Prabowo terhadap Mega bisa dimengerti. Mega tidak mau maju sendiri bersaing dengan dirinya. Untuk dikalahkan.

Dan Mega juga tidak mau memerintahkan Jokowi untuk mendampingi Prabowo. Demi persahabatan yang sudah terjalin baik pada masa menghadapi SBY pada pilpres 2009 yang lalu. Sampai bersama-sama sukses mengusung Jokowi-Ahok unggul dalam pilkada DKI 2012 yang lalu.

Mungkin persahabatan antara Mega dan Prabowo memang hanya sebatas pilpres 2009. Dan pilkada DKI 2012. Demi Jakarta yang lebih baik dari masa-masa lalu.

Hubungan Mega dan Prabowo selanjutnya? Terserah bagaimana Jokowi-JK “memaksa” seluruh elemen bangsa untuk bisa bergairah bersama menata kehidupan bernegara dengan bermartabat. Sesuai Pancasila dan UUD’45.

Menurut penulis sederhana saja. NKRI butuh negarawan dan politisi. 

Yang disebut seorang negarawan adalah warganegara yang tahu peranannya dan mengerti etika yang benar, dalam bernegara. Khususnya etika berpolitik di NKRI.  Seorang negarawan mampu memberi pengertian yang menjadikan orang lain mengerti dan beretika dalam bernegara.  

Sedang seorang politisi adalah seorang warganegara yang berperan serta dalam pengelolaan negara melalui partai politik.

Berbeda dengan nama-nama besar yang lain. Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie dan Gus Dur.

Megawati terkesan menyampaikan kepastian kepada semua elit parpol. Bahwa jangan asal-asalan bermain politik. Kalau keliru, apa lagi kalau sampai salah bermain bisa menyengsarakan rakyat dan membawa penyesalan abadi selama hidup. Hingga parpol mati sendiri terkubur dalam angan-angan para pendirinya.

Sosok politisi harus pantang bermain curang. Tetapi kalau terpaksa memang harus membiarkan siapapun yang minat bermain curang. Kalau mampu dan siap menerima resiko.

Jangan memaksakan diri berjuang jadi presiden. Jabatan presiden bukan segalanya.  

Serahkan mimpi jadi presiden kepada mereka yang kuasa mengatur serta taat kepada mekanisme partai.

Lima tahun adalah satu periode masa jabatan presiden. Waktu yang sesungguhnya hanya sekejap dibanding kehidupan bernegara yang abadi. Waktu yang belum tentu cukup untuk bisa menghilangkan salah dan dosa-dosa masa lalu.

Bagaimana wujud nama-nama besar Mega, SBY dan Prabowo saat ini?

Jawabnya. Mungkin saat ini wujud nama-nama besar mereka karena masih sangat sering ikut terdengar disebut dalam ramainya pembicaraan di dunia maya yang menyebar di seluruh penjuru jagad raya? Barangkali seperti yang penulis sampaikan dalam tulisan ini.

Terimakasih. Salam buat yang sempat membaca tulisan ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun