Setelah digali berkeliling ternyata wujud batu tadi seperti sebuah sarkofagus atau kubur batu zaman megalitikum (zaman batu besar). Saat digeser tutupnya kami mendapatkan sebuah bentuk tumpukan bijih besi atau leburan bijih besi yang kasar dan rapuh karena sudah teroksidasi. Dengan hati-hati tumpukan oksida besi tadi digeser, dan tim menemukan empat buah kristal silikat halus dan satu buah batu hitam bertuliskan huruf-huruf kuno.
“Seperti tulisan hanacaraka, ya?” Seru Dadang.
“Melihat bentuknya bukan. Ini lebih seperti tulisan Sunda Kuno dari abad ke-14 Masehi” Jawab staf musium sambil berkerut heran.
Tim mengumpulkan temuan tadi dan mengirimkannnya ke laboratorium LIPI dan BATAN Bandung untuk diteliti lebih lanjut. Hasilnya cukup mengejutkan sekaligus membingungkan, sisa-sisa karbon yang ditemukan di dalam sarkofagus menunjukkan berasal dari tahun 6000 SM, sarkofagusnya sendiri diduga berasal dari zaman batu besar, serpihan besi berasal dari zaman perunggu dan batu hitam bertuliskan aksara Sunda Kuno berasal dari abad ke-14 Masehi.
Benda berbagai zaman berkumpul dalam satu situs. Ada yang menarik perhatian kami; saya, Dadang dan salah seorang ahli Basa Sunda musium yaitu tulisan yang tertulis di batu hitam tadi kalau ditransliterasikan akan tertulis sebagai berikut.
Tanaga tana baya
Surya ngajaya
Panalar tana bodo
Runtuyan sajodo
Semalaman kami berdiskusi sambil minum kopi, baru dini hari bisa kami sepakati kemungkinan bahasa prasasti itu adalah sebagai berikut:
Tanaga tanpa bahaya (jeung beaya) – Surya jadi jaya – Panalar tanpa bodo – Runtuyan sajodo.
Kami coba terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
Tenaga tanpa bahaya dan biaya – Matahari menjadi sukses – Pengetahuan tanpa kebodohan – Rangkaian berpasangan.
Bahkan iseng saya masukan kata-kata itu ke Google Translate diubah ke bahasa Inggris didapatkan sebagai berikut:
Power without the danger and expense - the Sun being successful - Knowledge without ignorance - The series pairs.
Makin membingungkan dan membuat kami semua tertawa, malah Dadang kemudian menyanyikannya sambil memplesetkan kata-katanya:
“Power with sunshine – knowledge with ignorance – The series is pairs – Everyone is lieur…”.
Mendengar kata-kata power, sunshine, series, pairs dari lagu itu, seperti ada lampu yang menyala di dalam pikiran saya. Lalu esoknya kami pergi ke LIPI Bandung dan melihat empat buah atau dua pasang kristal silikat yang ditemukan bersama prasasti.
Dari hasil penelitian lanjutan ditemukan bahwa di setiap ujung kristal ada ceruk berbentuk segi delapan. Dan kristal itu memang kembar identik serta terbuat dari bijih kuarsa yang terdapat di sekitar kaki Gunung Haruman. Bersama ahli listrik dari LIPI kami mencoba merangkaikan (Runtuyan) kristal silikat tadi berpasangan (Sajodo) dan memasukkan dioda tembaga ke ceruk setiap ujung kristal, setelah diukur ternyata menghasilkan medan magnet yang besar.