Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan keraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan Sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang. Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Hanacaraka menggambarkan sosok Ajisaka yang kuat dan perkasa, tenang namun dapat menghanyutkan. Pada dasarnya kelahiran ha-na-ca-ra-ka dibagi menjadi dua konsepsi, yaitu pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua konsepsi secara ilmiah, yang berdasar pandang pada pemikiran ilmiah. Singkat cerita, Ajisaka mendengar kedua abdinya tewas. Ajisaka pun menyesali apa yang telah dilakukannya. Lantas untuk mengenang, ia melantunkan pantun Hanacaraka yang penuh makna:
Ha Na Ca Ra Ka
Ada sebuah kisah
Da Ta Sa Wa La
Terjadi sebuah pertarungan
Pa Dha Ja Ya Nya
Mereka sama-sama sakti
Ma Ga Ba Tha Nga
Dan akhirnya semuanya mati
Hanacaraka sendiri memiliki makna filosofi yang bijaksana. Makna filosofi tersebut bisa dipaparkan: