Pendahuluan
Wacana libur sekolah selama bulan Ramadan kembali mencuri perhatian publik setelah diutarakan oleh Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Ide ini memicu diskusi hangat di berbagai platform, termasuk media sosial.
Ada yang menyambutnya dengan antusias, menganggapnya sebagai langkah yang sejalan dengan semangat Ramadan, memberikan kesempatan bagi siswa untuk lebih fokus beribadah dan mendalami nilai-nilai agama. Namun, tidak sedikit pula yang merespons dengan keraguan, mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam mendukung pembelajaran siswa.
Bahkan, sejumlah pihak terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya, khawatir hal ini akan mengganggu kalender akademik dan mengurangi efisiensi proses pendidikan.
Perdebatan ini mencerminkan beragam sudut pandang masyarakat terhadap keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan akademik selama bulan suci Ramadan.
Kebijakan libur selama Ramadan memiliki tempat tersendiri di hati banyak orang, terutama mereka yang menjalani masa sekolah pada era 1990-an hingga awal 2000-an. Bagi anak-anak sekolah saat itu, liburan Ramadan menjadi momen istimewa yang penuh kenangan.
Selain memberikan waktu luang untuk lebih fokus beribadah dan mengikuti kegiatan keagamaan, masa liburan ini juga memungkinkan mereka merasakan kebersamaan dengan keluarga di tengah suasana Ramadan yang khas.
Dari mengikuti pesantren kilat hingga berpartisipasi dalam tradisi keagamaan lokal, libur Ramadan kala itu menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman spiritual dan sosial yang dirindukan hingga kini.
Kebijakan libur sekolah selama bulan puasa telah diterapkan selama masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999. Kebijakan ini tidak hanya menghentikan siswa dari tugas akademik mereka, tetapi juga berusaha untuk meningkatkan kerohanian mereka.
Gus Dur mendorong program pesantren kilat di sekolah, yang bertujuan untuk membantu siswa mempelajari agama Islam selama Ramadan. Siswa diajak untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keagamaan, seperti tadarus Al-Qur'an, salat tarawih berjamaah, dan mencatat hasil ibadah mereka setiap hari.
Hal ini merupakan langkah kreatif untuk menanamkan nilai-nilai religius pada generasi muda sekaligus memperkuat tradisi Ramadan yang penuh makna.
Kenangan Masa Lalu
Dulu, saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya sempat merasakan liburan bulan Ramadhan. Itu sudah lama sekali, sampai-sampai saya lupa tepatnya di kelas berapa. Rasanya, hal itu menjadi pengingat betapa saya sudah tidak muda lagi sekarang, hehe.
Anak-anak zaman dulu memiliki kebiasaan yang unik saat Ramadhan, terutama ketika mengaji. Kami tidak hanya mengaji di masjid, tetapi juga di surau atau bahkan di rumah seseorang yang menyelenggarakan pengajian.
Sebelum waktu Magrib tiba, biasanya anak-anak sudah berkumpul di halaman surau atau masjid. Sambil menunggu bedug Magrib berbunyi, kami mengisi waktu dengan bermain permainan tradisional seperti betengan atau gobak sodor.
Permainan-permainan ini membuat tubuh kami terus bergerak, keringat mengucur deras, dan badan menjadi lebih sehat. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa anak-anak zaman dulu tampak lebih sehat.
Selain itu, makanan yang kami konsumsi pun sederhana dan alami, bukan makanan cepat saji seperti sekarang. Ubi rebus dan talas kukus adalah camilan yang biasa menemani kami saat berbuka.
Kenangan ini tidak hanya memberikan nostalgia, tetapi juga pelajaran berharga tentang kesederhanaan hidup yang penuh makna.
Libur Diisi Pengajian
Saat bulan Ramadhan, suasana masjid menjadi lebih hidup dengan berbagai kegiatan pengajian. Biasanya, pengajian dilakukan pada pagi hari setelah shalat Subuh hingga menjelang waktu Dhuha. Namun, ada juga yang melaksanakan pengajian setelah Dzuhur, tergantung jadwal yang ditentukan oleh Kiai.
Sementara waktu ba'da Magrib biasanya digunakan untuk berbuka puasa, sehingga pengajian di waktu itu jarang dilakukan. Di malam harinya, masjid semakin semarak dengan kegiatan tadarus Al-Qur'an yang dimulai setelah shalat Tarawih.
Hampir setiap masjid dan surau dipenuhi dengan suara lantunan ayat suci, menciptakan suasana yang khidmat sekaligus meriah. Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi anak-anak sekolah yang sedang libur untuk mengisi waktu Ramadhan mereka dengan aktivitas yang bermanfaat, seperti mengaji di masjid atau surau.
Ramadhan benar-benar menjadi momen penuh keberkahan di mana masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan yang tak pernah sepi.
Pada masa itu, anak-anak benar-benar memanfaatkan waktu liburan sekolah di bulan Ramadhan dengan bijak. Mereka mengisi hari-hari mereka dengan memperpanjang durasi mengaji, memanfaatkan momen ini untuk semakin mendalami ilmu agama.
Namun, tidak hanya mengaji, siang harinya pun mereka tidak kehabisan akal untuk mengusir rasa lapar dan menunggu waktu berbuka. Permainan-permainan tradisional seperti betengan atau gobak sodor menjadi pilihan yang menyenangkan, sekaligus menjaga tubuh mereka tetap aktif dan sehat.
Perpaduan antara ibadah dan hiburan sederhana ini menjadikan Ramadhan masa kecil mereka penuh kenangan yang indah dan bermakna.
Program Magrib Mengaji yang Sia-sia
Masihkah anak-anak zaman sekarang mengisi waktu ba'da Magrib dengan mengaji? Padahal, di beberapa daerah telah dicanangkan program "Magrib Mengaji" untuk menghidupkan kembali tradisi ini.
Namun, pemandangan di lapangan seringkali berkata lain. Saya kerap menemui anak-anak di desa, ba'da Magrib bukannya di masjid atau surau, melainkan nongkrong di jembatan atau tempat-tempat yang memiliki sinyal kuat.
Mereka sibuk dengan gadget di tangan, asyik bermain game, seolah lupa pada keutamaan waktu Magrib yang dulu begitu dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Fenomena ini menjadi cermin perubahan zaman yang perlu kita renungkan bersama.
Dulu, ba'da Magrib adalah waktu yang diisi dengan lantunan ayat-ayat suci yang terdengar di mana-mana. Suara pengajian tidak hanya menggema di masjid atau surau, tetapi juga sayup-sayup terdengar dari rumah-rumah.
Anak-anak duduk rapi, mengaji bersama hingga menjelang waktu Isya. Setelah itu, mereka bergegas melaksanakan shalat Isya berjamaah, menjadikan malam mereka penuh berkah.
Namun, zaman telah berubah. Kini, ba'da Magrib seringkali diisi dengan aktivitas yang jauh berbeda. Anak-anak lebih memilih pergi ke tempat yang memiliki sinyal kuat, bukan untuk belajar atau beribadah, melainkan untuk mabar alias main game bareng dengan teman-teman mereka.
Ironisnya, kegiatan ini sering berlangsung hingga larut malam, membuat mereka lupa akan waktu shalat dan pentingnya mengisi malam dengan hal yang bermanfaat. Perubahan ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mengembalikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Permainan Tradisional vs Modern
Anak-anak zaman sekarang, banyak yang sudah tidak mengenal permainan tradisional seperti gobak sodor atau betengan, permainan yang dulu menjadi bagian dari keseharian masa kecil. Kini, yang mereka kenal adalah permainan virtual seperti PUBG, Mobile Legends, Call of Duty, Free Fire dan Clash of Clans, atau berbagai game populer lainnya yang hadir di layar gadget mereka.
Ketika sudah asyik bermain, waktu seolah berlalu begitu saja. Mereka lupa beribadah, bahkan mampu menahan lapar hanya melanjutkan permainan.
Fenomena ini menggambarkan betapa budaya bermain telah bergeser jauh dari interaksi fisik yang menyenangkan ke dunia digital yang seringkali membuat mereka terasing dari nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya.
Tidak Setuju Libur Ramadhan
Melihat kebiasaan anak-anak zaman sekarang, seorang ibu rumah tangga yang merupakan tetangga saya memberikan pendapatnya. Menurutnya, jika sekolah diliburkan selama bulan Ramadhan seperti kebijakan yang diharapkan Menteri Agama, hasilnya justru akan jauh dari tujuan yang diinginkan.
Ia menambahkan, "Bukannya belajar mengaji atau menambah wawasan keagamaan, anak-anak malah menambah durasi bermain game online. Apalagi di malam hari, karena banyak teman yang ikut bermain. Mungkin nanti, setelah salat Tarawih, mereka langsung bermain game hingga menjelang sahur. Ketika pagi tiba, bukannya mengikuti kajian keagamaan, mereka malah melanjutkan permainan hingga siang."
Ia pun menegaskan, "Tujuan pemerintah meliburkan sekolah selama Ramadhan sebenarnya untuk memberikan maslahat dan manfaat, agar anak-anak bisa lebih mendekatkan diri kepada agama. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, justru muncul mafsadat alias kerusakan moral dan waktu yang terbuang sia-sia. Oleh karena itu, saya tidak setuju jika selama bulan Ramadhan sekolah diliburkan."
Libur Tidak libur Sama Saja
Ada juga pendapat lain yang menarik perhatian. Seorang kawan saya di sekolah berpendapat bahwa permasalahan game online sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kebijakan libur sekolah selama Ramadhan.
Menurutnya, "Kalau masalahnya adalah game online, mau libur atau tidak, hasilnya tetap sama saja."
Namun, ia melanjutkan, "Kalau hasilnya sama saja, lebih baik sekolah diliburkan. Setidaknya, dengan libur, anak-anak punya kesempatan untuk ikut kajian atau pengajian, terutama jika kegiatan tersebut ditugaskan oleh sekolah. Misalnya, saat kembali masuk sekolah, mereka diminta mengumpulkan catatan kegiatan selama bulan Ramadhan. Dengan cara ini, anak-anak tetap termotivasi untuk memanfaatkan waktu libur dengan kegiatan yang bermanfaat dan bernilai keagamaan."
Pendapatnya menggarisbawahi pentingnya pendampingan dan arahan selama libur Ramadhan agar anak-anak tidak hanya menghabiskan waktu secara sia-sia.
Penutup
Efektif atau tidaknya libur sekolah selama Ramadhan masih menjadi bahan perdebatan. Namun, banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini sebenarnya membawa sisi positif. Sebagian besar setuju bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga orang tua di rumah.
Dengan adanya libur sekolah, orang tua memiliki lebih banyak waktu untuk mendidik anak-anak mereka secara langsung. Mereka juga dapat lebih leluasa mengawasi aktivitas anak-anak, terutama karena sebagian besar kegiatan selama Ramadhan biasanya berlangsung di sekitar rumah, seperti pengajian, tadarus, atau shalat berjamaah di masjid.
Kebijakan ini memberikan peluang bagi keluarga untuk memperkuat peran mereka dalam membentuk karakter anak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H