Apa itu BEPS ?
Base Erosion and Profit Shifting, atau disingkat sebagai BEPS, mengacu pada strategi perencanaan pajak yang mengeksploitasi kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam peraturan perpajakan dengan tujuan untuk membuat keuntungan perusahaan menghilang dari penghitungan perpajakan atau untuk mengalihkan keuntungan ke lokasi di mana terdapat sedikit atau tidak ada aktifitas perpajakan. Hal ini mengakibatkan pajak perusahaan yang dibayarkan sedikit atau sama sekali tidak dibayarkan.
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah strategi penghindaran pajak (tax avoidance) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk "menghilangkan" keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak. Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013).
Praktik penghindaran pajak didasari karena adanya kesenjangan dan ketidaksesuaian atau ketidak setaraan dalam aturan perpajakan yang ada di negara-negara di dunia dengan seiring berkembangnya kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang dapat menjadi peluang BEPS untuk mengalihkan keuntungannya yaitu untuk tidak membayar pajak atau membayar pajak namun dalam tarif yang lebih rendah yang berakibat pada penggerusan laba Perusahaan (BEPS) dan penngerusan pemajakan. Dalam perekonomian modern terdapat ketidakterpaduan antara peraturan pajak domestik dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3) disuatu negara, sehingga dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari pajak.
Apa permasalahan BEPS ?
Base erosion and profit shifting merupakan istilah yang digunakan oleh negara-negara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif rendah/nol (Wells dan Lowell, 2013:3). Secara umum, selain melalui transfer pricing praktek BEPS juga dapat terjadi karena adanya hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian Special Purpose Entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain (Love, 2013:2). Praktek semacam ini dapat menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara pelaku usaha, menciptakan ketidakadilan kepada wajib pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakannya.
Isu penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional  ini bergerak ke politik. Dalam Deklarasi Los Cabos di tahun 2012, negara-negara yang tergabung dalam G20 menekankan pentingnya suatu aksi bersama dengan Organisasi for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional melalui skema tax planning yang agresif. (Love, 2013:2). Praktek semacam ini dapat menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara pelaku usaha, menciptakan ketidakadilan kepada wajib pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakan yang sama, dan juga mengarah kepada alokasi sumber daya yang tidak efisien.
Beberapa praktik yang dilakukan dalam BEPS atau strategi penghindaran pajak adalah transaksi menggunakan metode transfer pricing yang tidak wajar, penggunaan perusahaan-perusahaan kerangka (shell companies), penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda, dan penyalahgunaan peraturan perpajakan yang berbeda di berbagai yurisdiksi.
Apa penyelesaian yang harus dilakukan BEPS ?
OECD telah mempublikasikan 15 Rencana Aksi yang berupaya untuk :
- Membentuk koherensi internasional terhadap pajak penghasilan badan usaha (Action Plan 2,3,4,5);
- Memperbaiki standar perpajakan internasional dengan cara menyelaraskan hak pemajakan dengan substansi ekonomi (Action Plan 6,7,8,9,10);
- Menjamin transparansi sekaligus meningkatkan kepastian dan predikabilitas (Action Plan 11,12,13,14);
- Membentuk Instrumen multilateral dalam merespon isu BEPS dan memonitor implementasi Rencana Aksi BEPS (Action Plan 15). Selain itu, terdapat Rencana Aksi Lainnya yang membahas perlakukan Pajak atas ekonomi digital.
Berikut 15 Rencana Aksi BEPS yaitu:
Rencana Aksi 1 : Address the Tax Challeges of Digital Economy
Rencana Aksi 2: Neutralise the effects of hybrid mismatch arrangements
Rencana Aksi 3: Strengthen CFC Rules
Rencana Aksi 4: Limit Base Erosion via interest Deductions and Other Financial Payments
Rencana Aksi 5: Counter Harmful Tax Practice more effectively , taking to account Tranparency and Substnace
Rencana Aksi 6:Prevent Treaty Abuse
Rencana Aksi 7: Prevent the Artificial Avoidance of PE Status
Rencana Aksi 8-10: Assure that Transfer Pricing Outcomes are in line with value creation
Rencana Aksi 11: Establish Methodologies to Collect and Analyse data on BEPS and the Actions to Address it
Rencana Aksi 12: Require Taxpayers to Disclose their Aggressive Tax Planning Arrangements
Rencana Aksi 13: Re-examine Transfer Pricing Documentation
Rencana Aksi 14: Make Dispute Resolution Mechanism more Effective
Rencana Aksi 15: Develop a Multilateral Instrument
Why ANTI BEPS is Important ?
Rencana Aksi 1: Tantangan Pajak yang Timbul dari Digitalisasi. Rencana Aksi 1 terdiri dari dua pillar:
a) Pillar pertama memastikan distribusi keuntungan dan hak perpajakan yang lebih adil antar negara sehubungan dengan perusahaan digital multinasional tersebut. Hal ini akan berdampak pada dialokasikannya kembali sebagian hak perpajakan atas perusahaan multinasional dari negara asal mereka ke pasar tempat mereka melakukan aktivitas bisnis dan memperoleh keuntungan terlepas dari dari apakah Perusahaan tersebut mempunyai kehadiran fisik di dunia. Perusahaan yang menjadi subjek adalah perusahaan yang memiliki global distribution melebihi 20 miliar euro.
b) Pilar kedua berupaya untuk memberikan landasan bagi persaingan pajak penghasilan badan, melalui pemberlakuan tarif pajak Perusahaan minimum global yang dapat digunakan negara-negara untuk melindungi basis pajak mereka. Pajak penghasilan badan minimum global yang ditentukan adalah 15%.
Rencana Aksi 2: Menetralisir dampak pengaturan hybrid mismatch.
Rencana Aksi 2 menekankan design domestic rules yang mencegah terjadinya pelanggaran terhadap tax arbitrage, yaitu penggunaan double non-taxation dan melanggar norma single tax principle. Fenomena ini lebih dikenal dengan hybrid mismatch, dimana badan usaha mengeksploitasi perbedaan peraturan pajak di antara dua negara yang berbeda. Hybrid mismatch dapat dilakukan dengan cara badan usaha menggunakan instrumen finansial yang sama namun diperuntukkan berbeda di masing-masing negara. Contoh: sebagai modal dinegara A dan utang di negara B.
Rencana Aksi 3: Perusahaan Asing yang Dikuasai.
 Rencana Aksi 3 berfokus pada risiko bahwa wajib pajak dapat menghilangkan basis pajak di negara tempat tinggalnya dan dengan mengalihkan pendapatannya ke Perusahaan asing yang dikendalikan oleh wajib pajak. Tanpa aturan tersebut, Perusahaan asing memiliki peluang untuk mengalihkan keuntungan dan menangguhkan kewajiban membayar pajak dalam waktu jangka panjang. Rencana Aksi 3 merekomendasikan ketentuan Controlled Foreign Companies (CFC) yang bertujuan untuk pencegahan penghindaran pajak dalam ketentuan domestik, melalui peningkatan kendali (control) negara terhadap wajib pajak.
Rencana Aksi 4: Pembatasan terhadap pengurangan bunga. Rencana Aksi 4 berfokus pada pembebanan biaya bunga terkait transaksi pendanaan internal (intra-group finance). Suatu perusahaan global kerap kali membiayai perusahaan afiliasinya yang berada di negara yang memilikitarif pajak rendah dengan modal, sedangkan membiayai perusahaan afiliasinya yang berada di negara dengan tarif pajak yang tinggi dengan utang. Mekanisme ini kemudian dilanjutkan dengan pembentukan financial companies di negara dengan tarif pajak yang rendah untuk membiayai perusahaan afiliasi di negara yang memiliki tarif pajak tinggi. Rencana aksi ini merekomendasikan pembebanan finansial serta pembayaran bunga.
Rencana Aksi 5: Penanggulangan Praktik Pajak Berbahaya Lebih Efektif dengan Memperhatikan Transparansi dan Substansi Akun. Rencana Aksi 5 berfokus pada persaingan pajak secara agresif dan berbahaya yang dilakukan oleh negara. Hal ini ditandai oleh beberapa kriteria, seperti:
a) Tidak mengenakan pajak atau memiliki tarif pajak efektif yang rendah
b) Memberikan fasilitas agar perusahaan dapat membagi sebagian asetnya atau keuntungannya tanpa beroperasi layaknya dua entitas yang berbeda (ring fencing)
c) Tidak transparan
d) Tidak secara efektif melakukan pertukaran informasi
Rencana Aksi 5 dikategorikan berbahaya apabila dapat menyebabkan terkikisnya basis pajak negara-negara lain. Seperti contoh, perusahaan A berinvestasi pada anak perusahaannya yang berada di yuridiksi berbeda tetapi anak perusahaan tersebut tidak dikenakan pajak.26 Rencana Aksi 5 memberikan rekomendasi untuk memperbaiki upaya untuk mengatasi praktik perpajakan yang berbahaya dengan prioritas pada peningkatan transparansi, termasuk pertukaran wajib yang spontan mengenai keputusan terkait dengan preferential regime, dan tentang persyaratan aktivitas substansial untuk preferential regime mana pun.
Rencana Aksi 6: Mencegah Penyalahgunaan Perjanjian. Rencana Aksi 6 berfokus pada praktik treaty shopping, yaitu sebuah praktik yang melibatkan upaya seseorang untuk mengakses secara tidak langsung manfaat perjanjian pajak antara dua yurisdiksi tanpa menjadi penduduk salah satu yurisdiksi. Perjanjian ini mencakup peraturan dari rekomendasi khusus untuk mengatasi bentuk-bentuk penyalahgunaan perjanjian lainnya. Rencana Aksi ini memberikan rekomendasi untuk mengimplementasikan pembatasan manfaat untuk mencegah treaty shopping. Pembatasan manfaat dapat menentukan apakah suatu entitas memiliki hubungan bisnis atau hubungan non-pajak lainnya yang memadai dengan suatu negara untuk menjustifikasi hak atas manfaat perjanjian.
Rencana Aksi 7: Mencegah Penghindaran Status Permanent Establishment (PE). Rencana Aksi 7 berfokus pada pajak terhadap PE. Perjanjian perpajakan pada umumnya mengatur bawa laba usaha suatu perusahaan asing dapat dikenakan pajak di suatu wilayah hukum hanya sepanjang Perusahaan tersebut mempunyai bentuk usaha tetap di wilayah hukum tersebut dimana laba tersebut dapat diatribusikan. Oleh karena itu, definisi bentuk usaha tetap yang termasuk dalam perjanjian perpajakan menjadi penting dalam menentukan apakah suatu perusahaan non-residen harus membayar pajak penghasilan di yurisdiksi lain.
Rencana Aksi 8-10: Transfer Pricing. Rencana Aksi 8 berfokus pada masalah penetapan transfer pricing yang berkaitan dengan transaksi terkendali yang melibatkan benda tak berwujud (intangible), karena benda tak berwujud menurut definisi bersifat mobile dan sering kali sulit untuk dinilai. Kesalahan
alokasi keuntungan yang dihasilkan oleh barang-barang tak berwujud telah memberikan kontribusi besar terhadap BEPS.30 Rencana Aksi 9 berfokus pada alokasi risiko berdasarkan kontrak, dan alokasi keuntungan yang dihasilkan terhadap risiko tersebut, yang mungkin tidak sesuai dengan aktivitas yang
sebenarnya dilakukan. Selain itu, Rencana Aksi 9 membahas tingkat keuntungan pendanaan yang diberikan oleh perusahaan global yang memiliki modal dalam jumlah yang banyak, dimana keuntungan tersebut tidak sesuai dengan tingkat aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan pendanaan.
Rencana Aksi 10 berfokus pada transaksi berisiko tinggi lainnya, termasuk cakupan dalam mengatasi alokasi keuntungan yang dihasilkan dari controlled transaction yang tidak rasional secara komersial, cakupan dalam menargetkan penggunaan metode transfer pricing dengan cara yang mengakibatkan pengalihan keuntungan dari aktivitas terpenting perusahaan global, serta penggunaan jenis pembayaran tertentu antar anggota perusahaan global (seperti biaya manajemen dan biaya kantor pusat) yang mengikis basis pajak karena tidak ada keselarasan dengan value creation. 32 Ketiga Rencana Aksi ini memberikan rekomendasi untuk membuat pedoman untuk memastikan agar hasil transfer pricing lebih selaras dengan value creation perusahaan global.
Rencana Aksi 11: Menetapkan Metodologi untuk Mengumpulkan dan Menganalisis Data BEPS dan Tindakan untuk Mengatasi. Rencana Aksi 11 berfokus pada pengukuran dan pemantauan BEPS dengan menetapkan mekanisme untuk mengumpulkan dan menganalisis data mengenai dampa ekonomi dan fiskal dari perilaku penghindaran pajak dan dampak tindakan yang diusulkan dalam Proyek BEPS. Rencana Aksi ini memberikan rekomendasi agar setiap yurisdiksi membentuk kerja sama dan kerangka dalam pemberian data kepada satu sama lain.
Rencana Aksi 12:Â Mewajibkan Wajib Pajak untuk Mengungkapkan Perencanaan Pajak Agresif. Rencana Aksi 12 memberikan rekomendasi rancangan peraturan yang mewajibkan wajib pajak dan penasihat untuk mengungkapkan pengaturan perencanaan pajak yang agresif. Rencana Aksi ini mengupayakan keseimbangan dan kebutuhan akan early information mengenai skema perencanaan pajak yang agresif secara tepat sasaran, enforceable, dan menghindari beban kepatuhan yang tidak semestinya.
Rencana Aksi 13: Memeriksa Kembali Dokumentasi Transfer Pricing. Rencana Aksi 13 memberikan rekomendasi untuk mengatur semua Perusahaan multinasional yang diwajibkan untuk menyampaikan laporan Country-byCountry (CoC) dengan data agregat mengenai alokasi pendapatan global, laba, pajak yang dibayarkan, dan aktivitas ekonomi di antara yurisdiksi perpajakan tempat perusahaan tersebut beroperasi sebagai bagian dari usaha mereka untuk melaporkan transfer pricing mereka.
Rencana Aksi 14:Â Membuat Sengketa Mekanisme Penyelesaian Lebih Efektif.
Rencana Aksi 14 berfokus pada peningkatan penyelesaian sengketa terkait perpajakan antar yurisdiksi. Inclusive Framework telah berkomitmen agar kepatuhan mereka terhadap standar minimum ditinjau dan dipantau oleh negara-negara lain melalui proses tinjauan yang kuat yang berupaya meningkatkan efisiensi dan meningkatkan ketepatan waktu penyelesaian sengketa pajak berganda. Rekomendasi yang diberikan terpusat pada ketentuan Mutual Agreement Procedure (MAP) dengan meningkatkan akses terhadap MAP, penyelesaian kasus MAP, dan pengimplementasian perjanjian MAP.
Rencana Aksi 15: Mengembangkan Instrumen Multilateral. Rencana Aksi 15 menawarkan solusi nyata bagi Pemerintah untuk menutup celah dalam perjanjian pajak internasional dengan mentransposisikan hasil Proyek BEPS ke dalam perjanjian pajak bilateral di seluruh dunia. Hal ini memungkinkan Pemerintah untuk menerapkan standar minimum yang disepakati untuk melawan penyalahgunaan perjanjian dan meningkatkan mekanisme penyelesaian sengketa bersamaan dengan memberikan fleksibilitas untuk mengakomodasi kebijakan perjanjian pajak tertentu.
BEPS terjadi ketika perusahaan multinasional menyusun operasi bisnis globalnya sedemikian rupa sehingga pendapatannya tidak dikenakan pajak di mana pun atau pajak pendapatan yang dibayarkan dikurangi secara signifikan di lokasi di mana mereka beroperasi.
Penentuan lokasi tempat laba dikenakan pajak berguna bagi perusahaan multinasional untuk meminimalkan tarif pajak efektif global, serta aggressive tax planning merupakan cara yang ditempuh oleh perusahaan multinasional dalam memindahkan laba tersebut.
Aggressive tax planning dan aggressive tax competition menjadi inti dari permasalahan BEPS. Berdasarkan hal itu, G20 dan OECD membutuhkan koordinasi dan kerjasama internasional dalam bentuk BEPS project.
Terdapat tiga fenomena penting BEPS yang difasilitasi oleh digitalisasi yang menimbulkan tantangan serius terhadap elemen dasar sistem perpajakan global, yaitu Pertama skala tanpa massa, Kedua ketergantungan pada aset tak berwujud, dan Ketiga sentralitas data.
Menurut OECD, hasil dari Aksi 1 Address the Tax Challeges of Digital Economy ini merupakan salah satu hasil yang paling penting di antara 14 Aksi lainnya sejauh ini. Pentingnya sistem perpajakan internasional yang dapat diprediksi, efisien dan berkelanjutan dalam ekosistem pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan global tidak dapat dipungkiri. Meningkatnya ketidakpuasan di antara negara-negara telah menjadikan isu-isu ini menjadi sangat penting dan urgensi untuk bertindak telah membuat pemerintah harus mencari respons yang efektif.
Hasil dari upaya multilateral selama hampir satu abad untuk menciptakan sistem perpajakan yang jelas, konsisten, dan terkoordinasi masih belum seimbang. Keberhasilan baru-baru ini dalam penghapusan non-pajak berganda melalui Proyek BEPS menggambarkan kekuatan pendekatan multilateral yang terkoordinasi.
How  BEPS is Important ?
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian bilateral, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional, yang disepakati antara dua negara atau yurisdiksi untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
P3B muncul karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal (capital exporting countries) dan negara-negara yang mem-butuhkan modal (capital importing countries). Kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek perpajakan
Akibat dari benturan ini, pengenaan pajak tidak dilakukan sama sekali di dua negara (tax evasion), atau bahkan dikenakan dua kali di masing-masing negara tersebut (double taxation). Untuk menghindari kedua efek tersebut, diperlukan adanya pengaturan-pengaturan antara kedua negara yang melakukan hubungan ekonomi. Pengaturan-pengaturan tersebut selanjutnya tertuang di dalam P3B.
Tujuan Double Tax Treaties yaitu menciptakan kedudukan yang setara dalam hal Perpajakan, mencegah pemajakan berganda, mendatangkan investasi luar negri, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan mencegah penggelapan pajak.
Fenomena Perjalanan Perjalanan Digitalisasi Perpajakan di IndiaÂ
2002: Pemrosesan pengembalian dilakukan secara terkomputerisasi di seluruh negeri. Situs web www.incometaxindia.gov.in) diluncurkan untuk menyediakan antarmuka antara pemerintah dan pembayar pajak.
2006: Pengajuan pengembalian secara elektronik (e-filing) diluncurkan.
2007: Sistem Manajemen Data Wajib Pajak Terpadu (ITDMS) untuk menggambar profil wajib pajak 360 diluncurkan.
2009: Pendirian Centralized Processing Center (CPC) untuk pemrosesan e-filed dan pengembalian kertas dalam jumlah besar.
2011: Divisi Pajak Luar Negeri CBDT diperkuat untuk secara efektif menangani peningkatan masalah pertukaran informasi perpajakan dan transfer pricing.
2012: TRACES (Sistem Pengaktifan Rekonsiliasi, Akuntansi dan Koreksi TDS) diluncurkan untuk melayani platform terpadu satu pintu bagi para pemangku kepentingan untuk memfasilitasi layanan terkait operasional TDS.
2014: Peningkatan fitur baru di situs web www.incometaxindia.gov.
Pemerintah India juga telah memperkenalkan RAPID (pendapatan, akuntabilitas, kejujuran, informasi dan digitalisasi) untuk mempersempit kesenjangan antara perkiraan pajak dan pengumpulan aktual dan juga untuk mencapai sistem yang lebih ramah pengguna dan transparan yang pada akhirnya akan mengarah pada perluasan basis pajak.
Digitalisasi bisnis yang semakin meningkat di seluruh dunia memaksa otoritas pajak untuk meninjau kembali cara mereka mengatur kepatuhan wajib pajak terhadap aturan perpajakan dan memungut pajak yang terutang dengan lebih efisien yaitu dengan digitalisasi perpajakan.
Teknologi yang sedang berkembang menawarkan banyak peluang untuk menentukan cara bisnis dijalankan, menentukan pasar, mengubah metode kerja, menentukan hubungan dengan pelanggan/klien, dan dengan otoritas pengatur.
Pemerintah India berencana untuk memperkenalkan prosedur Audit Elektronik "Tanpa Wajah dan Tanpa Nama" Pan-India bagi pembayar Pajak Penghasilan. Pemerintah India telah menerapkan Jaringan GST (platform TI canggih untuk kepatuhan GST dan pencocokan tingkat faktur) dan Proyek Insight (pergudangan Data terintegrasi & platform Intelijen Bisnis dengan analisis data tingkat lanjut).
Digitalisasi Perpajakan di India, telah menerapkan banyak langkah, terutama perjanjian pajak bilateral dengan 50 negara dan juga dengan sungguh-sungguh mengupayakan digitalisasi untuk meningkatkan pengumpulan pajak.
Fenomena BEPS Action Plan Antara Realitas dan Paradoks Kepentingan PerpajakanÂ
Otoritas Pajak terus memperbarui peraturan-peraturan Perpajakan untuk implementasi BEPS, tetapi tidak seiring dengan kemajuan teknologi yaitu digitalisasi seperti perjalanan digitalisasi perpajakan di India. Otoritas Pajak juga perlu melakukan pengembangan kompetensi pegawai dalam kemajuan teknologi untuk dapat mencapai implikasi sesuai peraturan perpajakan yang ada. Dengan materi pengetahuan dan pelatihan tentang ekonomi digital yang dapat diakses online oleh semua fiskus dan masyarakat luas dapat membangun budaya pembelajaran bagi fiskus dan masyarakat luas supaya menjadikan semua pihak mengetahui apa yang menjadi concern Otoritas Pajak saat ini dan masa depan.
Otoritas Pajak Indonesia perlu membuat komitmen untuk pengimplementasi 15 rencana aksi. Implementasi 15 Rencana Aksi ini sangat penting untuk proses aksesi Indonesia menjadi anggota OECD. Namun, komitmen indonesia serta langkah mengadopsi Rencana Aksesi ini tidak diikuti dengan penyesuaian peraturan dan hukum perpajakan domestik.
 DAFTAR PUSTAKA
OECD. Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 -2015 Final Report. OECD: Geneva
OECD. Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch. Action 2 - 2015 Final Report. OECD: Geneva
OECD. Designing Effective Controlled Foreign Company Rules, Action 3 - 2015 Final Report. OECD: Geneva
OECD. Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments, Action 4 - 2015 Final Report. OECD:Geneva
OECD. BEPS Action 5 on Harmful Tax Practices - Transparency Framework. OECD: Geneva
OECD. BEPS Action 6 on Preventing the Granting of Treaty Benefits in Inappropriate Circumstances. OECD: Geneva
OECD. BEPS Action 7: Preventing The Artificial Avoidance of PE Status. OECD: Geneva
OECD. BEPS Action 8-10: Financial Transactions. OECD: Geneva
OECD. Measuring and Monitoring BEPS, Actions 11 - 2015 Final Report. OECD: Geneva
OECD. Mandatory Disclosure Rules, Action 12 - 2015 Final Report. OECD: Geneva
OECD. BEPS Action on Country-by-Country Reporting. OECD: Geneva
OECD. BEPS Action 14 on More effective Dispute Resolution. OECD: Geneva
OECD. BEPS Action 15: Development of a Multilateral Instrument to Implement theTax Treaty created BEPS Measures. OECD: Geneva
Rosario, S., & Chavali, K. (2020). Digitization of taxation in the changing business environment & base erosion & profit shifting (BEPS) special reference to India. Eur Sci J, 16(1), 61-74. http://dx.doi.org/10.19044/esj.2020.v16n1p61
OECD. (2023). Tax-to-GDP ratio Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 Indonesia Range Asia and Pacific Indonesia. https://doi.org/10.9
OECD. (2021). OECD Economic Surveys Indonesia. http://www.oecd.org/economy/indonesia-economic-snapshot/
OECD. (2022). Corporate Tax Statistics: Fourth Edition.
Darussalam dan Tobing C,Ganda. (2014). Rencana Aksi Base Erosion Profit Shifting dan Dampaknya Terhadap Peraturan Pajak Di Indonesia. DDTC Working Paper, International Taxation Series No 0714
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H