Mendapat cibiran, celaan, dan perlakuan intoleran saat berada di tengah-tengah masyarakat akan menyimpan rasa tersendiri dalam jiwa. Entah rasa sakit, marah atau malah dibalas dengan senyuman. Semua cacian dan celaan akan disikapi berbeda tergantung orangnya.
Kita adalah 'manusia'. Merupakan salah satu makhluk yang dimulaikan di antara makhluk-makhluknya lain seperti, kambing, monyet, dan hewan lain.
Dimuliakan sebab beberapa faktor di antaranya karena manusia diberikan akal untuk berpikir. Akan tetapi, saat berada di khalayak dan bergaul dengan manusia tiba mendapat celaan, dihina, dan diserupakan dengan bintang.
Hinaan-hinaan itu akan menimbulkan reaksi ada yang menyikapinya dengan reaksi biasa-biasa saja. Bahkan dibalas dengan senyuman dan ada pula yang menyikapinya dengan cara lain, seperti marah, membakar, bertindak anarkis, dan merusak. Merusak fasilitas umum, merusak tanaman dan barang milik orang lain. Ada pula yang menyikapi dengan membalas celaan itu dengan berkata kasar, membalas celaan dan olok-olokan yang berlebihan.
Beberapa reaksi di atas terjadi ditengarai sebab aksi rasisme dan rasial yang menimpa sebagian mahasiswa Papua di Jawa Timur, pada tanggal 16 Agustus 2017. Menyikapi hal itu, sebagian mahasiswa baik di Papua maupun di Papua Barat melakukan aksi turun jalan, Senin 19 Agustus 2019.
Di Papua Barat sendiri aksi turun jalan diwarnai aksi bakar ban, menebang pohon, dan merusak fasilitas umum.
Benarkah sebutan "monyet" mendasari semua aksi dan perbuatan yang lebih rendah dari binatang itu. Ataukah ada faktor lain yang mendorongnya. Ataukah kalian korban pihak ketiga. Entahlah...!
Anda mungkin kaget dengan perlakuan rasisme dan rasialisme yang dialami sebagian dari kalian yang berkulit hitam dan berambut keriting. Sehingga muncul berbagai macam reaksi dan aksi.
Itu semua karena berbeda cara menyikapinya?
Kalian sadar bukan monyet. Akan tetapi sebagian dari kalian menyikapinya dengan sifat yang lebih rendah dari binatang dengan melakukan berbagai macam tindakan pengrusakan dan pembakaran.
"Kalian monyet atau bukan," Ucap salah satu pemimpin orasi di depan kantor Pos Abepura, Kota Jayapura, pada Senin Siang. Ucapan itu dijawab serentak "BUKAN" oleh ribuan mahasiswa ikut demo. Kalian sadar bukan monyet. Lalu apa yang kalian begitu marah?
Kawan...! Kalian sama dengan sebagian orang yang hidup di negeri ini. Mereka setiap hari mendapat perlakuan rasial dan rasisme. Anda pernah melihat orang berjenggot. Ya...! Mereka dicela dan diserupakan dengan "kambing" karena mereka memelihara jenggot. Mereka dicurigai teroris karena penampilannya. Padahal mereka hanya memakai celana di atas mata kaki. Bahkan perempuan di antara mereka di serupakan dengan ninja. Dan beragam celaan yang mereka terima.
Tapi mereka menyikapi dengan cara berbeda...!
Mereka dicaci seperti kambing, mereka hanya tersenyum, mereka dikatakan celana kebanjiran mereka tetap tenang dan katakan ninja tak membuatnya bereaksi berlebihan. Tak ada aksi bakar ban, aksi merusak apalagi membakar. Tidak pula balik mencela mereka dengan ucapan serupa.
Walaupun mereka dikatakan "kambing" mereka tersenyum, bersabar dan tegar di atas celaan itu. Itu semua karena mereka sadar, mereka bukan kambing. Jadi tidak ada yang perlu dipersoalkan. Padahal celaan itu sudah bertahun-tahun mereka alami dan rasakan. Mereka menganggap angin lalu, walaupun mulut para pencela itu berbusa, mereka tetap tak menghiraukan karena memang bukan kambing.
Mental mereka kuat bagai baja. Tak terbawa perasaan atau istilah kerennya Baperan. Mereka tidak terpancing dengan sebutan kambing, ninja dan olok-olokan lainnya.
Anda mengalami rasisme dan rasialisme. Mereka juga mengalami. Tapi cara pandanglah yang membuat reaksi dan aksi yang berbeda.
Asham, di Kota Jayapura, Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H