[caption caption="Dok. upsbatterycenter.com"][/caption]
Oleh : Asep Sumpena, No. 87.
“Kang Asep, masih ingat batu hantu di makam Kampung Kaler?”
Suatu pagi, muncul message di facebook saya dari Dadang teman semasa sekolah dasar di kampung dulu. Agak jarang kami berkomunikasi lewat message facebook kecuali saat mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lebaran. Namun pesan pagi itu cukup aneh. Batu hantu? Kampung Kaler?
Kucoba menyusun kembali lembaran-lembaran memori yang sudah dilipat puluhan tahun lamanya. Dulu sewaktu masih sekolah dasar, saya, Dadang dan Ayut almarhum duduk dalam kelas yang sama dan rumah kami juga berdekatan. Dadang memelihara domba, Ayut memelihara kambing sedangkan saya memelihara kelinci dan marmut. Tiba-tiba ketika teringat Ayut yang sudah almarhum? Pikiran saya pun jadi terang kembali dan memori terbuka, ya aku ingat dengan jelas tentang kisah batu hantu di Kampung Kaler.
***
Suatu siang di penghujung tahun 1980, walau angin bertiup sepoi-sepoi namun langit sangat cerah dan udara cukup panas. Sawah-sawah baru dipanen dan rumput yang akan kami cari mulai menghilang terinjak barisan bebek yang semangat mencari cacing di tanah sawah yang masih basah. Bertiga kami menjauhi kampung dan menuju tempat yang di sebut Kampung Kaler, bukan kampung sebenarnya namun komplek pemakaman tua yang sering diziarahi penduduk yang mau mencari berkah. Ada satu makam keramat yang disebut makam Eyang Bagus dikelilingi tembok batu bata, diplester kasar dan dilabur cat putih.
Di bagian utara berbatasan dengan sawah. Di sanalah biasanya masih tersisa gumpalan rumput yang tebal dan hijau. Saat Dadang mulai ngarit kumpulan rumput tersebut, tiba-tiba ujung sabitnya menyentuh benda keras…ting! Ayut segera menyibakkan rumput dan tampak dua buah batu pipih putih seperti campuran kapur dan marmer, dan satu sama lain lengket. Dadang mengambilnya dan mencoba melepas batu yang lengket tadi, namun tidak bisa. Saya mencoba membukanya dengan cara menggesernya ke samping. Ternyata bisa lepas.
Ayut dengan semangat mengambill batu itu dan melihat permukaannya yang licin dan putih sambil berseru di dekat permukaannya.
“Batu apa ini…?” Lalu seperti magnet batu tadi menempel kembali satu sama lain. Ayut menyerahkan kembali batu itu ke saya.
Saya kembali menggeser batu tersebut dan tiba-tiba ada suara.
“Bhathuu aphaa inhii…” Kami semua terhenyak kaget, ternyata suara itu berasal dari batu yang saya pegang, batu mengeluarkan suara dan seperti merekam suara Ayut tadi. Dadang tergesa mengambil batunya dan menyimpan kembali di sela-sela tembok makam itu.
“Iiiy, batu hantu…!” Seru kami serempak sambil meninggalkan tempat itu.
Namun besoknya, kami datang kembali dan Ayut dengan sigap menggeser batu tersebut dan masih terdengar suara.
“…Thuu aphaa inhii…”
Saat lusanya Ayut ikut ke pasar Kadungora, di pinggir jalan almarhum terserempet bis jurusan Bandung - Garut dan tewas seketika. Sejak kejadian itu saya dan Dadang seperti sepakat bahwa batu hantu membawa petaka, dan kami tidak pernah mendatanginya lagi.
***
Hingga saat ini di penghujung tahun 2014, tiga puluh empat tahun kemudian Dadang mengingatkan lagi tentang batu hantu di sela tembok makam Eyang Bagus Kampung Kaler di kaki Gunung Haruman. Ku balas pesan Dadang di facebook,
“Kang Dadang, kebetulan bulan depan saya mau pulang kampung ke Garut. Apa kita mau menemui”nya”…? Masih ada nggak batu itu ya?” “Wah bagus sekali, Kang. Sudah konfirm bahwa makam Eyang Bagus masih ada dan utuh, semoga batu itu masih ada juga. Kami berencana menyimpannya di Musium Sri Baduga Maharaja”
***
Suatu pagi awal September 2014, saya, Dadang dan dua staf musium sudah ada di seputaran makam Eyang Bagus. Makam masih nampak seperti puluhan tahun yang lampau, namun jalan sudah memakai cone-block dan temboknya sudah direnovasi. Kami melihat ke sekeliling Gunung Haruman yang kokoh, sawah yang menghijau, beberapa perdu berbunga dikelilingi kupu-kupu.
Namun ketika pandangan diarahkan kembali ke komplek makam nampak rumput tinggi dan pohon-pohon kiara berjanggut yang sudah berusia ratusan tahun menebarkan aroma angker. Kami turun ke sawah yang berbatasan dengan tembok, namun harus kecewa karena tembok yang di sini sama sekali baru dan diplester halus, sudah tidak ada lagi sisa-sisa batu hantu itu.
Staf musium mengeluarkan beberapa peralatan arkeologi, lalu melakukan sampling dan pengukuran. Mereka menyimpulkan bahwa di sawah pinggir makam tadi, beberapa meter di kedalamannya diduga ada wujud benda besar dan padat.
Setelah melalui perundingan yang alot bersama penduduk sekitar dan aparat desa, esok paginya tim kami bersama beberapa peneliti tambahan dari LIPI Bandung mendatangi sawah itu serta membawa peralatan yang lebih banyak untuk melakukan penggalian. Sekitar tujuh meter di bawah permukaan tanah petugas menemukan bongkahan batu padat yang saat diketuk mengeluarkan gaung, diduga bagian dalamnya kosong.
Setelah digali berkeliling ternyata wujud batu tadi seperti sebuah sarkofagus atau kubur batu zaman megalitikum (zaman batu besar). Saat digeser tutupnya kami mendapatkan sebuah bentuk tumpukan bijih besi atau leburan bijih besi yang kasar dan rapuh karena sudah teroksidasi. Dengan hati-hati tumpukan oksida besi tadi digeser, dan tim menemukan empat buah kristal silikat halus dan satu buah batu hitam bertuliskan huruf-huruf kuno.
“Seperti tulisan hanacaraka, ya?” Seru Dadang.
“Melihat bentuknya bukan. Ini lebih seperti tulisan Sunda Kuno dari abad ke-14 Masehi” Jawab staf musium sambil berkerut heran.
Tim mengumpulkan temuan tadi dan mengirimkannnya ke laboratorium LIPI dan BATAN Bandung untuk diteliti lebih lanjut. Hasilnya cukup mengejutkan sekaligus membingungkan, sisa-sisa karbon yang ditemukan di dalam sarkofagus menunjukkan berasal dari tahun 6000 SM, sarkofagusnya sendiri diduga berasal dari zaman batu besar, serpihan besi berasal dari zaman perunggu dan batu hitam bertuliskan aksara Sunda Kuno berasal dari abad ke-14 Masehi.
Benda berbagai zaman berkumpul dalam satu situs. Ada yang menarik perhatian kami; saya, Dadang dan salah seorang ahli Basa Sunda musium yaitu tulisan yang tertulis di batu hitam tadi kalau ditransliterasikan akan tertulis sebagai berikut.
Tanaga tana baya
Surya ngajaya
Panalar tana bodo
Runtuyan sajodo
Semalaman kami berdiskusi sambil minum kopi, baru dini hari bisa kami sepakati kemungkinan bahasa prasasti itu adalah sebagai berikut:
Tanaga tanpa bahaya (jeung beaya) – Surya jadi jaya – Panalar tanpa bodo – Runtuyan sajodo.
Kami coba terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
Tenaga tanpa bahaya dan biaya – Matahari menjadi sukses – Pengetahuan tanpa kebodohan – Rangkaian berpasangan.
Bahkan iseng saya masukan kata-kata itu ke Google Translate diubah ke bahasa Inggris didapatkan sebagai berikut:
Power without the danger and expense - the Sun being successful - Knowledge without ignorance - The series pairs.
Makin membingungkan dan membuat kami semua tertawa, malah Dadang kemudian menyanyikannya sambil memplesetkan kata-katanya:
“Power with sunshine – knowledge with ignorance – The series is pairs – Everyone is lieur…”.
Mendengar kata-kata power, sunshine, series, pairs dari lagu itu, seperti ada lampu yang menyala di dalam pikiran saya. Lalu esoknya kami pergi ke LIPI Bandung dan melihat empat buah atau dua pasang kristal silikat yang ditemukan bersama prasasti.
Dari hasil penelitian lanjutan ditemukan bahwa di setiap ujung kristal ada ceruk berbentuk segi delapan. Dan kristal itu memang kembar identik serta terbuat dari bijih kuarsa yang terdapat di sekitar kaki Gunung Haruman. Bersama ahli listrik dari LIPI kami mencoba merangkaikan (Runtuyan) kristal silikat tadi berpasangan (Sajodo) dan memasukkan dioda tembaga ke ceruk setiap ujung kristal, setelah diukur ternyata menghasilkan medan magnet yang besar.
Saat di bawa ke luar ruangan dan diarahkan ke sinar mentari (Surya), kristal berubah menjadi keunguan, temperatur normal dan menghasilkan tegangan listrik yang cukup tinggi (Tanaga).
Kami berpandangan takjub, kami telah mengukir sejarah baru, sumber energi terbarukan telah ditemukan di Indonesia. Berasal dari situs arkeologi di Kampung Kaler kaki Gunung Haruman.
***
Indonesia tahun 2020, kami berdiri di ketinggian The Indonesia Tower, bangunan tertinggi sedunia. Negara super power penyelamat dunia, negara adikuasa yang membuat dunia bersih dari polusi dan melepas ketergantungan akan bahan bakar fosil.
Malam mulai datang namun langit rasanya masih biru cerah, karena cakrawala sangat bersih. Di bawah tower, nampak bangunan, kendaraan, jalan bermandikan sinar cahaya lampu yang semarak yang dihasilkan oleh energi murah dari sinar matahari dan teknologi baterei yang murah dan efisien.
Sampai saat ini, para peneliti masih belum bisa memecahkan misteri temuan dari berbagai zaman yang berkumpul jadi satu di situs Kampung Kaler. Namun perlahan tapi pasti beberapa BUMN Indonesia seperti PLN, Pertamina, PGN…sudah tidak ada lagi dalam wujud perusahaan bahkan namanya sudah menghilang di berita media dan Koran, dan bahkan dari benak orang, karena mereka sudah berakhir.
***
Catatan: Kisah pertemanan Asep, Dadang dan Ayut (almarhum) adalah nyata. Makam Eyang Bagus dan komplek makam tua di kampung Kaler juga nyata. Sedangkan kisah lainnya adalah imajinasi semata.
***
NB :
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Fantasi.
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H