Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harapan, Kekecewaan, dan Revolusi: Bagaimana Ekspektasi Bisa Membentuk atau Menghancurkan Kehidupan Kita

29 November 2024   06:08 Diperbarui: 29 November 2024   06:24 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dunia K-pop yang penuh gemerlap, Jun Kook berdiri di atas panggung megah, dikelilingi teriakan jutaan penggemar. Tapi, di balik senyum sempurna dan koreografi yang memukau, ada luka tersembunyi. Ia pernah berkata, "Semakin besar cinta mereka, semakin aku takut mengecewakan." Ketika ekspektasi melambung setinggi langit, bahkan sosok seperti Jun Kook bisa merasa tercekik di tengah tepuk tangan. Hidupnya berubah menjadi permainan menyeimbangkan harapan penggemar dan harapan dirinya sendiri, seperti berjalan di atas rambut dibelah tujuh tanpa jaring pengaman.

Di sisi lain dunia, Ed Sheeran memetik gitar usangnya di sudut jalanan Inggris. Rambut merahnya acak-acakan, suaranya serak karena dingin. Tak ada sorotan, tak ada penggemar. "Aku hanya ingin satu orang berhenti untuk mendengar," ujarnya pada dirinya sendiri. Tapi kesederhanaan ekspektasi itulah yang mengubah hidupnya. Ia tidak dibebani harapan besar, hanya mimpi kecil untuk didengar. Dari sini, ia menciptakan karya yang kemudian mengguncang dunia.

Ada Presiden Prabowo Subianto, yang berdiri di depan bangsa yang penuh harapan. Ia telah bersumpah untuk membawa Indonesia ke era keemasan, tetapi ia juga tahu bahwa ekspektasi masyarakat adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka adalah kekuatan pendorong. Di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, mereka dapat menjadi bahan bakar bagi kerusuhan sosial. Dalam setiap langkahnya, ia berjalan di antara visi besar dan beban harapan.

Namun, kisah lain yang lebih menggetarkan datang dari sejarah bangsa kita sendiri. Pada masa penjajahan, rakyat Indonesia hidup dalam penderitaan panjang. Mereka berada di titik nadir dengan pendapatan rendah dan kebahagiaan rendah. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan harapan mereka pada kemerdekaan menjadi mercusuar di tengah kegelapan. Kemerdekaan adalah ekspektasi tertinggi yang mereka gantungkan pada para pejuang bangsa.

Ketika akhirnya proklamasi bergema pada 17 Agustus 1945, gelombang euforia melanda. Tapi euforia itu segera terantuk realitas keras. Pada masa Orde Lama, janji kemerdekaan tidak serta-merta mengangkat rakyat dari kemiskinan. Mereka tetap berada di zona pendapatan rendah dan kebahagiaan rendah. Instabilitas politik, inflasi yang meroket, dan konflik sosial membuat rakyat kembali bertanya-tanya, apakah ekspektasi mereka terlalu tinggi?

Guncangan sosial pun terjadi. Ketidakpuasan memuncak, dan jalanan menjadi medan protes. Ekspektasi yang tak terpenuhi berubah menjadi kemarahan yang mengguncang fondasi bangsa. Dari sini, satu pelajaran berharga muncul bahwa ekspektasi yang tak dikelola dengan baik adalah api yang bisa membakar segala yang ada menjadi abu.

Di masa kini, kisah-kisah ini menemukan resonansi dalam kehidupan pribadi dan pemerintahan. Bagaimana kita, sebagai individu atau bangsa, seharusnya mengelola ekspektasi? Bagaimana pemimpin seperti Presiden Prabowo Subianto, yang kini berdiri di tengah gelombang ekspektasi masyarakat, bisa memastikan bahwa harapan besar rakyat tidak berubah menjadi kekecewaan besar? Apakah kita Jun Kook, yang dibebani ekspektasi besar? Apakah kita Ed Sheeran, yang menemukan kebahagiaan dalam ekspektasi kecil? Ataukah kita rakyat Indonesia, yang harus belajar dari sejarah bahwa ekspektasi adalah sesuatu yang harus dikelola dengan bijak?

Ekspektasi adalah harmoni kompleks. Ia bisa menginspirasi simfoni kehidupan atau menciptakan kebisingan yang merusak. Seni mengelola ekspektasi, baik dalam kehidupan pribadi maupun kebijakan publik, adalah keterampilan yang harus dimiliki oleh siapa pun yang ingin menciptakan kebahagiaan dan kesuksesan jangka panjang.

Jun Kook adalah idola dunia. Sebagai anggota grup K-pop terbesar di planet ini, hidupnya tampak sempurna, panggung megah, sorakan jutaan penggemar, dan kekayaan yang melimpah. Namun, dalam salah satu wawancaranya, Jun Kook mengaku sering merasa terjebak dalam ekspektasi yang membebani. "Terkadang, aku merasa hidup ini bukan milikku," katanya. Di sisi lain, ada Ed Sheeran, penyanyi Inggris yang dikenal dengan lagu-lagu penuh perasaan. Ed memulai kariernya dari nol, mengamen di jalanan, tidur di sofa teman, hingga akhirnya mencapai kesuksesan global. Meski kini ia berada di puncak, Ed mengaku bahwa menjaga ekspektasi tetap sederhana adalah kunci untuk menikmati setiap pencapaian.

Kita jadi bertanya-tanya, bagaimana ekspektasi membentuk kebahagiaan dan kesuksesan seseorang? Jawaban atas pertanyaan ini relevan tidak hanya bagi selebriti tetapi juga bagi kita semua, yang setiap hari bergulat dengan harapan, kenyataan, dan tujuan hidup.

Mengelola Ekspektasi: Belajar dari Empat Kondisi Hidup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun