TB2 PAJAK KONTEMPORER_ASEP SULAEMAN_55520120040: Tarik Ulur Penerapan Perpajakan pada Transaksi E-Commerce
Era digital seperti sekarang ini, peran teknologi sangat penting untuk mendukung aktivitas manusia. Internet digunakan utk berbagai keperluan seperti, mencari informasi berbelanja via online dan lain lain.Â
Berbicara tentang belanja online, semenjak Februari 2020 hingga saat ini, Indonesia dilanda pandemi virus covid-19, masyarakat cenderung memilih berbelanja secara online untuk melengkapi kebutuhan harian mereka. Belanja online merupakan cara tepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari selama di rumah, sehingga dapat menghindari risiko penularan Covid-19.
Dengan adanya kemudahan akses internet ini bermunculan toko--toko daring atau yang lebih umum disebut online shop. Dengan semakin maraknya pemakai internet tentu berpengaruh terhadap peningkatan jumlah perdagangan pada gilirannya memunculkan problematika di bidang perpajakan, yaitu tentang bagaimana menerapkan pajak untuk bisnis yang berbasis online.
Dalam kebijakan perdagangan online atau e-commerce sudah mulai dilakukan pada tahun 2013 melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 62 tahun 2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce .Â
Sayangnya dalam surat edaran tersebut belum diatur secara komprehensif tentang transaksi perdagangan secara online bagaimana teknis pemungutan, pelaporan, surat edaran tersebut hanya menegaskan bahwa atas transaksi e-commerce sama dengan transksi bisnis konvensional karena hanya mereferensi Undang-Undang.Â
Pada akhirnya penerapan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pada sistem perdagangan online atau e-commerce bisa dikatakan tidak terlaksana.
Setelah pertumbuhan transaksi e-commerce berkembang dengan pesat, pemerintah mengeluarkan peraturan menteri keuangan No 210/PMK.010/2018. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa para pebisnis digital diharuskan memenuhi aturan tentang pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.Â
Namun pada 29 Maret 2019 melalui website kemenkeu.go.id menteri keuangan Sri Mulyani membatalkan peraturan nomor 210 tahun 2018 dan kemudian mengeluarkan PMK 32 PMK.010/2019. Dengan demikian, pebisnis yang memiliki omzet hingga Rp4.800.000.000,- dikenakan tarif sebesar setengah persen (0.5%) atas omzetnya, tarif ini sama dengan pebisnis UMKM secara konvensional.
Atas tarik ulur penerapan perpajakan pada transaksi e-commerce pemerintah belum dapat memetakan cara efektif dan tepat atas potensi perpajakan transaki e-commerce.Â
Dengan kata lain pihak  Dirjen Jenderal Pajak  kesulitan  dalam memisahkan pajak e-commerce itu. Alasannya, sebagian besar e-commerce yang telah menyetor pajak merupakan perusahaan perdagangan yang menjalankan bisnis secara fisik (offline) dan non fisik (online) secara bersamaan.Â
Artinya Wajib pajak jika yang berbisnis secara konvensional hampir semua mengikuti perkembangan teknologi dengan melakukan  transaksi bisnis secara online tetapi sifat dasar dari transaksinya adalah upaya saluran distribusi saja dan berpromosi sehingga para user mengenal produk mereka.
Permasalahan e-Commerce dalam hal pengenaan pajak atas transaksinya sulit karena beberapa hal misal tingkat anonim yang tinggi, transaksi e-commerce sangat erat dengan penggunaan user yang susah diidentifikasi baik autentik atau keberadaannya.Â
Tidak ada aturan yang jelas spesifik mengatur transaksi e-commerce guna mengikat administrasi persyaratan/kriteria yang wajib dipenuhi untuk menjadi pelaku e-commerce yang taat pajak, sehingga siapapun itu yang memiliki jaringan internet dapat melakukan transaksi e-commerce.Â
Transaksi tidak ada batasan wilayah, dengan menggunakan jaringan online, semua batas negara dapat terkoneksi sehingga kesulitan dalam penetapan besaran pungutan pajak yang berlaku jika lintas batas wilayah. Transaksi e-commerce sangat erat dengan data elektronik. Data elektronik merupakan data yang rentan karena dapat dengan mudah dihapus, direkayasa dan dimanipulasi sehingga sulit untuk membuktikan keandalan datanya.
TEORI KEBIJAKAN
Jika dilihat dari kesulitan diatas dalam penerapan pajak pada transaksi e-commerce sebaiknya pemerintah dalam menerapkan perpajakan e-commerce harus memegang teori kebijakan. Yang artinya untuk membuat kebijakan fiskal harus didasarkan pada siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar, dan bagaimana tatacara pembayaran pajak yang terhutang (Sari RP). Contoh kebijakan pajak ini, misalnya ketentuan mengenai diperbolehkannya penggunaan norma penghitungan penghasilan netto atau deemed profit. Dengan membuat suatu kebijakan atau peraturan mengenai prosedur transaksi online yang melibatkan semua unsur pelaku transaksi seperti penjual, pembeli, Â pihak ketiga penjamin otentik data penjual dan pembeli, Â payment gateway atau bank pembayaran. Sehingga dalam kebijakan bersandar pada azas keadilan dan kesetaraan.
Referensi :
-Sari RP. Kebijakan Perpajakan atas Transaksi E-commerce. Akuntabel 2018;15:67.
-Kemenkeu. Peraturan Menter Keuangan Nomor 210 PMK 010 Tahun2018.
-Fauzi, Yuliyanna. 2017. Pemerintah Masukkan Potensi Pajak e-Commerce di APBNP 2017. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170905173347-78-239623/pemerintah-masukkan-potensi-pajak-e-commerce-di-apbnp-2017. (Akses 18/11/2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H