Kata moderasi berasal dari bahasa inggris moderation yang artinya adalah sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan (Hasan Shadily:2009). Kata moderation ini kemudian diserap dalam bahasa Indonesia yang dalam KBBI diartikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah wasathiyah. Raghib Al-Asfahani mendefiniskan wasathiyah sebagai sesuatu yang berada diantara dua ekstremisme. Kata moderisasi berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti tidak berlebih dan kekurangan (Kementerian Agama RI:2019). Al-Qur'an menjelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang moderat atau agama pertengahan. Allah Swt berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 143: "Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan ..."
Imam Jalalain menafsirkan kata "wasath"Â di ayat tersebut dengan makna baik dan adil. Dalam KBBI kata adil diartikan (1) tidak berat sebelah atau tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya atau tidak sewenang wenang. Dari beberapa pengertian moderasi tersebut maka dapat dipahami bahwa moderasi adalah sikap adil dan berimbang tidak berat sebelah dalam memandang dan mempraktikkan suatu konsep dalam kehidupan sehari-hari. Jika kata moderasi ini disandingkan dengan kata beragama, maka moderasi beragama dimaknai sebagai sikap pertengahan dan tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan dan memahami konsep beragama dalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya Moderasi Beragama
Moderasi beragama sangat diperlukan khususnya di negeri tercinta Indonesia yang plural dan mulitikultural ini demi terciptanya kerukunan dan kedamaian antar dan intra umat beragama. Keberagaman yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi melahirkan singgungan antar kelompok yang berbeda faham dan kepercayaan. Paling tidak ada enam agama yang diakui dan berkembang di Indonesia serta beragam keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Bisa dibayangkan betapa banyaknya pendapat dan keyakinan yang berkembang di masyarakat, termasuk dalam praktik beragama. Jangankan hubungan antar umat beragama, intern umat beragama pun memiliki potensi untuk berbeda pendapat dan beda faham. Islam misalnya, terdapat beragam mazhab fikih yang dipegang oleh umat Islam di Indonesia. Hal ini melahirkan perbedaan pemahaman dan praktik ritual dalam ibadah, meski itu termasuk ibadah pokok dalam Islam seperti salat, puasa, zakat ataupun haji.Â
Disinilah pentingnya setiap umat Muslim memiliki sikap moderat dalam memahami dan mempraktekkan ajaran agama sehingga tidak menimbulkan gesekan dengan umat Muslim lainnya yang berbeda mazhab dengan dirinya. Dalam menjalankan ibadah pun dibutuhkan sikap yang moderat. Kita tidak dianjurkan melakukan ibadah secara berlebihan. Meski ibadah itu penting untuk menyiapkan kehidupan kelak di akhirat, akan tetapi kita tidak boleh melupakan kepentingan kita hidup di dunia. Dalam hal ini Allah Swt mengingatkan: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi..." (QS. Al-Qasas: 77)
Contoh sederhananya adalah perintah bersedekah atau berinfaq membantu sesama. Banyak ayat al-Qur'an dan hadits Rasulullah Saw yang menganjurkan memperbanyak sedekah/berinfaq. Tak sedikit pula yang menjelaskan betapa besar manfaat yang akan didapat oleh pelaku sedekah. Akan tetapi, di sisi lain secara terang-terangan Allah Swt pun mengingatkan untuk tidak bersikap berlebih-lebihan dalam bersedekah, seperti dengan jelas Allah Swt mengingatkan: "Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar," (QS. Al-Furqan: 67)
Rasulullah Saw pun mengajarkan umatnya bersikap moderat dalam melaksanakan ibadah. Tidak boleh berlebih-lebihan dalam beribadah sehingga melupakan kehidupan dunia. Rasulullah Saw pernah menegur sahabat Abdurrahman bin Amr bin Ash yang berlebihan dalam beribadah hingga mengabaikan istri dan keluarganya. Kala itu Abdurrahman menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjalankan ibadah seperti salat, zikir ataupun puasa. Beliau hampir tidak beristirahat apalagi bercampur dengan istrinya. Keadaan ini diadukan oleh istri Abdurrahman kepada Rasulullah Saw dan kemudian Rasulullah Saw pun memanggil Abdurrahman dan menasehatinya untuk bersikap moderat dalam beribadah, tidak boleh berlebih-lebihan dalam menjalankan ibadah. Â
Ajaran Islam tentang moderasi dalam beribadah yang termaktub dalam al-Qur'an dan hadits tersebut mengimplikasikan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam beragama. Kedua prinsip ini menurut Mohammad Hashim Kamali (2015) adalah esensi dari ajaran Islam yang mengedepankan sikap wasathiyah atau moderat dalam menjalankan ajaran agama. Dalam memandang dan memahami suatu ajaran agama, seseorang harus memiliki kedua prinsip ini, yakni tidak ekstrem melainkan harus mencari titik temu sehingga akan terhindar dari rasa bangga diri terhadap pemahaman yang dimilikinya. Jauh dari pemikiran paling merasa benar dan mudah menyalahkan orang atau kelompok yang berbeda faham dengan dirinya. Kementerian Agama RI (2019) menegaskan bahwa nilai adil dan berimbang akan lebih mudah terbentuk jika seseorang memiliki tiga karakter utama dalam dirinya yakni kebijaksanaan, ketulusan, dan keberanian. Dengan kata lain, moderasi beragama akan dapat terwujud manakala:
- Memiliki pengetahuan agama yang memadai sehingga dapat bersikap bijak dalam menghadapi perbedaan.
- Memiliki kemampuan pengendalian diri yang kuat dan tahan terhadap aneka godaan sehingga dapat bersikap tulus tanpa beban.
- Tidak egois dengan pemahamannya sendiri tentang kebenaran sehingga berani mengakui pemahaman tentang kebenaran orang/kelompok lain, serta memiliki keberanian menyampaikan pendapatnya berdasarkan ilmu.
Jika sikap moderasi dalam beribadah ini sudah tertanam dalam diri setiap Muslim, maka ukhuwah Islamiyah atau kerukunan sesama umat Muslim pun akan semakin kuat, dan dampak yang lebih besar adalah terciptanya kerukunan antar umat beragama. Dengan demikian akan terkikislah sikap intoleransi terhadap kelompok yang berbeda faham atau bahkan berbeda agama sekalipun. Dengan pemahaman yang baik terhadapn moderasi beragama akan meminimalisir bahkan menangkal perilaku yang ekstrem, radikal, fanatik, intoleran dan diskriminatif. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa akhir-akhir ini banyak sekali konflik sosial berlatarbelakang agama yang muncul di Indonesia.
Konflik-konflik seperti ujaran kebencian, penistaan agama, perusakan rumah ibadah serta saling menyalahkan dan mendiskreditkan satu sama lain seakan menjamur subur di bumi nusantara. Tak ayal konflik-konflik tersebut semakin memperuncing sentimen beragama antar dan intern umat beragama di Indonesia. Betapa tak terelakkan akibat yang timbul dari fenomena ini adalah kerukunan dan kekeluargaan menjadi renggang dan terkotak-kotak menurut agama dan faham masing-masing. Dari itulah, maka penulis berpendapat bahwa penanaman nilai-nilai moderasi beragama sangat urgen dilakukan sejak dini.Â
Penanaman Moderasi Beragama di Sekolah
Sekolah memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat sejak dini. Sekolah menjadi sarana yang efektif dalam membangun pengetahuan, kesadaran, sikap, dan perilaku moderasi beragama, sehingga kontsruksinya mudah dilekatkan kepada faham keagamaan yang berkembang. Seperti yang sudah diurai di atas bahwa nilai-nilai moderasi beragama dapat terwujud manakala dalam diri seseorang terdapat karakter bijak, tulus dan berani. Untuk menanamkan karakter tersebut, Sekolah bisa mengadakan program kajian keagamaan bersama. Goal setting dari program ini adalah terbentuknya karakter bijak, tulus dan berani dalam diri setiap pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah sehingga tercipta kerukunan, kekeluargaan, keharmonisan serta kenyamanan di lingkungan kerja. Harapannya, karakter ini berdampak di kehidupan nyata ketika mereka berbaur di masyarakat yang komunitasnya lebih heterogen.
Adapun pembelajaran untuk mengembangkan dan menanamkan nilai moderasi beragama menerapkan model pembelajaran kontekstual. Hasibuan (2015) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual theaching learning) yaitu pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dengan kehidupan mereka sehari- hari. Hal ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu ; konstruktivisme (constructivism), bertanya (quetioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning commonity), pemodelan (modeling), refleksi (reflection)Â dan penelitian sebenarnya (authentic assessment).Â
Berbagai metode pembelajaran yang bisa menumbuhkan kebersamaan seperti diskusi, kerja kelompok bahkan karya wisata pun diterapkan. Dengan menerapkan model pembelajaran tersebut diharapkan akan melahirkan peserta didik yang berfikir terbuka, yaitu berfikir bagaimana dapat menghargai hak hidup, hak berpendidikan, hal untuk berekspresi, hak untuk memeluk agama dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Sebagai akibat dari perjumpaan dengan dunia lain, agama, dan kebudayaan-kebudayaan yang beragama akan mengarahkan peserta didik untuk berfikir lebih dewasa dan memiliki sudut pandang dan cara memahami realitas dengan berbagai macam cara.
Program sekolah yang berkaitan dengan moderasi beragama bisa diintegrasikan pada visi dan misi sekolah. Budaya sekolah diterapkan dan dilaksanakan ketika siswa masuk kelas, ada guru yang bertugas sebagai guru piket yang bertugas untuk melakukan sambutan kepada siswa dengan sikap senyum, salam dan sapa pada semua siswa tanpa membedakan suku, mazhab agama dan ras. Kegiatan keagamaan untuk peserta didik adalah membudayakan 3S (senyum, salam, sapa). Berperilaku hormat, sopan, dan santun kepada guru/pegawai, sesama peserta didik, orang tua/wali peserta didik, dan tamu.
Kesimpulan
Moderasi beragama adalah cara pandang dan sikap pertengahan dalam memahami dan mempraktikkan konsep beragama di kehidupan sehari-hari. Moderasi beragama merupakan cara dan toleransi adalah produknya. Untuk mewujudkan nilai-nilai moderasi beragama dalam diri seseorang dibutuhkan karakter bijak, tulus dan berani. Bijak dalam menghadapi keberagaman. Tahan godaan sehingga tulus tanpa beban dalam bertindak, serta berani mengakui tafsir kebenaran dari pihak lain yang berbeda dengan dirinya.
Moderasi beragama sangat penting untuk ditanamkan sejak dini khususnya di tingkat Sekolah Dasar dalam rangka membentengi peserta didik dari bahaya radikalisme, faham ekstremisme, fanatik dan menolak keberagaman. Berbagai program yang bisa dikembangkan di sekolah dalam upayanya menanamkan nilai-nilai moderasi beragama kepada warga sekolah diantaranya: Kajian rutin keagamaan dan atau tahsin al-Qur'an (bagi yang beragama Islam) ditujukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan. Sementara bagi peserta didik nilai-nilai moderasi beragama diintegrasikan dalam visi misi sekolah yang tercermin dalam proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kontekstual serta program rutin seperti budaya senyum, salam, sapa, salat dhuha, tahfidz qur'an, tadarus dan apel pagi.
Dengan upaya ini diharapkan akan melahirkan peserta didik yang berfikir terbuka, yaitu berfikir bagaimana dapat menghargai hak hidup, hak berpendidikan, hak untuk berekspresi, hak untuk memeluk agama dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Sebagai akibat dari perjumpaan dengan dunia lain, agama, dan kebudayaan-kebudayaan yang beragama akan mengarahkan peserta didik untuk berfikir lebih dewasa dan memiliki sudut pandang dan cara memahami realitas dengan berbagai macam cara.
Referensi
John M. Echols dan Hassan Shadily, 2009, Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary Jakarta: Gramedia Pustaka
Kementerian Agama RI, 2014, Al-Qur'an Terjemah Perkata Asbabun Nuzul dan Tafsir Bil Hadis, Bandung: Yayasan Penyelenggara oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur'an
Kementerian Agama RI, 2019, Moderasi Beragama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
M Idrus Hasibuan, 2015, Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)', Logaritma: Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan Dan Sains
www.kbbi.web.id/moderasi
Kamali, Mohammad Hasyim, 2015. The Middle Path of Moderation in Islam, the Qur'anic Principle of Wasathiyah. Oxford: Oxford University Press
KMA Nomor 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Pada Madrasah merupakan panduan dalam mengimplementasikan kurikulum di madrasah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H