Indikator bahan bakar yang masih rendah kualitasnya adalah kandungan oktane number  (RON). Bahan bakar dengan RON 88 (premium) itulah yang kini paling dominan digunakan masyarakat.
Semakin tinggi kandungan RON suatu bahan bakar minyak, makin rendah emisi gas buangnya dan semakin rendah kadar RON-nya, makin buruk dampaknya terhadap lingkungan serta kesehatan manusia tentunya.
Ini memang fenomena tragis! Manakala di seluruh dunia levelnya sudah kampanye penggunaan bahan bakar standar Euro 3 (RON di atas 92), eh di Indonesia masih terkungkung dengan penggunaan bahan bakar RON 88 (premium) yang masih di bawah standar Euro 2. Bandingkan dengan negeri jiran Malaysia.
Di sana RON terendah untuk kendaraan bermotor adalah RON 95, sejenis pertamax turbo ala PT Pertamina.
Namun di sisi lain, tiga tahun belakangan ini, ada fenomena perubahan perilaku masyarakat, yakni migrasi dari pengguna bahan bakar RON 88 menjadi pengguna bahan bakar dengan RON 92.
Atau minimal bahan bakar dengan RON 90, pertalite. Terbukti, terhitung sejak Juli 2017, pemakaian bensin premium hanya sekitar 41%.
Padahal pada tahun sebelumnya konsumsi premium mencapai 79%. Adapun jenis pertalite mencapai 40% dan pertamax 17%. Pengguna sepeda motor pun lebih pede menggunakan pertamax daripada premium.
Kenapa Terjadi?
Boleh jadi tumbuh kesadaran (awareness) baru dari konsumen bahwa kualitas bahan bakar akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja mesin kendaraan, bahkan kesehatan mesin dalam jangka panjang.
Semakin tinggi kadar RON-nya, tarikan kendaraan semakin bertenaga, semakin maknyus. Sebaliknya, bahan bakar dengan kadar RON rendah (seperti premium) membuat kinerja mesin kendaraan lesu darah dan cepat rusak pula.Â
Namun alasan yang paling sahih mengapa terjadi migrasi pengguna bahan bakar, lebih karena faktor harga. Disparitas harga antara jenis premium dengan nonpremium semakin kecil, tidak signifikan.