Apa itu Dialetika ?
Dialektika (bahasa Yunani: he dialektike) adalah kata sifat yang dijadikan kata benda, berasal dari kata kerja dialegomai. Kata terakhir diturunkan dari dialego, bentukan kata depan dia (lewat/melalui) dan kata kerja legein (berbicara). Dialektika dekat dengan dialog (salah satu bentuk infinitif lainnya adalah dialegesthai, bercakap-cakap; Cassin 2004a). KBBI mendefinisikan dialektika sebagai "hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara menyelidiki suatu masalah".
Dialektika adalah salah satu konsep penting dalam filsafat. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialektikos, yang berarti dialog atau percakapan. Dalam konteks filsafat, dialektika mengacu pada proses pemikiran yang melibatkan dialog atau percakapan antara dua atau lebih ide atau konsep yang berlawanan. Dialektika adalah metode dimana penalaran yang bertujuan untuk memahami hal-hal secara konkret dalam semua gerakan, perubahan, dan interkoneksi kita dengan sisi-sisi yang berlawanan dan saling bertentangan dalam kesatuan. Sebagai tekhne, dialektika diartikan sebagai: a) keterampilan berdialog (dia-logos), dan b) keterampilan berdiskusi melalui tanya-jawab.
Dalam dialektika, ada pembagian peran yang jelas antara penanya (A) dan penjawab (B). Orang yang bertugas bertanya (A) mesti berusaha menolak tesis (pernyataan) yang diajukan si penjawab (B). Sementara tugas B adalah semaksimal mungkin mempertahankan apa yang menjadi tesisnya. Si A, dalam tugasnya bertanya, akan mengajukan hal-hal untuk disepakati dulu, dan bila B menyetujuinya, maka kesepakatan tersebut menjadi premis-premis yang digunakan untuk menolak tesis B. Dalam arti ini, A hanya bisa menolak tesis B berdasarkan premis-premis yang sudah disepakati juga oleh B. Bila atas dasar premis-premis tersebut kemudian ditarik konklusi (kesimpulan) yang menyangkal tesis B, maka dengan sendirinya tesis B terbantah. Bila demikian, tidak ada jalan lain bagi B kecuali menerima kekalahannya (karena tesisnya terbukti salah). Mengapa ia harus menerima kekalahan? Karena B telah memberi persetujuannya pada tahap-tahap yang menjadi proses penolakan tersebut (yaitu ketika B menyepakati usulan yang menjadi premis bersama).
Bagaimana Dialektika dari Hegel dan Hanacaraka ?
Dialektika Hegel: Gerak Pikiran
KBBI (2001) dalam penjelasannya tentang dialektika menyebutkan bahwa istilah ini merupakan "ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi".
Bagi G. W. F. Hegel (1770-1831), dialektika menggambarkan cara bekerja pikiran, yang bila mengikuti aturan bekerjanya, pikiran itu sesuai dengan proses perkembangan realitas itu sendiri. Dialektika menggambarkan bagaimana pikiran sampai pada pengakuan bahwa apa yang tampaknya dalam realitas bersifat kontradiktif sebenarnya menyatu, dan bagaimana pikiran menemukan prinsip kesatuan tersebut. Dalam arti sangat luas, dialektika bagi Hegel menggambarkan arus berjalannya pikiran, momen-momen dalam pikiran, di mana pikiran berjalan terus untuk akhirnya mencapai kategori kesatuan yang selalu lebih tinggi dari sebelumnya.
Pikiran manusia bergerak, ia melakukan refleksi diri, artinya, ia menghadirkan bagi dirinya sendiri dalam sebuah identitas yang berbeda. Gerak pikiran adalah arus identitas diri yang muncul berkat pembedaan diri dalam apa yang disebut refleksi diri. Bila pikiran sama dengan realitas, maka gerak perkembangan realitas juga seperti itu: konstitusi diri mengandaikan pembedaan dari diri. Segala apa yang ada hanya ada karena meliputi tiga momen: 1) identitas dengan dirinya sendiri, 2) perbedaan dengan dirinya sendiri, dan 3) kesatuan dari identitas dan perbedaan tersebut (Bourgeois 1998, 12-13).
Dalam filsafat kita mengenal "prinsip identitas", artinya, saat berpikir kita mesti bertitik pijak pada logika dasar: "A adalah A, atau dengan kata lain, A bukanlah non-A". Dengan dialektikanya, Hegel menawarkan logika yang sama sekali lain: "sebuah A hanyalah A berkat kesatuan antara A dan non-A". Kesatuan ini bisa dijabarkan dalam tiga momen berbeda. Dalam momen pertama, sebuah A tentu saja dikatakan A sejauh ia identik dengan dirinya sendiri (in itself). Maka kita terbiasa mengatakan A adalah A. Dan dengan mengatakan itu, Verstand (nalar) me-negasi (menyangkal) segala yang lainnya, A bukan B, bukan C, dst. Itulah momen kedua saat identitas A diteguhan lewat pembedaannya dari B dan C. Di sini Verstand menyatakan bahwa identitas A dikenali berkat negasinya atas apa yang bukan A, yang non-A (for itself). Momen ketiga adalah saat menyadari bahwa identitas A pada jati dirinya memang terdiri dari kesatuan antara A dan non-A tersebut. A menjadi A karena identitasnya meliputi A itu sendiri dan segala yang bukan A yang dinegasi. Identitas konkret A adalah sebuah keseluruhan (in and for itself). Identitas sebagai hasil gabungan "identitas dan perbedaan" inilah yang disebut totalitas (Keseluruhan). Konsep (Conceptio, Begriff) universal A yang konkret muncul berkat gerakan con-crescere (concretum, tumbuh bersama) dari gerak negasi (momen kedua) dan negasi atas negasi (momen ketiga).
Untuk memahaminya, kita mesti bertitik tolak dari keyakinan Hegel bahwa: only the Whole is True, Das Wahre ist das Ganze, kebenaran adalah keseluruhan. Untuk sampai ke the Whole ada tahapan, ada momen yang partially true. Namun hanya dalam the Whole tiap tahapan diambil kebenarannya dan dilampaui kesalahannya. The Whole sebagai yang benar tampak dalam pelampauan/pelestarian (overcoming/preserving) momen-momen yang dilewatinya. Kebenaran dengan demikian tampak sebagai suatu dinamika pelampauan/ pelestarian menuju keseluruhan atau totalitas. Hanya dalam totalitas itulah pengetahuan yang sebenarnya terpahami
Logika yang ditawarkan Hegel adalah sebuah logika organis, dan istilah khusus Hegel untuk pelampauan sekaligus pelestarian momen-momen itu adalah Aufhebung (dalam bahasa Inggris kadang diterjemahkan sebagai sublation). Proses Aufhebung menggambarkan karakter realitas yang dinamis, yang motornya adalah negasi (penyangkalan). Meski istilah "tesis---antitesis---anti-antitesis (sintesis)" tidak berasal dari Hegel, skema triadik ini kurang lebih bisa membantu menggambarkan skema negasi yang menjadi roh dialektika Hegelian.
Istilah Tesis         : Sebuah pemikiran diafirmasi, namun setelah direnungkan tampak tidak cukup dan kontradiktif.
Istilah Anti Tesis     : maka muncullah negasi atas afirmasi tadi, yaitu antitesis, yang setelah direnungkan juga terbukti tidak mencukupi.
Istilah Anti-antitesis (atau Sintesis): kemudian di-negasi lagi, dan seterusnya.
Dialektika sebagai suatu proses meliputi tiga tahap. Pertama, disebut tesis. Kedua, disebut antitesis atau negatif. Ketiga, sintesis, yaitu menyatukan atau mendamaikan pada dua tahap sebelumnya. Tesis dapat dikatakan sebuah kebenaran yang disertai oleh metode penelitan dan data yang kongkrit. Adapun, antitesis adalah bantahan atas tesis tersebut. Sementara itu, sintesis merupakan gabungan dari tesis dan antitesis. Awalnya menjelaskan tesis sesuatu lalu disambungkan dengan antitesis dan diakhiri dengan kesimpulan gabungan dari tesis dan anti tesis tersebut.
Dialektika dipahami sebagai gerak penyangkalan dan pembenaran yang saling terkait. Dialektika memandang bahwa sesuatu hanya benar bila dilihat dalam keseluruhan hubungannya. Hegel memakai istilah aufheben yang meliputi di dalamnya sekaligus "menyangkal, menyimpan, dan mengangkat". Dalam proses dialektis, apa yang disangkal (dinegasi) tidak seluruhnya dihancurkan, melainkan hanya disangkal seginya yang salah, sementara seginya yang benar tetap disimpan (dipertahankan) untuk diangkat ke kebenaran lebih tinggi. Dalam proses dialektis ini sebuah pernyataan pertama (tesis) ditanggapi atau disangkal (anti-tesis) sehingga muncul kebenaran lebih tinggi, yang akan disangkal lagi (anti anti-tesis) sehingga muncul kebenaran yang lebih tinggi, dan seterusnya. Dalam dialektika ada proses yang digerakkan oleh negasi (penyangkalan), sehingga polanya bersifat dual (MagnisSuseno 1999, 61-62): tesis-anti tesis, lalu anti tesis--anti antitesis, dan seterusnya.
Â
Dialektika Hanacaraka
Hanacaraka (baca: honocoroko) merupakan aksara yang digunakan oleh penutur Jawa. Hanacaraka dalam aksara Jawa juga memiliki kesamaan dengan aksara Sunda dan Bali. Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka dan Carakan yang merupakan salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti: bahasa Sunda dan bahasa Sasak. Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan keraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan Sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang. Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Hanacaraka menggambarkan sosok Ajisaka yang kuat dan perkasa, tenang namun dapat menghanyutkan. Pada dasarnya kelahiran ha-na-ca-ra-ka dibagi menjadi dua konsepsi, yaitu pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua konsepsi secara ilmiah, yang berdasar pandang pada pemikiran ilmiah. Singkat cerita, Ajisaka mendengar kedua abdinya tewas. Ajisaka pun menyesali apa yang telah dilakukannya. Lantas untuk mengenang, ia melantunkan pantun Hanacaraka yang penuh makna:
Ha Na Ca Ra Ka
Ada sebuah kisah
Da Ta Sa Wa La
Terjadi sebuah pertarungan
Pa Dha Ja Ya Nya
Mereka sama-sama sakti
Ma Ga Ba Tha Nga
Dan akhirnya semuanya mati
Hanacaraka sendiri memiliki makna filosofi yang bijaksana. Makna filosofi tersebut bisa dipaparkan:
1. Ha-Na-Ca-Ra-Ka artinya adalah "utusan" yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Hal ini menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia.
2. Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan "data" atau saatnya dipanggil tidak boleh "sawala" atau mengelak. Dalam hidup ini manusia harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
3. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya menunjukkan menyatunya zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang diberi hidup (makhluk). Makna filosofisnya, setiap batin manusia pasti sesuai dengan apa yang diperbuatnya.
4. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan . Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Aksara Jawa Hanacaraka Datasawala Padhajayanya Magabathanga tidak sekadar digunakan media menulis oleh orang Jawa. Aksara Jawa digunakan sebagai media dalam memahami konsep ketuhanan. Setiap abjad aksara Jawa mempunyai makna yang berkaitan dengan konsep ketuhanan. Dalam aksara Jawa terdapat tiga unsur, yaitu Tuhan, manusia dan kewajiban manusia sebagai ciptaanNya. Ha-na-ca-ra-ka yang diartikan ada utusan, yaitu utusan hidup, berupa napas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Aksara Jawa Hanacaraka memiliki makna filosofi yaitu ada utusan untuk menyampaikan kehendak mengambil sesuatu. Dikarenakan yang diamanatkan meninggal dunia dalam mempertahankan apa yang diamanatkan, dan karena kesamaan kesaktian mempertahankan apa yang diamanatkan. Hal tersebut memunculkan aksara ini dalam kehidupan Jawa dan filosofi kebijaksanaanyang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Dunia batin Jawa adalah cara orang Jawa merasakan atau ngudarasa terhadap kasunyatan (realitas). Hal ini terbentuk karena hubungan yang istimewa antara manusia dan alam. Proses terbentuknya dunia batin Jawa melalui beberapa fase, simbiosisnya adalah kepercayaan asli Jawa berpadu dengan Hindhu-Budha dan bermetemorfosa dengan ajaran agama Islam. Orang mengatakan keterpaduan diantaranya dengan sinkretisme. Hasilny adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara laku spiritual orang Jawa. Pengetahuan konsep ketuhanan yang diperoleh orang Jawa tidak terlepas dari laku spiritual orang Jawa. Untuk memahami lebih dalam tentang pengetahuan konsep ketuhanan orang Jawa mensimbolkan ke dalam kasara Jawa. Aksara Jawa dijadikan dasar filosofi tentang konsep ketuhanan dan sebagai pusat kebatinan Jawa. Sehingga aksara Jawa mencerminkan proses manusia Jawa dalam memahami hubungan dengan lingkungannya yakni Tuhan dan Alam Semesta serta menyadari kesatuaannya. Disisi lain cerita aksara Jawa Aji Saka juga menyimpan makna simbolik, dimana semuanya mengarah tentang konsep ketuhanan.
Apa itu Hermeneutika ?
Hermeneutika adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di OlympusFungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai 'proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti'. Hermeneutika adalah cabang pengetahuan yang berhubungan dengan interpretasi, suatu perilaku yang melekat pada kehidupan kita sehari-hari
PEMERIKSAAN PAJAK :
Pemeriksaan merupakan salah satu alat monitoring perpajakan yang akan membuktikan patuh atau tidaknya wajib pajak terhadap aturan perpajakan atau bisa dikatakan uji kepatuhan Wajib Pajak. Untuk itu, Wajib Pajak diharapkan dapat memahami hak dan kewajiban selama proses pemeriksaan supaya proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan tujuan pemeriksaan dapat tercapai. Tujuan dari Pemeriksaan Pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Laporan yang terbentuk dari sistem Self Assessment Wajib Pajak adalah hasil pemikiran Wajib Pajak yang dituangkan menjadi tulisan yaitu pada SPT Pajak. Sedangkan, Pemeriksa akan menganalisa tulisan (laporan SPT Pajak) kedalam pemikiran Pemeriksa Pajak, tentu dua pemikiran tersebut menjadi gap dalam proses pemeriksaan pajak.
Mekanisme alur pemeriksaan pajak dimulai dari adanya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), dimana data dan/atau keterangan tersebut diminta oleh DJP karena diduga adanya pemenuhan kewajiban yang belum sesuai dengan ketentuan perpajakan. Hasil pemeriksaan berkualitas apabila didukung bukti pemeriksaan berdasarkan hasil pengujian teknik pemeriksaan dan pengumpulan bukti secara kompeten yang cukup dan dapat digunakan sebagai alat bukti, Apakah benar ? Apakah baik ? dan Apakah perlu ?
Pemeriksaan pajak yang efektif berhubungan erat dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang dilakukan oleh DJP. Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik merupakan dasar di dalam menyelenggarakan pemerintahan dan menjalankan fungsi pelayanan publik oleh pemerintah (Wibawa, 2019). Kinerja pemeriksaan pajak akan berpengaruh terhadap kinerja DJP secara keseluruhan, oleh karena itu penting untuk mengukur besarnya efektivitas pemeriksaan pajak. Pengukuran kinerja juga digunakan sebagai alat penilaian secara kuantitatif dan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi DJP menuju terwujudnya good governance (DJP, 2018).
Trans substansi Dialektika Hegelian, tesis, antithesis, sintesis pada Pemeriksaan Pajak
Thesis : Wajib Pajak, Pelaporan Keuangan, Pajak Penghasilan dan Pelaporan Pajak dengan sistem "Self Assessment".
Sistem perpajakan di Indonesia adalah sistem "Self Assessment" yang dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memungut dan melaporkan pajaknya sendiri. Wajib Pajak dapat melakukan mandiri perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum Penerapan Self Assessment Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 6 Tahun 1983, yang telah disempurnakan pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2009. Dalam Pasal 12 ayat (1) UU KUP yang menyebutkan bahwa "Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak."
Self Assessment sebagai sistem pemungutan Pajak di Indonesia ada kelebihan dan kekurangan juga dalam sistem tersebut. Wajib Pajak merasa dapat kepercayaan dari Pemerintah atas kewajiban yang dilakukannya, tetapi ternyata mendapatkan kepercayaan tersebut bisa dikatakan menjadi kelemahan yang dimana perlu di uji atas kepercayaan yang diberikan yaitu melalui pemeriksaan Pajak. Apakah sistem Self Assessment masih layak diterapkan di Indonesia, sedangkan sistem tersebut dianggap menjadi celah atau kesempatan besar Pemerintah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak ?
Tujuan dari Pemeriksaan Pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Laporan yang terbentuk dari sistem Self Assessment Wajib Pajak adalah hasil pemikiran Wajib Pajak yang dituangkan menjadi tulisan yaitu pada SPT Pajak. Sedangkan, Pemeriksa akan menganalisa tulisan (laporan SPT Pajak) kedalam pemikiran Pemeriksa Pajak, tentu dua pemikiran tersebut menjadi gap dalam proses pemeriksaan pajak
Antithesis :
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan terbagi dalam:
Pemeriksaan Khusus, dilakukan karena adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, baik berdasarkan data konkret maupun hasil analisis risiko.
Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Pemeriksaan Tujuan Lain dilakukan dalam rangka:
Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan, Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Penentuan saat produksi dimulai, Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil, Penetapan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi, Penagihan pajak Keberatan, Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan
Tahapan Pemeriksaan:
Pemeriksaan dimulai dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pengiriman surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor. Dalam hal khusus, misalnya kondisi pandemi, pemeriksaan dapat dilakukan secara daring.
Alur Pemeriksaan Pajak, berikut adalah poin-poin kronologi dari pemeriksaan pajak untuk wajib pajak:
Penugasan dan instruksi pemeriksaan
Perencanaan sistem pemeriksaan
Penerbitan surat perintah dan surat pemeritahuan pemeriksaan
Permintaan untuk meminjam dokumen kepada wajib pajak
Pemeriksaan dan pengujian
Pengeluaran Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan tanggapan
Pembahasan pemeriksaan
Pengembalian dokumen, pelaporan, dan penetapan
Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak:
Pemeriksaan pajak pada dasarnya diatur oleh undang-undang, yakni Pasal 29 Ayat 1 UU KUP yang berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Synthesis :
Hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan dengan mencantumkan dasar hukum atas temuan tersebut.
Pemeriksaan dalam pengujian kepatuhan Wajib Pajak diakhiri dengan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan produk hukum yang dapat berupa:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Pemeriksaan untuk tujuan lain ditutup dengan diterbitkannya LHP yang berisi usulan diterima atau ditolaknya permohonan WP.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam Rangka Pemeriksaan
Wajib Pajak berhak:
meminta Pemeriksa Pajak untuk, memperlihatkan tanda pengenal dan Surat Perintah Pemeriksaan; memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan; memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim pemeriksa apabila susunan keanggotaan mengalami perubahan; memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan pemeriksaan; menerima Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan bersama dengan pemeriksa pada waktu yang telah ditentukan; mengajukan permohonan Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal belum disepakati dasar hukum koreksi pemeriksaan; dan mengisi kuesioner terkait pelaksanaan pemeriksaan.
Wajib Pajak berkewajiban:
memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan tepat waktu; memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen yang menjadi dasar penghitungan penghasilan; memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; memberikan kesempatan tim pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa ruangan yang menjadi tempat penyimpanan dokumen serta meminjamkannya; memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, yang dapat berupa: menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus; memberikan bantuan kepada tim pemeriksa untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau menyediakan ruangan khusus dalam hal pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak; meminjamkan Kertas Kerja Pemeriksaan yang dibuat oleh akuntan publik; menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; dan memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Penyelesaian pemeriksaan bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan stakeholders dan kepatuhan Wajib Pajak agar dapat menunjang penerimaan negara melalui efektivitas kegiatan pemeriksaan yang mampu menimbulkan deterrent effect.
Trans substansi Dialektika Hanacaraka pada Pemeriksaan Pajak
Thesis : Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Self Assessment
Wajib pajak harus penuh kesadaran dengan apa yang dicatat, dihitung dan dilaporkan seperti filosofi Hanacaraka bahwa manusia adalah utusan hidup, sudah takdirnya untuk melakukan pencatatan dengan benar dan tepat, menghitung pajaknya sesuai peraturan hukum perpajakan serta juga pelaporan pajak.
Sistem Self Assessment yang diterapkan di Indonesia membuka celah bagi Wajib Pajak untuk melaporkan jumlah pajak terutang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Wajib Pajak yang tidak membayar pajak dengan jumlah yang seharusnya dan Wajib Pajak yang bahkan enggan untuk membayar pajak menyebabkan kerugian pajak yang besar pada negara. Untuk mengatasi hal ini, terdapat tiga solusi yang dapat dilakukan, yaitu meningkatkan sumber daya yang dibutuhkan dalam administrasi perpajakan, mengembangkan komunikasi berkaitan dengan biaya sosial dari penggelapan pajak, dan meningkatkan efisiensi prosedur pemeriksaan pajak (Casagrande et. al., 2015:96)
Anti -Thesis : Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan "data" atau saatnya dipanggil tidak boleh "sawala" atau mengelak. Dalam hidup ini manusia harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
Pemeriksaan merupakan salah satu alat monitoring perpajakan yang akan membuktikan patuh atau tidaknya wajib pajak terhadap aturan perpajakan. Untuk itu, Wajib Pajak diharapkan dapat memahami hak dan kewajiban selama proses pemeriksaan supaya proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan tujuan pemeriksaan dapat tercapai
Pemeriksa tidak hanya mendapatkan pemahaman atas apa yang dimaksudkan oleh Wajib Pajak pada SPT yang terlapor saja, tetapi juga mendapatkan pengetahuan yang lebih dari sekedar apa yang ada pada isi pikiran Wajib Pajak, yaitu situasi dan kondisi sosial, politik, budaya, ekonomi, bahkan spiritual Wajib Pajak.
Synthesis : Pa-Dha-Ja-Ya-Nya & Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan
Hasil pemeriksaan berkualitas apabila didukung bukti pemeriksaan berdasarkan hasil pengujian teknik pemeriksaan dan pengumpulan bukti secara kompeten yang cukup dan dapat digunakan sebagai alat bukti, Apakah benar ? Apakah baik ? dan Apakah perlu ?
Dengan melalui pemeriksaan teknis tersebut, sebagai Pemeriksa bisa mengalami dan dapat memahami bagaimana dasarnya data-data tersebut terbentuk, sehingga keduabelah pihak Terperiksa dan Pemeriksa memiliki empati, Pemeriksa memilki rasa tanggungjawab bahwa kedepannya data-data teperiksa harus menjadi lebih baik, sanksi-sanksi jika ada yang didapatkan terperiksa yaitu misalkan dikaitkan dengan peraturan perpajakan sesuai dengan kondisi perusahaanya.
Kesimpulan
Pendekatan Dialektika Hegelian dan nilai-nilai Hanacaraka memberikan kerangka kerja yang kuat untuk melakukan audit perpajakan yang kritis dan beretika. Dialektika Hegelian memungkinkan auditor untuk secara sistematis mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dalam kebijakan dan praktik perpajakan dengan menjadikan terperiksa menjadi lebih baik.
Kebenaran tidak ditemukan dalam tesis atau antitesis, tetapi dalam sintesis yang muncul untuk mendamaikan keduanya- Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Pendekatan Dialektika Hanacaraka memastikan bahwa audit dilakukan dengan integritas dan menuju jalan kebaikan dengan memperhatikan dampak sosial terhadap wajib pajak juga otoritas pajak. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, kita dapat mengembangkan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan efektif, yang tidak hanya mengawasi tetapi juga mendorong perbaikan berkelanjutan.
Â
DAFTAR REFERENSIÂ
https://dosenindonesia.wordpress.com/2024/04/30/kebenaran-tidak-ditemukan-dalam-tesis atau-antitesis-tetapi-dalam-sintesis-yang-muncul-untuk-mendamaikan-keduanya-georg-wilhelm-friedrich-hegel/
https://budaya.wordpress.com/2016/06/20/hanacaraka-dialektika-kejawen/
Susilo, C. D. I., & Indira, D. (2021). FILOSOFI HANACARAKA BAHASA JAWA SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK. Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia, 30-34.
Awalin, F. R. N. (2017). DUNIA BATIN JAWA: Aksara Jawa Sebagai Filosofi dalam Memahami Konsep Ketuhanan. Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 5(2), 289-309.
https://www.youtube.com/live/6fer45PxVKI
https://www.pajak.go.id/id/pemeriksaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H