Sejarah  munculnya  Kampung  Batik  Jetis sendiri tidak  terlepas  dari  adanya bencana  lumpur  lapindo  pada tahun  2005  yang mengakibatkan perekonomian  Sidoarjo mengalami penurunan sehingga berdampak  tersendatnya perekonomian  di Kabupaten Sidoarjo.Â
Hal ini juga yang membuat Bupati Win Hendarso pada tahun 2008 meresmikan Kampung Jetis menjadi Kampung Batik Jetis untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, karena seperti yang telah diketahui bahwa Sidoarjo tengah  dilanda  musibah  yang  tidak  berujung dan  tidak tahu kapan akan berakhir  yakni lumpur lapindo.
Lumpur lapindo mengakibatkan potensi Sidoarjo hampir menutup  potensinya,  yakni  Tanggulangin  yang  terkenal  dengan kerajinan tas dan sepatunya. Dengan alasan tersebut akhirnya  pemerintah  ingin  memunculkan  potensi-potensi Sidoarjo  yang  tersembunyi  dan  belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.
Kampung  Batik  Jetis  Sidoarjo  mempunyai  sentra produksi di kampung batik Jetis, kampung ini merupakan kampung  tua  pengrajin  batik yang  ada  sejak  tahun  1675 se tahun  setelah  masjid  Jamik  dibangun.  Masjid  kini bernama Al- Abror, berada di Kauman (belakang toserba Matahari). Di kampung ini masih terdapat produksi batik tulis  tradisional.Â
Baca juga : Inovasi Tepat Guna Pemanfaatan Limbah Organik di Desa Bluru Kidul Sidoarjo
Penciptaan  seni  membatik  di  Sidoarjo bermula oleh salah satu pendatang yang  bertempat tinggal di kampung Jetis. Pendatang tersebut diidentifikasi  sebagai  salah  satu  keturunan  raja  Kediri yang  dikejar  penjajah  Belanda.  Sebagai  pendatang  baru pria ini menjadi pedagang di pasar kaget yang terletak di kampung Jetis .
Setelah diidentifikasi   pria tersebut bernama mulyadi,  biasa  dipanggil  mbah  mulyadi  oleh  masyarakat Jetis karena  kebaikan dan tanda hormat pada  orang  yang taat beragama. Beliau melakukan pendekatan dengan mengajak  sholat  berjama'ah,  mengajarkan  Al-Qur'an pada masyarakat kampung Jetis, serta mengajarkan proses  membatik.
Mulyadi  mendirikan  masjid  di  desa Pekauman  dan  memberi  nama  masjid  tersebut  dengan nama  Masjid  Jamik  Al-Abror.  Masjid  ini didirikan  pada tahun  1674,  masjid  inilah  diidentifikasi  sebagai  cikal bakal   pembangunan masjid Agung Sidoarjo yang sekarang  berdiri megah di sebalah barat Alun-alun Sidoarjo. Â
Seiring  dengan  perkembangan  penduduk,  serta kian  ramainya  perdagangan di pasar  Jetis  kawasan  ini banyak  didatangi  para pedagang  luar  daerah,  terutama pedagang asal Madura karena pedagang Madura ini sangat  menyukai  batik  tulis  buatan  warga  Jetis.Â
Namun seiring perkembangannya, batik jetis pada waktu itu tidak ada generasi yang mau melanjutkan perkembangan usaha ini. Namun  pada  tahun  1950-an  usaha  batik  Jetis didirikan  lagi  oleh  seorang  wanita  yang  bernama  Bu Widiarsih  dan  banyak  warga  kampung Jetis  waktu  itu masih  menjadi  pekerjanya. Â
Baca juga :Tren Berkain Bersama Menggunakan Batik Jadi Gaya Baru di Kalangan Anak Muda
Usaha  batik  tulis  Widiarsih pada  waktu  itu telah  menjadi  perusahaan  terbesar  di kampung  Jetis  sekaligus  banyak yang  mengakui kalau bisnisnya  menjadi  bisnis  batik  tertua  di  Kampung  Batik Jetis  Sidoarjo.
Pada tahun  1970-an,  para  mantan pekerja Widiarsih  akhirnya  memberanikan  diri  untuk  membuat serta  membuka  usaha  rumahan  batik tulis  sendiri,  yang akhirnya  menjadi  usaha  rumahan  masyarakat  rumahan batik  Jetis tulis ini. Â
Dari sinilah usaha batik mulai menjadi  usaha rumahan masyarakat  Jetis.  Pada  akhirnya usaha tersebut kemudian menjadi mata  pencaharian utama masyarakat  Jetis  selama  bertahun-  tahun  hingga sekarang.
Batik Jetis memang  telah ada sejak tahun 1675. Batik  tersebut  dibawa oleh Mbah  Mulyadi, keturunan Raja Kediri. Namun perkembangan usaha batik tulis Jetis baru  nampak pada tahun 1950-an.Â
Menurut keterangan salah satu narasumber yang ditemui  oleh  peneliti mengatakan bahwa sejarah awal pembuatan batik di Desa Jetis dilakukan  secara turun temurun dari keluarga. Ibu tutik, mengatakan:"Pada tahun 1956  perusahaan batik Ny. Wida sudah  resmi  berdiri  dan banyak  masyarakat  Jetis  pada waktu itu masih bekerja di tempat tersebut.
Kata ibu saya, memang  benar  pada  tahun  1956  perusahaan  batik  milik Ny.  Wida  merupakan  perusahaan  batik  yang  produksi batiknya ramai  dicari  oleh  konsumen,".Â
Nama Widiarsih  atau  yang  akrab  dipanggil  Ny.  Wida  cukup terkenal  di  kalangan  masyarakat  Jetis kala  itu. Wanita tersebut   pemilik perusahaan batik tulis terbesar. Keberadaan perusahaan batik di tahun 1950-an dibenarkan oleh H. M. Nur Wahyudi, pengusaha sekaligus pengrajin "Batik Azizah".
"Dulu sekitar tahun 1955 orang tua saya jadi buruh batik dulu "sebelum  akhirnya  buat  batik  sendiri.  Karena pada  saat  itu  buruh  batik merupakan  pekerjaan  utama sebagian besar masyarakat Desa Jetis," cerita pria yang biasa  dipanggil  Pak  Haji  atau  abah  tersebut.Â
Baca juga : Keberadaan Budaya Batik di Mata Dunia
Saat itu pembeli batik tulis Jetis kebanyakan pedagang dari Madura  yang  senang dengan warna batik mencolok. Kebetulan pada saat itu ada motif yang mencolok yaitu motif ijon-ijonan (krubutan), kalau sekarang lebih dikenal dengan dengan motif bayem.
Pedagang-pedagang tersebut kemudian menjualnya ke pulau Madura Usaha batik pun mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Berbekal keahlian yang mereka dapatkan sebelumnya, orang-orang Jetis pekerja Ny. Wida mulai membuka usaha batik mereka sendiri. Dari  sinilah  usaha batik  mulai  menjadi usaha rumahan masyarakat Jetis.Â
Usaha tersebut kemudian juga menjadi mata pencaharian utama mereka selama bertahun-tahun hingga sekarang. Selain keterangan diatas hal lain yang membenarkan adanya aktifitas perbatikan dimulai pada tahun 1950-an adanya pernyataan dari salah satu pengusaha batik yang memiliki industri batik "Namiroh" yaitu ibu Ratna Mufida.
Ibu  Ratna  Mufida  mengatakan bahwa  batik  Jetis  memang  sudah  ada  sejak  1675  yang dibawa oleh Mbah Mulyadi namun tidak ada yang meneruskan aktifitas membatik ini sehingga sempat hilang aktifitas membatik pada saat itu. Beliau  menyatakan bahwa kegiatan membatik Pada tahun 1950-an mulai muncul kembali setelah sekian lama tidak ada yang menruskan  kegiatan  membatik  di Desa Jetis ini.
Batik asli atau biasa disebut batik tulis, mempunyai proses khas yaitu pembuatannya menggunakan malam atau lilin. Lilin atau malam batik  yang terbuat dari campuran gondorukem, lemak minyak kelapa, dan parafin, berfungsi menutupi motif atau corak batik dari proses pewarnaan.Tiap daerah mempunyai motif dan corak batik yang berbeda.Â
Corak, motif dan warna batik biasanya sesuai dengan ciri daerah pembuat batik itu sendiri. Demikian juga dengan batik tulis Sidoarjo. Batik asli Sidoarjo dalam perkembangannya motif dan warnanya dipengaruhi oleh batik Madura.
Ada tiga motif khas batik Jetis antara lain: beras wutah, kembang tebu, dan kembang bayem.Beras wutah artinya beras yang tumpah, dimana sidoarjo berlimpah ruah makanan pokok dan penghasil beras terbesar sehingga harus di ekspor ke luar kota atau pulau.
Motif kembang tebu sebagai penggambaran Sidoarjo yang dulunya memiliki ratusan hektar perkebunan tebu sebagai bahan baku sejumlah pabrik gula. Sedangkan kembang bayem sebagai ekspresi banyaknya tumbuhan bayem di Sidoarjo terutama daerah Tulangan merupakan penghasil sayur-mayur termasuk bayem.
Sebelum mengalami perkembangan, motif batik Sidoarjo termasuk motif batik tradisional. Dimana batik tradisional adalah batik yang memiliki corak dan gaya motif terikat oleh aturan-aturan tertentu dan dengan isen-isen yang sudah ditentukan dan tidak mengalami perkembangan atau biasa dikatakan sudah pakem.
Baca juga : Simak! 5 Fakta K.R.T Hardjonagoro, Inspirasi Google Doodle dan Pelopor Batik Indonesia
Adapun motif batik Jetis lainnya yang berkembang pada tahun 2008-2009, antara lain: motif udang-bandeng, motif cipretan , motif mahkota, motif keong, Untuk motif 2009-2010 diantaranya: motif sandang pangan, motif cecekan, motif daun sirih, dan motif kangkung, motif pecah kopi, motif merico bolong, motif daun-daunan, sedangkan motif yang berkembang pada tahun 2010-2011 kebanyakan motif yang bersifat kontemporer.
Batik kontemporer, yaitu batik yang dibuat seseorang secara spontan tanpa menggunakan pola, tanpa ikatan atau bebas, sifatnya lebih condong ke seni lukis. Batik kontemporer banyak dikembangkan oleh desainer baik untuk mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan batik dan mode pakaian yang didesain.
Motif batik jetis kontemporer, antara lain: motif bola takraw, motif cocok, motif pecah beling, motif sisik ikan, motif kotak-kotak, motif bunga dan daun, motif tikar, motif parang khas Jetis, motif iris-iris jahe, motif kembang pacar, motif iris-iris tempe, motif satwa laut, motif kolaborasi, motif capung, motif kupu-kupu, motif naga, dan motif bambu runcing.Â
Untuk memperkenalkan produk batik tulis  yang merupakan ciri khas desa jetis  Asossiasi Batik Sidoarjo (ABSI) melakukan promosi melalui pameran  produk batik tulis di outlet di kampung batik jetis.
Para pengerajin batik tulis yang merupakan anggota  ABSI yang bisa mempromosikan produknya digaleri Showroom. Melalui pameran produk di showroom yang difasilitasi oleh ABSI merupakan bentuk upaya pelestarian batik tulis selain itu digunakan untuk membantu penjualan produk.Â
Melalui pameran di rumah batik  Jawa Timur dan pameran tingkat nasional dapat memperkenalkan batik tulis namun pesan yang diperoleh belum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan (Setiawati, 2011). Sehingga perlu fasilitas pemerntah terutama dalam hal pembiayaan pameran.Â
Selain melalui showroom dan pemeran ABSI membantu promosi secara online melalui website dan media sosial yaitu facebook, instagram, dan twitter. Namun untuk website kurang diurusi karena keterbatasan SDM.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H