Nganyarkeun bermakna "memperbarui" atau "melestarikan". Tahapan ini meliputi kegiatan pasca panen, seperti pengolahan hasil panen, penyimpanan, dan menjaga keberlanjutan lahan pertanian.
Orang Sunda memiliki tradisi menyimpan benih untuk musim tanam berikutnya. Mereka juga melakukan rotasi tanaman dan membiarkan lahan beristirahat untuk menjaga kesuburan tanah. Contohnya, menyimpan benih padi di lumbung padi (leuit), atau melakukan ngagarap (membajak sawah) setelah panen untuk menggemburkan tanah.
Konsep nyacar, ngarumat, dan nganyarkeun  mengajarkan kita untuk menghargai alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.  Petani Sunda tidak hanya mengambil hasil dari alam, tetapi juga merawat dan melestarikannya agar tetap produktif untuk generasi mendatang.
Di tengah isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim dan degradasi lahan, prinsip nyacar, ngarumat, dan nganyarkeun menjadi semakin relevan. Â Konsep ini dapat menjadi inspirasi bagi praktik pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Nyacar dalam konsepsi yang lebih luas berarti melihat esensi kehidupan melalui kedalaman batin, mengingatkan kita untuk tidak hanya fokus pada dunia material dan teknologi, tetapi juga untuk menghubungkan diri kita dengan alam semesta yang lebih luas. Ini selaras dengan konsep AQAL (All Quadrants, All Levels) oleh Ken Wilber, yang menawarkan kerangka holistik untuk memahami dunia dalam empat dimensi yaitu kesadaran individu, tindakan individu, nilai sosial, dan struktur sosial. AQAL mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat dunia ini dari perspektif fisik atau sosial, tetapi juga memperhitungkan dimensi spiritual dan mental, yang saling melengkapi dalam penciptaan harmoni.
Nganyarkeun secara kosmologis berarti memperbarui segala hal yang telah dipakai dan digunakan, serta mewartakan kebaikan dan keadilan, serta Ngigelan Takdir, yang mengajarkan kita untuk menerima takdir dengan lapang dada. Namun, dalam menghadapi ketegangan sosial dan ketidaksetaraan yang semakin meningkat, penting untuk menerapkan prinsip Ngarumat, yang lebih mengarah pada perawatan dan pemeliharaan terhadap alam, sesama, dan diri kita sendiri. Ngarumat mengingatkan kita untuk merawat bukan hanya tubuh fisik kita, tetapi juga hubungan kita dengan lingkungan dan makhluk hidup lainnya, yang mendasari kehidupan yang lebih seimbang dan harmonis.
Berbeda dengan itu, Homo Deus dan Homo Nexus yang dikemukakan oleh Yuval Noah Harari bisa menjadi dua konsep yang menggambarkan arah kemanusiaan yang semakin mengarah pada transhumanisme dan konektivitas global. Homo Deus menggambarkan manusia yang ingin melampaui batasan biologisnya dengan menggunakan teknologi untuk memperpanjang hidup, meningkatkan kecerdasan, dan bahkan mencapai keabadian. Sedangkan Homo Nexus menggambarkan manusia yang terhubung secara langsung dengan teknologi, menciptakan jaringan global yang mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia dan satu sama lain.
Homo Deus dan Homo Nexus bukan sekadar pandangan futuristik tentang kemanusiaan. Mereka mencerminkan dua wajah dari ambisi tanpa batas manusia yang semakin meninggalkan kemanusiaannya. Homo Deus, dalam pencariannya akan keabadian dan kemuliaan, berambisi untuk melampaui batasan biologisnya dengan mengandalkan teknologi untuk memperpanjang hidup, meningkatkan kecerdasan, dan menghapuskan segala bentuk keterbatasan fisik. Ia ingin mengendalikan waktu, dan dalam pengendalian itu, manusia berharap bisa menaklukkan kematian. Sebuah ambisi yang, dalam kaca mata filsafat Sunda, akan membawa kita pada kehilangan keseimbangan dengan alam, sebuah pelanggaran terhadap prinsip Rahayu Jagad Alit dan Rahayu Jagad Gede, yang mengajarkan bahwa setiap makhluk memiliki tempatnya dalam harmoni kosmos.
Sementara itu, Homo Nexus merujuk pada manusia yang terhubung langsung dengan teknologi, menciptakan jaringan global yang merubah cara kita berinteraksi dengan dunia dan satu sama lain. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kualitas hidup, kini menjadi kendali yang memisahkan kita dari kemanusiaan kita sendiri. Homo Nexus mungkin merasa lebih terhubung satu sama lain secara digital, namun justru semakin jauh dari esensi sejati kehidupan yaitu terciptanya hubungan yang penuh kasih sayang, kehadiran fisik, dan kebermaknaan yang hanya bisa ditemukan dalam ketidakterhubungan yang sesungguhnya dengan alam dan sesama.
Dalam filsafat Sunda, pandangan Homo Deus dan Homo Nexus ini bertentangan dengan prinsip dasar kehidupan yang telah diajarkan selama berabad-abad. Tri Tangtu Buana, yang mencakup alam nyata, alam gaib, dan alam batin, mengingatkan kita bahwa hidup harus dilalui dengan rasa saling menghormati dan menjaga harmoni dengan semua dimensi kehidupan. Teknologi yang menghubungkan kita dalam jaringan global tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan hubungan sejati dengan alam dan sesama. Nyacar, untuk merenung dan menyelami kedalaman batin, serta Ngarumat, untuk merawat dan menjaga kehidupan dengan kasih sayang, adalah ajaran yang mengingatkan kita bahwa manusia tidak diciptakan untuk menjadi abadi melalui mesin, melainkan untuk mencapai keseimbangan, yang hanya bisa dicapai melalui kearifan alam.
Pada gilirannya kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu apakah kita akan terjebak dalam ilusi kemajuan yang mengorbankan makna kehidupan yang sesungguhnya, ataukah kita akan kembali ke jalan yang mengutamakan harmoni dengan alam dan sesama, seperti yang diajarkan oleh filsafat Sunda?