Mohon tunggu...
ASFRINA LIOLA
ASFRINA LIOLA Mohon Tunggu... Akuntan - NIM : 55522120023, Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pajak Internasional - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

NIM : 55522120023, Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pajak Internasional - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB1 Tax Audit "Diskursus Serat Tripama Untuk Audit Kepatuhan Pajak Warga Negara"

18 April 2024   03:24 Diperbarui: 18 April 2024   04:02 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang dimaksud Serat Tripama ?

Serat Tripama adalah tiga suri taulada atau tiga keteladanan Satrio dalam karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) di Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra atau Adipati Karna (Kamajaya, 1985).

Serat Tripama yang memuat pupuh macapat atau salah satu jenis tembang/lagu Jawa dhandanggula terdapat 7 (tujuh) Pada (bait) yang mengisahkan tiga tokoh utama yang ada dalam ringgit purwa (pewayangan) Jawa, Patih Suwanda, Kumbakarna, Adipati Karna. Ketiga tokoh tersebut berasal dari tiga kisah yang berbeda-beda yang berisi tentang teladan bagi para prajurit yang berwatak ksatria, gigih tidak takut dalam membela negara. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Sikap ketiga tokoh jawa tersebut menggambarkan berbagai macam nilai ksatria yang ada di dalam Etika Jawa sehingga patut menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tokoh pertama dalam Serat Tripama yang bernama Bambang Sumantri (Patih Suwanda),

Seorang patih dari kerajaan Maespati yang mengabdi pada Raja Harjunasasrabahu dan dikisahkan pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Bambang Sumantri adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati yang juga disebut Raden Suwanda setelah menjabat menjadi seorang patih merupakan tokoh termasyhur keteguhan, kegagahan dan keberaniannya, Bambang Sumantri mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab, hingga akhirnya gugur di medan perang melawan Dasamuka.

Serat yang ditulis oleh Sri Mangkunegara IV dalam tembang Dhandanggula pada (bait) ke satu dan ke dua yang dapat diterjemahkan sebagai berikut :

Seyogyanya para prajurit; Semua bisa meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu; Andalan sang raja; Sasrabahu di negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Dikemas dalam tiga hal; Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun), itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama. Guna: bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi; Berupaya untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika peperangan di negara Manggada; Bisa memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada sang raja; Purun: Keberaniannya sudah nyata ketika perang tanding (dengan Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda gugur di medan perang.

Adapun kesimpulan nilai kepahlawanan Patih Suwanda dinilai dari tiga hal, yaitu: Guna, Kaya dan Purun. GUNA: ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu menyelesaikan masalah. Unggul dalam segala hal. KAYA: Skill atau kemampuan, sedangkan PURUN: Kegagahberaniannya dalam kepemimpinannya

Tokoh kedua dalam Serat Tripama yang bernama Raden Kumbakarna,

Raden Kumbakarna adalah panglima perang tertinggi dari Kerajaan Alengka sekaligus adik kandung Prabu Dasamuka (Rahwana) raja negeri tersebut. Dalam kisahnya Ramayana, Raden Kumbakarna tidak sependapat serta tidak membenarkan perbuatan sang kakak yang dianggapnya sebagai angkara murka dengan menculik Dewi Shinta, sikap Raden Kumbakarna ini bertolakbelakang dengan wujudnya sebagai seorang rasaksa (ditya/diyu) (Dwi 2020).Raden Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya sebagai panglima perang tertinggi kerajaan Alengka, Raden Kumbakarna yang rela berkorban jiwa dan tumpah darahnya. Raden Kumbakarna pada akhirnya gugur di tangan Sri Rama dan adiknya Raden Laksmana (Lesmana) bukan karena ia membela kesalahan Rahwana tetapi membela tumpah darahnya.

Sri Pakubuwana IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke tiga dan empat adalah sebagai berikut yang dapat diterjemahkan sebagai berikut :

Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka) selamat; Dasamuka tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.

Kumbakarna diperintah maju perang; tetapi ia tidak membantah kakaknya, karena sifat ksatriaanya; yang sebenarnya ia tidak mau; tetapi dilakukan hanya semata-mata bela negara; Dan juga melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya; Sudah hidup mukti di negara Ngalengka; lalu, yang mau dirusak balatentara kera; Ia bersumpah mati di medan perang.

Ketika terjadi peperangan ia berkali-kali menasihati kakaknya demi keselamatan kerajaan Ngalengka, tetapi kakaknya tidak pernah menggubrisnya. Akhirnya Kumbakarna memilih menyingkir, dan bertapa tidur. Ketika senapati-senapati Ngalengka sudah pada gugur dalam perang, maka Kumbakarna dibangunkan paksa dan diperintah kakaknya untuk maju perang. Dengan watak ksatriaannya, kumbakarna tidak membantah perintah kakanya tersebut. Teladan ksatriaannya hanya bela negara dan demi nenek moyangnya yang telah mukti di negara ngalengka dan sekarang akan dihancurkan wadyabala kera. Yang dimana lebih baik mati di medan perang dan akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan.

Tokoh ketiga dalam Serat Tripama, yaitu Adipati Karna atau Basukarna

Suryaputra atau Basukarna yang lebih dikenal sebagai Adipati Karna adalah tokoh dalam Mahabharata. Dikisahkan Adipati Karna saat kelahirannya dibuang di Sungai Gangga oleh Dewi Kunthi ibunya sekaligus Ibu dari Pandawa Lima, ia kemudian ditemukan oleh kusir kereta negeri Hastinapura bernama Adirata. Dalam perang besar Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa, sebenarnya ia tahu bahwa Kurawa adalah pihak antagonis. Pada akhirnya Adipati Karna gugur dalam perang satu lawan satu dengan salah satu Pandawa adiknya sendiri satu ibu yaitu Raden Arjuna. Ia tidak membela Pandawa yang saudara satu ibu melainkan membela raja Hastina Prabu Duryudana yang telah memberinya derajat pangkat sehingga harkat martabatnya terangkat sebagai bentuk balas budi atau kesetiannya.

Sri Pakubuwana IV dalam Sekar Dhandanggula pada (bait) ke lima dan enam adalah sebagai berikut: yang dapat diterjemahkan sebagai berikut :

Teladan Balas Budi, dihadapakan dengan saudaranya sendiri; Perang tanding melawan Dananjaya; Sri Karna senang sekali hatinya; Karena bisa memperoleh; Jalan untuk membalas budi; Sang Duryudana; Maka ia dengan sangat; Mengeluarkan semua kesaktiannya; Perang ramai dan Karna gugur kena panah; Termasyhur sebagai prajurit yang utama. Ia berjuang mati-matian dan akhirnya gugur di medan laga kena panah R Harjuna (Dananjaya)

Bentuk ringkasnya isi dalam Serat Tripama adalah terdapat 7 Pada (bait) tembang macapat Dhandanggula: Pada sepisan dan pada kapindho (bait 1 dan 2)berisi kisah teladan Patih Suwanda, Pada ketiga dan pada sekawan (Bait 3 dan 4)berisi keteladanan Raden Kumbakarna, pada gangsang dan pada nem (Bait 5 dan 6)berisi keteladanan Adipati Karna dan pada kapitu (Bait 7) berisi kesimpulan dari ke enam pada sebelumnya (Wardhani and Muhadjir 2017).

Gambar Mandiri 2
Gambar Mandiri 2

Diskursus Serat Tripama untuk Audit Kepatuhan Pajak Warga Negara

Nilai-nilai Serat Tripama yaitu tentang teladan bagi para prajurit agar berwatak ksatria, gigih tidak takut dalam membela negara. Tiga tokok Ksatrio juga mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga.

Gambar Mandiri 3
Gambar Mandiri 3

Lalu, bagaimana Serat Tripama dalam Audit Kepatuhan Pajak Warga Negara terhadap Sistem Self Assestment?

Pajak sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara yang tujuannya untuk Pembangunan negara dan mewujudkan rakyat adil dan Makmur sehingga sangat penting diperhatikan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat khususnya tentang tata cara perpajakan dan proses maupun mekanisme dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia. Masyarakat sebagai wajib pajak mempunyai persepsi yang negatif terhadap fiskmengenai tata cara perpajakan sesuai yang telah dijelaskan oleh Sumantri adalah sebagai berikut (Sumantry, 2011). Wajib pajak menilai tata cara pemungutan pajak sarat dengan birokrasi dan administrasi yang sulit. Proses administrasi yang tidak mudah yang bertujuan untuk menguntungkan Otoritas Pajak. Wajib Pajak berpikir bahwa "Otoritas Pajak adalah raja" yang dapat melakukan ketidakadilan atas kekuasaaanya sehingga membuat wajib pajak takut atau tidak mau untuk membayarkan pajak secara mandiri.

Sistem perpajakan di Indonesia adalah sistem "Self Assessment" yang dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memungut dan melaporkan pajaknya sendiri. Wajib Pajak dapat melakukan mandiri perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepatuhan dari WP memang dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan self assessment system. Asumsi pelaksanaan self assessment system adalah WP secara sadar dan sukarela mau untuk menghitung, melapor dan membayarkan pajak terutangnya secara mandiri. Dengan asumsi ini maka dapat dikatakan bahwa Negara sangat percaya bahwa masyarakat sebagai WP adalah masyarakat yang jujur dan taat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya,

Dasar Hukum Penerapan Self Assessment Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 6 Tahun 1983, yang telah disempurnakan pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2009. Dalam Pasal 12 ayat (1) UU KUP yang menyebutkan bahwa "Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak."

Tujuan dari Pemeriksaan Pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Laporan yang terbentuk dari sistem Self Assessment Wajib Pajak adalah hasil pemikiran Wajib Pajak yang dituangkan menjadi tulisan yaitu pada SPT Pajak. Sedangkan, Pemeriksa akan menganalisa tulisan (laporan SPT Pajak) kedalam pemikiran Pemeriksa Pajak, tentu dua pemikiran tersebut menjadi gap dalam proses pemeriksaan pajak. Gap tersebut dapat menjadi kesempatan atau celah bagi Otoritas Pajak dan Wajib Pajak.

Dalam pemeriksaan Pajak, Otoritas Pajak harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab , berani dan dapat menyelesaikan masalah antara Otoritas Pajak dan Wajib Pajak dengan sanksi-sanksi jika ada yang didapatkan terperiksa dan di dikaitkan dengan peraturan perpajakan sesuai dengan kondisi objek pajak Wajib Pajak.

Korupsi antara Otoritas Pajak dan Wajib Pajak, seperti yang disampaikan diatas dapat menjadikan kesempatan atau celah dalam proses pemeriksaan kepatuhan wajib pajak dengan sistem Self Assessment.

Berikut hikmah penting yang dapat diambil dari nilai budaya Serat Tripama yang harus kita teladani dalam pemeriksaan kepatuhan wajib pajak agar tidak terjadi tindakan Korupsi. Pertama, sabarang polah kang nora jujur, yen kabunjur sayekti kojur tan becik (segala perbuatan tidak jujur akan berujung pada keburukan), Kedua, rasionalisasi untuk membenarkan suatu perbuatan meskipun ia sendiri sebenarnya mengetahuinya. bahwa itu salah dan membawa kehancuran, Ketiga, Ing wurine yen at durung tuwayuh, Angurta aja ngabdi. Becik ngidunga karuhan aja umur-umur ngabdi (bila tidak ikhlas mending diam saja dan tidak berbakti.)

Etika kekuasaan juga dapat menjadi celah atau kesempatan dalam proses pemeriksaan kepatuhan wajib pajak yaitu Otoritas Pajak menyalahgunakan kekuasaannya. Dalam Serat Tripama kita perlu teladani bagaimana seorang pemilik kekuasaan atau pemimpin harus dapat bertanggungjawab, menyelesaikan masalah dan berani menegakkan keadilan demi bela negara dan sadar diri atas tugas yang diterimanya walaupun Otoritas Pajak memahami celah dalam sistem Self Assessment ini.

DAFTAR PUSTAKA

https://iwanmuljono.blogspot.com/p/serat-tripama.html

Pramudya, Arlini & Wibisono, Arief & Mustafa, Marni. (2022). Self Assessment dalam Hukum Pajak. Jurnal Sosial Sains. 2. 361-374. 10.36418/sosains.v2i2.340. DOI:10.36418/sosains.v2i2.340

Purnomo, B. H. (2018). Building Anti-Corruption Characters Through Javanese Culture in Serat Tripama. Asia Pacific Fraud Journal, 3(2), 251-256. DOI:10.21532/apfj.001.18.03.02.07

Sebastian, L. C., & Lanti, I. G. (2009). Perceiving Indonesian approaches to international relations theory. In Non-western international relations theory (pp. 158-183). Routledge.

HM Nasruddin Anshoriy, C. (2008). Neo Patriotisme; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. LKIS PELANGI AKSARA.

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 391/PJ/2002 TENTANG PENEGAKAN DISIPLIN APARAT PAJAK UNTUK MENDUKUNG SISTEM SELF ASSESSMENT, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/1891

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun