Mohon tunggu...
Kalam Rasa
Kalam Rasa Mohon Tunggu... Seniman - Kalamrasaasf

Anak sastra tp ga berjiwa sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Harap

27 Juni 2020   12:56 Diperbarui: 1 Juli 2020   21:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Itu artinya aku harus sabar menunggu dan mempersiapkan dengan matang lamaranku kelak. Di samping itu, aku mencoba untuk daftar CPNS dan Alhamdulillah aku lolos. Tidak berhenti di situ, aku kemudian harus kembali mengikuti seleksi dari Diknas dengan mengajar di sekolah dekat Universitas Negeri Malang. Usahaku tidak sia-sia, aku merasa beruntung bisa diterima menjadi guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di salah satu sekolah favorit di daerah Surabaya. Sandra seorang wanita pintar nan cantik jelita itu pun berhasil lulus S2 dan tibalah saat untukku melamarnya.

Pada akhirnya, kami menikah dan satu tahun setelahnya istriku Sandra ditakdirkan mengandung anak pertama kami. Di pertengahan bulan Ramadhan 1441H Istriku sudah merasakan kontraksi yang seharusnya terjadi diakhir bulan Ramadhan. Namun, aku tetap bersyukur karena anak pertama yang berjenis kelamin perempuanku ini terlahir dengan selamat. Tepat setelah kelahiran anakku, tatapanku berbinar terharu melihat anak pertama kami yang Tuhan berikan. Kulit putih, hidung mancung perpaduan dari kedua orang tuanya dan pecahan tangisnya membuatku sangat bersyukur.

Anak dan Istriku masih dirawat setelah proses persalinan. Pada keesokan harinya aku harus merelakan anakku pergi terlebih dahulu ke surga. Aku tidak menyangka, malam kelahirannya kala itu adalah waktu pertama dan terakhirku menatap anakku.

Hatiku berdarah, badanku lemas dan hampir tidak percaya. Aku tahu hal ini tidak dapat dielakkan, namun inilah takdir tuhan. Jika aku boleh teriak, maka aku akan berteriak sekencang-kencangnya menembus cakrawala. 

Namun tidak, aku harus tabah dan berusaha menenangkan hati Istriku. Aku yakin hatinya jauh lebih patah dariku, Ia telah merelakan nyawanya demi buah hati kami. Selamat jalan anakku, kami yakin engkaulah yang akan merangkul Ayah dan Bundamu ke surga. Tenanglah di sana nak..

*Based on true story

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun