Robbie, Sang Dilema di Pos Ronda Malam Hari
Di bawah langit yang kelam, angin malam berhembus pelan, membuat daun-daun pisang di dekat Pos Ronda bergoyang pelan. Robbie duduk di bangku kayu yang sudah mulai keropos, ditemani secangkir kopi hitam panas dan suara jangkrik. Biasanya, pos ini adalah tempat dia menghabiskan waktu bercanda dengan teman-temannya, tapi malam ini dia datang sendirian. Kepalanya penuh, pikirannya seperti benang kusut yang terus dililitkan tanpa ujung.
Robbie memandangi layar ponselnya. Di sana, ada dua pesan yang membuat hatinya makin berantakan. Pesan pertama dari pacarnya: "Kapan kamu ada waktu buat ngobrol serius? Aku rasa akhir-akhir ini kamu berubah..." Pesan kedua, dari perempuan baru yang belakangan ini mengisi harinya dengan semangat: "Kamu sibuk? Aku kangen."
Dia menarik napas panjang. Gue harus mutusin siapa? Atau... gue terus begini aja?
Kenapa Semua Jadi Serumit Ini?
Pacarnya yang sekarang sudah lima tahun bersamanya. Perempuan baik, penuh pengertian, dan selalu ada di saat-saat sulit. Dari membantu Robbie ketika dia gagal meraih impiannya hingga mendukungnya dengan sabar ketika usahanya bangkrut. Orang tua Robbie pun sudah seperti orang tua sendiri bagi pacarnya. Bahkan, mereka sudah bercanda soal pernikahan.
Tapi akhir-akhir ini, Robbie merasa bosan. Hubungannya terasa seperti rutinitas tanpa gairah. Di sisi lain, perempuan baru ini datang seperti angin segar. Cantik, pintar, dan selalu berhasil membuat Robbie merasa istimewa. Obrolan mereka ringan, penuh tawa, dan terasa seperti dunia baru yang jauh dari masalah. Dia lebih ngerti gue, pikir Robbie.
Namun, keindahan ini datang dengan konsekuensi besar. Robbie tahu, jika dia memilih perempuan baru ini, dia harus menghancurkan sesuatu yang telah dia bangun selama lima tahun.
Mau Curhat ke Orang Tua?
Robbie membayangkan wajah bapaknya. "Kamu pikir cewek baik kayak dia gampang dicari? Papa nggak setuju kalau kamu putus." Apalagi ibunya yang sudah memuji pacarnya berkali-kali: "Dia tuh calon istri yang pas, Rob. Jangan disia-siain, ya." Kalau dia bilang ingin putus karena bosan, dia yakin reaksi orang tuanya akan lebih dari sekadar marah.
Mau Curhat ke Sahabat?