Teman-teman pengajian yang dulu selalu bersama, kini telah menyebar ke berbagai penjuru negeri. Ada yang mengabdi sebagai pegawai negeri, menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Ada yang memilih jalan sebagai prajurit TNI, mengawal keamanan bangsa. Sebagian lagi merantau ke kota besar, bekerja di perusahaan swasta, membangun karier demi masa depan. Tak sedikit yang menemukan keberkahan di tanah perantauan, seperti kawan kami yang kini menjadi petani sukses di Lampung, mengolah tanah hingga berbuah hasil melimpah.
Sementara itu, mereka yang tetap tinggal di kampung masih teguh menjaga tradisi dan peran mereka di masyarakat. Mereka menjadi bagian dari denyut kehidupan desa, tetap setia pada akar tempat kami dulu tumbuh bersama.
Hati saya menghangat mengingat semua itu. Hidup telah membawa kami ke jalan yang berbeda, tetapi kenangan di masa kecil tetap menyatukan kami dalam ruang yang tak terjamah oleh waktu, di dalam hati, di dalam doa, di dalam senja yang selalu mengingatkan bahwa perjalanan ini tak akan pernah benar-benar berakhir.
Lain Dahulu Lain Sekarang
Dulu, setiap sore menjelang Maghrib, halaman masjid selalu ramai oleh suara tawa dan sorak-sorai anak-anak yang bermain permainan tradisional seperti gobak sodor dan betengan. Mereka berlari, bersembunyi, dan berstrategi dengan penuh semangat, sementara langit perlahan berubah jingga. Suasana sore terasa begitu hidup, penuh kebersamaan dan keceriaan. Setelah puas bermain, mereka segera bergegas mengambil wudhu, bersiap menunaikan shalat Maghrib berjamaah, lalu melanjutkan kegiatan mengaji hingga malam tiba.
Namun, pemandangan itu kini hanya tinggal kenangan. Halaman masjid yang dulu riuh, kini sepi. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, tenggelam dalam layar gadget mereka. Permainan tradisional yang dulu begitu akrab di tangan kini tergantikan oleh dunia virtual. Mereka lebih mengenal PUBG, Mobile Legends, atau Free Fire daripada gobak sodor atau betengan.
Dahulu, selepas Maghrib, anak-anak berkumpul di mushola, masjid, atau rumah-rumah yang menyelenggarakan pengajian. Kini, mereka berkumpul di tempat-tempat dengan sinyal internet yang kuat, bukan untuk belajar atau mengaji, melainkan untuk Mabar (main bareng) game online.
Ironisnya, di Banyuasin (dan mungkin juga di daerah lain) sudah ada program pemerintah yang disebut Maghrib Mengaji, yang bertujuan menghidupkan kembali tradisi belajar Al-Qur'an di waktu Maghrib. Sayangnya, di lapangan, program ini belum berjalan seperti yang diharapkan.
Pernah pula ada program “Sang PURBA” yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banyuasin. Program ini bertujuan memperkenalkan kembali permainan tradisional khas Banyuasin, terinspirasi dari buku karya Irwan Pacrozi, M.Pd., seorang penulis sekaligus pegawai dinas.
Saat peluncurannya, program ini sempat menjadi perhatian, bahkan diadakan perlombaan antar Korwil Disdikbud Kecamatan. Sayangnya, seperti banyak program lainnya, gaungnya hanya bertahan beberapa bulan sebelum akhirnya kembali redup dan sepi.
Perubahan zaman memang tak terhindarkan, tetapi di balik kemajuan teknologi, ada budaya dan nilai yang perlahan terkikis. Kini, tantangannya adalah bagaimana membangkitkan kembali kebiasaan baik di tengah derasnya arus digital, agar generasi mendatang tetap mengenal akar dan tradisi mereka.