Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, sebuah warteg sederhana di pojok jalan sedang ramai seperti biasa. Warteg Ayu, tempat favorit warga sekitar, dikenal dengan masakannya yang sedap dan suasananya yang hangat. Siapa sangka, pagi itu, tiga jenius dunia, Albert Einstein, Nikola Tesla, dan Thomas Edison, duduk di meja kayu panjang dekat jendela besar khas warteg, menikmati hidangan khas Indonesia.
"Mbak Ayu, teh manis saya tambah dong, tapi kali ini lebih panas," pinta Einstein dengan senyuman ramah. Mbak Ayu, pemilik warteg, tersenyum sambil membawa teh manis untuk si ilmuwan teoretis. "Ini, Pak Albert. Teh manisnya hangat, biar nggak masuk angin," katanya. Einstein menyesap perlahan, wajahnya terlihat lega setelah gigitan pertama nasi goreng kornet yang sebelumnya terasa terlalu pedas untuk lidahnya.
Di seberang meja, Tesla sibuk mencari tisu. "Mbak Ayu, pedas sekali sambal jengkol balado ini! Saya rasa lidah saya terbakar," katanya dengan aksen Eropa Timur yang kental. Tesla, yang biasanya begitu tenang dan fokus, terlihat agak kacau. Wajahnya merah, dan dia terus meniup-niup mulutnya.
Mbak Ayu tertawa kecil sambil membawa sepiring tambahan kerupuk. "Lha, Pak Nikola, tadi kan sudah saya bilang, ini sambalnya tingkat dewa. Jangan banyak-banyak makannya kalau belum biasa!" Tesla mengangguk malu, lalu menatap Edison yang terlihat sibuk meniup mangkuk soto tangkar yang mengepul.
"Thomas, bagaimana kau bisa makan soto panas ini dengan santai? Aku bahkan tidak bisa mendekatkan wajahku ke mangkuk," ujar Tesla. Edison, dengan keringat mengalir di pelipisnya, tertawa. "Nikola, kau tahu aku ini pekerja keras, bukan? Kalau bisa bertahan dari eksperimen ribuan kali dengan lampu pijar, aku pasti bisa menyelesaikan soto ini!" jawabnya sambil terus menyendok kuah kuning yang kaya bumbu.
Tiba-tiba muncul seorang pengemudi ojol bernama Isep masuk sambil melepas helmnya. Ia menyapa hangat, "Eh, Pak Albert, Pak Nikola, Pak Thomas! Apa kabar? Kok pada ngumpul di sini, bikin rapat warteg, ya?"
Ketiganya tertawa serempak. "Kami sedang membahas kejeniusan, Isep," jawab Einstein. "Tapi aku rasa, kejeniusan terbesar hari ini adalah Mbak Ayu yang bisa memasak makanan seenak ini."
Isep mendekat dan mengambil posisi di meja yang sama, memesan sepiring ayam goreng dan lalapan. "Wah, kalau ngomongin jenius, kalian bertiga ini pasti jenius kelas dewa. Tapi jangan lupa, Mbak Ayu juga jenius di dapur!" Isep mengedip ke arah Mbak Ayu, yang tertawa geli sambil menggoreng tahu di dapur.
Di bawah meja, seekor kucing liar mengeong pelan, mengarahkan matanya yang tajam ke arah Edison. Kucing itu sudah lama menjadi penghuni setia warteg, sering menunggu jatah makanan sisa dari pelanggan. "Hah, lihat itu," kata Edison sambil menunjuk kucing tersebut. "Dia tahu siapa yang paling dermawan di sini!" Dengan lembut, Edison menjatuhkan beberapa potongan daging sapi dari sotonya ke lantai. Kucing itu langsung melahapnya, sambil sesekali mengeong seolah mengucapkan terima kasih.
Einstein sambil menyeruput teh manisnya, berkata,"Tahu tidak, orang sering bilang IQ saya di atas 160. Tapi lucu juga, saya tidak pernah ikut tes IQ. Mereka hanya menduga-duga karena saya bicara soal ruang dan waktu."
Tesla tersenyum. "Teorimu tentang relativitas benar-benar mengubah cara kita melihat alam semesta, Albert. Bahkan ideku tentang energi bebas terlihat kecil dibandingkan dengan pandangan itu."