Namaku Sarwito Galiat, panggil saja wito.. anak kelahiran Lamongan yang sekarang tinggal di suatu desa nan asri yakni desa Puloso. Setiap hari aku bermain di tepi telaga dekat rumahku. Gemericik air telaga dengan udara sejuk dikelilingi pohon bambu yang rindang.Â
Ayahku adalah seorang TKI di Malaysia dan Ibuku hanyalah seorang Ibu rumah tangga. Karena Ayah jarang sekali pulang ke Indonesia, aku hanya tinggal bertiga bersama Adik dan Ibu.
Pada akhir tahun 2002 Ayahku mengidap sakit keras dan harus dioperasi. Sayangnya operasi itu tidak membuat Ayah sembuh, justru Ia menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan adikku yang masih kecil. Entah aku harus marah pada siapa, dokter sudah mengerahkan segala usaha untuk menyelamatkan nyawa Ayahku. Mungkin memang inilah jalan terbaik dari Tuhan, agar Ayahku mengakhiri sakit dan segera menuju kenikmatan taman surga.
Beberapa tahun setelah meninggalnya Ayah, Ibuku berjuang sendiri untuk merawat dan menyekolahkan aku dan adikku. Beliau membuka toko kecil-kecilan di rumah dengan menjual makanan ringan dan berbagai bahan-bahan pokok untuk menghidupi keluarga kami.
Tamat SMA aku mencoba mengikuti tes untuk masuk perguruan tinggi dan Alhamdulillah aku lolos di Universitas Negeri Surabaya jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. Beruntung sekali aku memiliki dua paman yang sangat baik, mereka membantu Ibu membiayai kuliahku.
Seperti remaja lainnya, aku juga pernah menyukai seseorang. Sumandra Pujiastri yang sering disapa Sandra, aku menaruh hati padanya sejak SD. Setelah lulus SD kita hampir jarang bertemu, walaupun kita tinggal di desa yang sama. Sekolah SMP hinga SMA yang berbedalah yang memisahkan kita.Â
Setelah lama kami disibukkan dengan pendidikan masing-masing, aku tidak tahan menyimpan rasaku dan aku pun menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Sandra ketika telah memasuki awal semester dua. Kebetulan dia juga kuliah di Surabaya yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya jurusan Bahasa Indonesia dan ternyata ia memiliki rasa yang sama padaku. Ini bukanlah kebetulan, sekenario Tuhan memang tak dapat diduga-duga dan begitu indah. Aku berjanji kepada Sandra untuk selalu menjaga hati dan akan menikahinya.Â
Namun seusai lulus kuliah aku harus meninggalkannya untuk tugas mengabdi ke Kalimantan selama satu tahun. Di sana sangat sulit bertukar kabar dengan Ibu dan Sandra, untuk mendapatkan sinyal aku harus melambai-lambaikan tanganku.Â
Tidak terasa satu tahun telah berlalu, aku sudah terlanjur nyaman dengan tempat itu. Aku dan kawan-kawanku berpamitan, dengan berat hati kami meninggalkan segala tentang Kalimantan dan keasriannya.
Setelah aku kembali ke Jawa, aku mendapat kabar yang seharusnya tidak membuatku lemas. Sandra yang selama ini kusayangi telah jatuh sakit. Pesannya kepadaku sama seperti janji yang pernah kusampaikan kepadanya yaitu menjaga hati dan menikah bersamanya. Aku semakin yakin bahwa Sandra adalah bidadari yang dikirimkan oleh Tuhan padaku.Â
Seminggu setelahnya, Sandra memberiku kabar bahwa Ia sudah sembuh dan aku sangat senang mendengarnya. Setelah bercanda agak lama melalui telepon genggam, Ia meminta izin kepadaku untuk melanjutkan S2 nya di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.Â
Itu artinya aku harus sabar menunggu dan mempersiapkan dengan matang lamaranku kelak. Di samping itu, aku mencoba untuk daftar CPNS dan Alhamdulillah aku lolos. Tidak berhenti di situ, aku kemudian harus kembali mengikuti seleksi dari Diknas dengan mengajar di sekolah dekat Universitas Negeri Malang. Usahaku tidak sia-sia, aku merasa beruntung bisa diterima menjadi guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di salah satu sekolah favorit di daerah Surabaya. Sandra seorang wanita pintar nan cantik jelita itu pun berhasil lulus S2 dan tibalah saat untukku melamarnya.
Pada akhirnya, kami menikah dan satu tahun setelahnya istriku Sandra ditakdirkan mengandung anak pertama kami. Di pertengahan bulan Ramadhan 1441H Istriku sudah merasakan kontraksi yang seharusnya terjadi diakhir bulan Ramadhan. Namun, aku tetap bersyukur karena anak pertama yang berjenis kelamin perempuanku ini terlahir dengan selamat. Tepat setelah kelahiran anakku, tatapanku berbinar terharu melihat anak pertama kami yang Tuhan berikan. Kulit putih, hidung mancung perpaduan dari kedua orang tuanya dan pecahan tangisnya membuatku sangat bersyukur.
Anak dan Istriku masih dirawat setelah proses persalinan. Pada keesokan harinya aku harus merelakan anakku pergi terlebih dahulu ke surga. Aku tidak menyangka, malam kelahirannya kala itu adalah waktu pertama dan terakhirku menatap anakku.
Hatiku berdarah, badanku lemas dan hampir tidak percaya. Aku tahu hal ini tidak dapat dielakkan, namun inilah takdir tuhan. Jika aku boleh teriak, maka aku akan berteriak sekencang-kencangnya menembus cakrawala.Â
Namun tidak, aku harus tabah dan berusaha menenangkan hati Istriku. Aku yakin hatinya jauh lebih patah dariku, Ia telah merelakan nyawanya demi buah hati kami. Selamat jalan anakku, kami yakin engkaulah yang akan merangkul Ayah dan Bundamu ke surga. Tenanglah di sana nak..
*Based on true story
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H