Pada peraturan sebelumnya salah satu syarat bagi koruptor yang ingin mendapat remisi adalah dengan ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan.
Namun dalam revisi, hal ini ditiadakan dan disebutkan pada pasal 32 ayat 1 bahwa syarat untuk mendapat remisi hanya mewajibkan terpidana untuk berkelakuan baik dan telah melewati sepertiga masa tahanan.
Penulis berpendapat. Berkelakuan baik memang lebih baik dari pada mau bekerjasama ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan karena ingin dapat remisi.
Sebagai manusia, seorang terpidana wajar bisa berbuat baik dan menerima remisi. Dan juga seorang terpidana wajar bisa berbuat buruk—jahat, yang bisa menambah hukumannya menjadi lebih lama atau bahkan kemungkinan bisa ditetapkan kehilangan hak menerima remisi oleh yang berwenang menetapkan.
Sehingga sangat wajar setiap terpidana yang berkelakuan baik menerima remisi tanpa diskriminasi.
Bahwasanya seorang terpidana karena kasus korupsi bisa menerima remisi dengan ada syarat ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan. Seharusnya memang tidak perlu dijadikan syarat.
Alasannya. Setiap warganegara yang benar—baik, diminta atau tidak diminta, kalau memang “mampu dan memungkinkan” wajib ikut membantu penegak hukum membongkar perkara tindak pidana apapun. Tanpa mengajukan syarat apapun kepada negara.
Dan negara wajib memberi penghargaan yang pantas kepada seorang narapidana yang berjasa kepada negara. Kalau perlu bisa saja negara memberi penghargaan sekelas bintang penghargaan atau tanda jasa. Bukan penghargaan yang sekadar memberi remisi.
Mari sedikit direnungkan lagu-lagu Nasaruddin, bendahara Partai Demokrat. Nyanyiannya sumbang di kuping ternyata merdu merayu di kalbu yang rindu tegaknya keadilan.
Nasaruddin bernyanyi tidak asal nyanyi. Nyanyiannya seperti mantra bertuah yang mampu merobohkan proyek Hambalang dan yang lain-lain.
Remisi diadakan untuk menghormati dan menghargai hak seorang terpidana. Tanpa diskriminasi.