Melampaui Stoikisme dan Afirmasi: Kerangka Epistemologi Dinamis untuk Revolusi Spiritual dan Sosial
Teaser
Di dalam angkot 03 yang melaju pelan menuju Pasar Anyar, suasana pagi terasa dingin. Di luar, langit belum sepenuhnya cerah, dan jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melaju. Angkot ini penuh sesak dengan penumpang yang mayoritas adalah para karyawan yang buru-buru mengejar kereta di Stasiun Tangerang, dan ibu-ibu yang hendak berbelanja di Pasar Baru.
Di kursi depan, Tresna, tukang becak yang biasa mangkal di depan Toko Sabar, duduk dengan tenang. Matanya mengikuti jalanan yang berlubang, tetapi wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh. Di sampingnya, Atep, penjaga toko di sebuah Toko Alat Teknis di sebelah Toko Sabar, tampak gelisah. Tangan kirinya menggenggam pegangan angkot, sesekali menoleh ke luar, matanya mencari-cari ketenangan.
Di kursi belakang, Asep, tukang parkir di Toko Sabar, memulai perdebatan seperti biasa. "Eh, kalian ini, tiap hari ngeluh soal jalanan rusak, tapi nggak ada perubahan juga. Kenapa sih nggak ada yang ngelakuin sesuatu?"
Atep menoleh dan mengeluh, "Ya, emang susah Asep. Jalanan rusak gini, cuma bisa diterima aja. Kalau terus-terusan marah, kita malah makin capek."
Tresna menanggapi dengan tenang, "Ya, bener kata Atep. Kita terima aja, jalanan memang rusak, ya udah, jalanin aja. Yang penting kita nggak buat masalah jadi makin besar."
Asep merasa kesal. "Kalian ini, malah enak-enak aja terima kenyataan. Gimana kalau nggak terima? Kalau nggak ada yang berani ngomong, jalanan ini nggak bakal berubah!" Asep berkata keras, suaranya menggelegar di dalam angkot.
Atep menggelengkan kepala, "Tapi Asep, bukan berarti kita cuma ngeluh doang. Kalau kita terus-terusan mikir negatif, yang ada malah kita makin susah. Lebih baik pikirin hal-hal positif aja, kan, supaya kita bisa maju."
Tresna ikut angkat bicara, "Tapi, Atep, gimana kalau masalahnya udah jelas dan gak bisa diubah? Kita malah cuma capek mikirin yang nggak bisa kita ubah. Mending terima aja dan fokus ke hal-hal yang bisa kita ubah."
Asep mendengus, "Terima aja? Jadi kita nggak peduli dengan jalanan rusak gini? Gimana nasib kita, kalau terus-terusan 'terima' aja?"