Malam tadi saya duduk santai di Angkringan di depan gerbang kompleks, ngopi sambil ngobrol-ngobrol ringan soal Pilkada Serempak 2024 besok. Ada yang cerita, "Wah, gue cuma dapet seratus ribu buat nyoblos besok." Lalu yang satu lagi nimpalin, "Ah, gue mah golput aja, udah males liat politik gitu-gitu aja." Terus, ada yang bilang, "Gue malah bingung, kenapa suara gue bisa hilang dari DPT kali ini ya?"Â
Nah, di situlah saya jadi mulai nyadar, bahwa dalam dunia politik Indonesia, ada tiga fenomena yang semakin menggelisahkan kita sebagai warga negara yaitu jual suara, kehilangan suara, dan golput. Semua itu seolah meracuni rawa demokrasi kita, yang seharusnya subur dengan partisipasi dan kepercayaan rakyat.
Jual Suara
Seorang teman saya ngomong begini tadi malam. Duit itu lebih asyik dari dangdut paling asyik sekalipun di acara Kampanye Pilkada manapun. Terlebih jika selama ini gue ngeliat banyak calon bisa tiba-tiba amnesia dari janji-janji kampanyenya ketika sudah menang jadi Kepala Daerah. Kita selama ini di-php-in terus.
Daripada kita jadi korban php terus mending kita mentain duit deh ke mereka masing-masing para calon yang ada. Siapa berani ngasih yang paling gede, itulah yang kita pilih. Bisa juga sih, kita kompakan dengan warga lainnya satu gang untuk minta calon buat bikin jalan aspal di gang depan rumah kita.
Ini contoh logika pembenaran bagi praktek jual suara dalam banyak pemilu termasuk Pilkada serentak kali ini. Ini bisa mencerminkan sisi lain kecerdasan politik dari masyarakat kita. Sebuah harga yang harus diterima hasil dari pembelajaran kolosal dari praktik php dari banyak calon di setiap pemilu yang kita gelar.
Tapi apa yang terjadi jika praktik ini diteruskan dan diterima sebagai konsensus politik masyarakat? Bisa boncos dan berabe, Bro. Masyarakat yang seharusnya diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan hati nurani, malah terjebak dalam peran sebagai konsumen politik. Mereka menjual suara mereka untuk mendapatkan imbalan langsung, entah itu uang, barang, atau fasilitas kecil lainnya.
Kalau kita bicara dalam konteks game theory, ini adalah strategi dominan bagi banyak orang. Kenapa? Karena mendapatkan imbalan instan jauh lebih menarik daripada mempertaruhkan suara mereka untuk calon yang belum tentu memenuhi janjinya. Duit lebih asyik dari dangdut paling asyik sekalipun, seperti kata teman saya di awal tadi.
Tapi yang lebih parah lagi adalah bahwa praktik jual suara ini mengikis kualitas demokrasi. Seolah-olah, pemilu bukan lagi soal memilih pemimpin yang baik, tetapi siapa yang bisa memberikan lebih banyak "hadiah". Kita ini jadi seperti buaya yang menjual sendiri kulit kita ke pabrik tas.
Kehilangan Suara - Hak Pilih yang Terkikis
Lalu ada yang lebih mengkhawatirkan, yaitu kehilangan suara. Ini bukan soal suara yang hilang karena lupa memilih atau bablas ketiduran seharian akibat begadang ngobrol sambil ngopi tadi malam sampe nggak datang ke TPS, tapi lebih ke arah yang lebih suram yaitu suara yang dicurangi. Misalnya, ketika suara kita dicurangi dalam penghitungan, sehingga akhirnya hasil pemilu jauh dari harapan. Inilah yang disebut dengan kehilangan suara. Atau manuver parpol sehingga calon yang kita dambakan tidak bisa maju ke Pilkada, akibatnya calon yang tersedia tidak mencerminkan sikap politik kita yang sebenarnya.