Tapi ini membuat kita bertanya-tanya, siapa yang mengajari manusia kemampuan berbahasa untuk pertama kali? Bagaimana manusia bisa memiliki software bahasa yang sangat canggih ini? Bagaimana hardware berbahasa yang dimiliki manusia bisa berkembang menjadi sangat unik dan berkembangnya merupakan lompatan evolusi yang sangat jauh?
Jawaban dari ketiga pertanyaan ini ada kita dapati pada QS 2 ayat 30-31 yaitu ketika Allah mengajari Adam nama-nama segala sesuatu. Serta dalam QS. Al Alaq ayat 4-5 ketika Allah mengajari manusia untuk membaca dan menulis.
Walaupun kemampuan berbahasa manusia bisa berkembang seiring waktu dan tempat, kemampuan itu tidak akan berkembang jika tidak didukung oleh kemampuan hardware, sofware, dan pengajaran yang memadai. Manusia bisa seperti sekarang karena sepenuhnya pengaturan dan pengajaran dari Allah.
Bagaimana Membuktikan Eksistensi Software Bahasa dan Pengajaran Tuhan.
Pemahaman kita tentang adanya language operating system mengintegrasikan dan menjembatani sejumlah teori yaitu Teori Tabula Rasa dari John Locke, Teori LAD dari Noam Chomsky, Psikologi Perkembangan, Psikologi Kognitif, dan Psikologi Intentional. Tanpa integrasi pada semua aspek yang terkait bahasa tersebut, manusia tidak akan mencapai tingkat peradaban sampai sejauh sekarang ini. Manusia sudah sampai kepada tahap koheren atau kesesuaian dari semua aspek psikologis dan neuroscience yang ada ini. Ini titik temunya ada pada psikologi koheren.
John Locke menyatakan bahwa pikiran manusia adalah seperti sebuah kertas kosong yang tidak memiliki pengetahuan awal. Pengetahuan dicapai melalui pengalaman, pembelajaran, dan kolaborasi sosial. Walaupun isinya kosong, pikiran manusia punya platform dasar yang sama yaitu sebuah “kertas kosong” itu sendiri. Bagaimana sesuatu konten itu akan dituliskan jika “kertas”nya tidak ada. Kertas kosong itulah apa yang dimaksud oleh Noam Chomsky sebagai LAD. LAD inilah yang memungkinkan proses pembelajaran bahasa. LAD inilah membedakan kecepatan pembelajaran bahasa oleh manusia jika dibandingkan dengan hewan. Penemuan area Broca dan Wernicle di otak memperkuat Teori LAD ini.
Walaupun LAD ini ada, konten bahasa tidak tumbuh sekaligus tertanam secara utuh pada satu waktu, melainkan melalui proses pembelajaran yang bertahap seperti dijelaskan dengan lugas oleh Psikologi Perkembangan. Bagaimana proses pembelajaran itu diserap dan variasi penyerapannya diuraikan oleh Psikologi Kognitif. Karena bahasa juga bukan hanya terkait komunikasi antar individu, tapi juga berkaitan dengan inner voice dan aspek subyektif, maka bahasa dalam konteks ini dijelaskan dengan fasih oleh Psikologi Intensional.
Tapi semua penjelasan itu tidak juga cukup memuaskan jika kita melihat bahwa dengan perbedaan struktur fisik organ bahasa, struktur otak, dan struktur genetik antara manusia dengan simpanse yang hampir serupa mendekati 99 persen, manusia berhasil mencapai lompatan kecepatan belajar dan kreativitas belajar yang jauh lebih tinggi di atas apa yang bisa dicapai simpanse. Apalagi bagi manusia, manusia mampu menghubungkan kemampuan bahasa itu dengan kemampuan membangun peradaban. Bukan saja mampu membentuk berbagai bahasa dan dialek serta intonasi, tetapi lebih jauh dengan bahasa itu manusia mengembangkan konsep-konsep abstrak, etika, estetika, hukum, agama, filsafat, sains, ekonomi, politik, tradisi, dan teknologi, serta lebih jauh lagi dengan bahasa itu manusia mampu mengebangkan kemampuan kolaborasi yang massif. Padahal dengan perbedaan yang cuma sekitar 1-5 persen itu dalam hal struktur fisik, struktur otak, dan struktur genetik saja seharusnya simpanse pun mampu membuat peradaban yang setara dan berbeda tipis saja dengan apa yang dicapai manusia.
Kita melihat pencapaian peradaban manusia yang bibitnya berasal dari kemampuan berbahasa itu tidak terkait secara signifikan dengan struktur organ fisik, struktur otak, maupun struktur gen, melainkan berkaitan dengan software operating system yang dimiliki manusia.
Kita jangan terkecoh dengan mencari bukti eksistensi operating system bahasa ini dengan mencarinya pada struktur otak, struktur organ, dan struktur genetik ataupun mencarinya melalui prinsip-prinsip mekanika kuantum. Sama halnya kita tidak bisa mengetahui kapasitas suatu sistem operasi komputer melalui kapasitas RAM, HDD, bentuk casing, dan resolusi layar. Dalam kasus komputer, kapasitas suatu operating system harus dilihat dari output atau kinerjanya seperti kecepatan, kemampuan multitasking, dan kinerja jaringan. Begitu juga dengan operating system bahasa pada manusia harus dilihat pada kemampuannya bekerja secara efisien, pencapaian peradaban, dan kemampuannya membentuk ikatan sosial dan kolaborasi global.
Walaupun begitu, secanggih apapun sebuah operating system bahasa tetap hanyalah sebuah kertas kosong, Untuk menghasilkan output tinggi, dibutuhkan agen dengan kecerdasan, intelegensi, intelektualitas, dan kesadaran yang lebih tinggi untuk memberikan pengajaran pada manusia. Pengajaran seperti itu tidak bisa kita dapatkan dari simpanse maupun homo Neanderthal. Kasus-kasus manusia feral atau manusia yang diasuh dan dibesarkan oleh hewan menjadi buktinya. Pengajaran Tuhan adalah konsekuensi logis dari kebutuhan akan hadirnya agen dengan kecerdasan yang lebih tinggi dalam memberikan pengajaran kepada manusia.