Sore itu, langit mulai meredup, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma khas menjelang malam. Setelah memarkirkan motor di tempat parkir masjid, saya mengangkat kepala, mengarahkan pandangan ke arah bangunan megah yang berdiri kokoh di hadapan saya. Tanpa sengaja, mata saya tertuju ke langit barat, di mana semburat jingga mulai melukis cakrawala.
Cahaya matahari yang tadi menyengat kini melembut, perlahan tenggelam di balik horizon. Saya menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang menyelimuti sore itu. Di antara suara orang-orang yang lalu lalang, saya bergumam pelan, “Senja akan segera tiba.”
Ada sesuatu yang begitu menenangkan dalam momen itu, perpaduan antara keheningan, keindahan, dan penantian adzan Maghrib yang sebentar lagi berkumandang. Senja bukan sekadar pertanda pergantian waktu, tapi juga pengingat bahwa hari hampir usai, dan malam datang membawa cerita baru.
Melihat halaman masjid yang luas dengan suasana sore yang indah, kenangan lama tiba-tiba menyergap pikiran saya. Seketika, waktu terasa berputar mundur, membawa saya kembali ke 47 tahun silam.
Di sore yang hampir serupa, kami (anak-anak kecil penuh tawa) berlarian di halaman Masjid Al-Huda, Kampung Cihamirung, sebuah dusun kecil di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung. Di sela-sela jadwal mengaji, kami menikmati permainan favorit: betengan. Suara riuh kami memenuhi udara, berpadu dengan lantunan ayat-ayat suci dari dalam masjid.
Namun, permainan kami selalu berakhir dengan suara bedug yang menggema dari dalam masjid atau panggilan lembut Pak Kiai yang memberi tahu bahwa waktu Maghrib telah tiba. Seketika, tanpa aba-aba, kami berlari ke tempat wudhu, berlomba menjadi yang pertama membasuh wajah dengan air dingin yang menyegarkan.
Bukan hanya sekadar ingin segera shalat, ada kebanggaan tersendiri bagi siapa yang lebih dulu masuk ke dalam masjid. Sebab, dialah yang bisa memimpin puji-pujian sebelum adzan berkumandang, suaranya menggema dari speaker masjid, menambah syahdu suasana senja yang perlahan berubah menjadi malam.
Wajah-wajah teman sepermainan terbayang jelas di benak saya, seakan mereka masih di sini, bersembunyi di balik tiang atau berlari menuju benteng dengan semangat. Tak ada beban, tak ada kecemasan, hanya tawa, keceriaan, dan kebersamaan yang terasa begitu hangat.
Kini, di usia yang tak lagi muda, saya berdiri di halaman masjid, menatap sore yang damai. Waktu terus berjalan, tetapi kenangan itu tetap abadi, terpatri dalam hati, mengingatkan bahwa masa kecil adalah anugerah yang tak tergantikan.
Air Matapun Menetes
Ketika adzan Maghrib berkumandang, bayangan masa kecil yang tadi memenuhi benak saya perlahan memudar. Suara muadzin yang merdu menggema di udara, mengingatkan saya pada kenyataan bahwa waktu terus berjalan. Tanpa disadari, setetes air mata jatuh, membawa serta perasaan haru dan rindu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.