Menteri Keuangan ("Menteri") telah menerbitkan Peraturan No. 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional ("Perjanjian 39/2017") dalam rangka memperbarui kerangka pertukaran informasi terkait pajak. Pajak adalah sumber pendapatan negara yang tujuannya untuk Pembangunan dan menjadikan masyarakat yang adil dan Makmur.Â
Karena adanya aturan pajak dan pajak adalah kewajiban warga negara sehingga dimanapun kita berada ada perbatasan teritorial dan domisili pajak yang harus dijalankan kewajibannya, subjek dan objek pajak dalam negri, subjek dan pajak luar negri, yang dimana kewajiban tersebut jika tidak dijalankan ada konsekuensinya yaitu sanksi dan denda pajak.Â
Perkembangan bisnis yang semakin meningkat di seluruh dunia, memaksa otoritas pajak menetapkan peraturan perpajakan perjanjian internasional dalam pemenuhan hak, kepatuhan dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pada Pasal 2 ayat satu dikatakan bahwa :
"Pertukaran Informasi dapat bersifat resiprokal dan dilakukan dalam bentuk pertukaran Informasi antara Pejabat yang Berwenang di Indonesia dan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang meliputi secara permintaan, secara spontan dan secara otomatis".
Pada Pasal 3 ayat dua dikatakan bahwa :
Pertukaran Informasi berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan terhadap wajib pajak yang diduga melakukan empat kriteria pelanggaran. Pertama, diduga melakukan transaksi atau kegiatan penghindaran pajak. Kedua, wajib pajak diduga melakukan transaksi yang bermodus pengelakan pajak.
Lalu, ketiga, wajib pajak telah menggunakan struktur atau skema transaksi sedemikian rupa yang mengakibatkan diperolehnya manfaat dari persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Kempat, wajib pajak tersebut belum memenuhi kewajiban perpajakannya
Pada Pasal 3 ayat empat dikatakan bahwa :
Informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi enam kriteria sebagai berikut: Pertama, telah dilakukan segala upaya untuk mencari Informasi di negara atau yurisdiksi tempat Pejabat yang Berwenang meminta Informasi, dan Informasi dimaksud tidak tersedia; Kedua, tidak spekulatif dan memiliki hubungan yang jelas dengan dasar permintaan Informasi.Â
Ketiga, didasari atas kecurigaan dan dugaan yang memadai; Keempat, diyakini terdapat di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, atau di Indonesia. Kelima, tidak mengakibatkan terungkapnya rahasia perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian; dan Keenam, tidak berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan nasional.
Diskursus Kritik Pada 39 / PMK.03/ 2017
Kementrian Keuangan mendapatkan kelancaran untuk keterbukaan informasi yang sangat rahasia (confidential) untuk bisnis wajib pajak, tentunya keterbukaan tersebut dari sisi Wajib Pajak sangat dikhawatirkan bagaimana jika terjadi kebocoran data dan dipergunakan diluar kepentingan perpajakan? mengingat fraud (kecurangan) terjadi karena adanya kesempatan, begitu juga dari pihak-pihak yang diwajibkan untuk membuka informasi Wajib Pajak tersebut.
Menurut pendapat saya untuk pertukaran informasi internasional ini dan untuk saling kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak, Kementrian Keuangan perlu dengan cepat memikirkan Digitalisasi Perpajakan kolaborasi dengan pengembang teknologi baru, wajib pajak yang menggunakannya, dan otoritas pajak akan menjadi penting. Misalny, seperti pembuatan sistem data manajemen wajib pajak, jadi ada transparansi antara wajib pajak dan otoritas pajak dan ini juga untuk penghindaran pajak (tax avoidance). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H