Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengalir Bersama Takdir di Bumi Serasan Sekate

15 Desember 2024   13:07 Diperbarui: 15 Desember 2024   14:15 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ALat Transportasi dari Palembang ke Karang Agung - Lalan Musi Banyuasin (dokumen pribadi)

Mengalir Bersama Takdir di Bumi Serasan Sekate

Takdir adalah ketetapan Allah yang mencakup seluruh perjalanan hidup manusia (dari awal hingga akhir) yang telah dirancang dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Takdir mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik itu kebahagiaan maupun ujian, keberhasilan maupun kegagalan, semuanya terjadi sesuai kehendak-Nya. Namun, takdir bukan sekadar garis mati. Di dalamnya, manusia diberi ruang untuk berusaha, memilih, dan mengambil keputusan, sementara hasil akhirnya tetap berada dalam kuasa Allah. 

Takdir mengajarkan manusia untuk berserah diri, percaya bahwa setiap peristiwa memiliki maksud dan tujuan yang lebih besar, meskipun kadang sulit dipahami. Dalam Islam, takdir terbagi menjadi dua: takdir mubram, yang tidak dapat diubah, seperti kelahiran dan kematian, dan takdir mu'allaq, yang dapat dipengaruhi oleh doa, usaha, dan ikhtiar. 

Dengan memahami takdir, manusia diajak untuk menerima apa yang telah ditetapkan dengan penuh kerendahan hati, sembari terus berjuang menjalani hidup dengan optimisme dan keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik.

Berkenaan dengan hal tersebut, perjalanan hidup saya ditakdirkan penuh liku dan dinamika. Jalan yang saya tempuh sering kali diwarnai pahit getir yang harus dijalani dengan kesabaran, serta susah payah yang terasa dan meninggalkan jejak mendalam dalam hati. Namun, saya meyakini bahwa setiap langkah adalah bagian dari takdir yang telah Allah tetapkan. 

Dalam takdir mu'allaq, saya berusaha menjalani hidup dengan sepenuh hati, tanpa melupakan doa dan usaha sebagai wujud penghambaan dan keyakinan kepada-Nya. Sebab, hanya dengan bersandar kepada Allah dan tidak berhenti berikhtiar, setiap kesulitan dapat menjadi pelajaran, dan setiap perjuangan akan menemukan maknanya.

Suatu malam, istri saya bercerita tentang kawannya, Bu Semiyati, yang baru saja diangkat menjadi PNS dan ditugaskan di Karang Agung. Dengan nada prihatin, ia berkata, "Kalau berangkat dari Palembang, harus naik speedboat 200. Tapi kalau mau pulang, harus menunggu tengah malam, karena speedboat ke Palembang baru ada jam 2 pagi." 

Mendengar itu, saya hanya bisa menjawab, "Kasihan juga ya. Tapi memang masuk akal kalau guru agama Hindu ditempatkan di sana, karena di daerah itu banyak masyarakat yang beragama Hindu." Perbincangan itu mengingatkan saya pada beratnya perjuangan para guru, khususnya yang bertugas di daerah terpencil dengan akses yang begitu terbatas.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, begitu saya dinyatakan lulus tes CPNS, saya justru ditempatkan di daerah yang pernah diceritakan isteri saya tersebut. Rasanya seperti sebuah kebetulan yang terlalu tepat untuk diabaikan. Mungkin, perkataan itu adalah alamat atau tanda dari Allah (pesan tersembunyi) yang hanya dapat dimengerti setelah semua terjadi. Terkadang, kehidupan memberi kita petunjuk yang tidak kita sadari sampai kita benar-benar mengalaminya sendiri. Inilah takdir yang haus saya jalani.

Naik Speedboat

Ketika pertama kali berangkat untuk menjalankan tugas, saya merasakan bagaimana lelah dan letihnya perjalanan naik speedboat dari pagi sampai sore hari. Jika kebanyakan orang dapat menempuh perjalanan ke tempat tugas dan pulang di hari yang sama (meskipun membutuhkan waktu 4 hingga 5 jam) situasi saya jauh berbeda. Untuk mencapai lokasi tugas, saya harus menginap dan baru bisa pulang ke rumah seminggu sekali. 

Saat itu, perjalanan ke tempat tugas hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai. Dari rumah, saya berangkat menuju Palembang menggunakan speedboat kecil bermesin 40 PK. Perjalanan dimulai sekitar pukul 7 pagi, dan saya tiba di dermaga Benteng (Palembang) sekitar pukul 8.30. Di terminal speedboat Benteng, saya harus menunggu jadwal keberangkatan speedboat berikutnya menuju Karang Agung, tempat saya bertugas. 

Biasanya, sekitar pukul 13, speedboat besar bermesin ganda 200 PK, yang dikenal sebagai "Speedboat 200," mulai berlayar menyusuri aliran Sungai Musi dan Sungai Lalan. Perjalanan ini memakan waktu sekitar tiga hingga empat jam, tergantung kondisi di sepanjang rute. Saya biasanya tiba di tempat tugas sekitar pukul 16, atau terkadang pukul 17 jika ada hambatan di perjalanan. 

Namun, tantangan belum selesai ketika speedboat merapat di daratan. Jika tidak ada ojek yang tersedia, saya harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer untuk akhirnya sampai di sekolah tempat saya bertugas. 

Pengalaman ini menjadi bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna, mengajarkan saya tentang tanggung jawab, ketekunan, dan bagaimana menjalani amanah di tengah keterbatasan.

Sesekali Naik Tongkang

Sesekali, jika kondisi keuangan sedang menipis, saya memilih naik tongkang (perahu besar bermesin truk) meskipun perjalanan menjadi jauh lebih lama. Biasanya, tongkang berangkat dari Palembang sekitar pukul 13 siang dan baru tiba di dermaga tujuan sekitar pukul 2 dini hari, jika perjalanan berjalan lancar. 

Namun, kenyamanan sering kali menjadi barang langka. Saat penumpang berdesak-desakan, saya terpaksa duduk di atas atap perahu. Angin malam yang kencang menusuk kulit, membuat tubuh terasa dingin sepanjang perjalanan, terutama saat melewati malam yang gelap dan sepi. 

Meskipun penuh tantangan, ini adalah salah satu cara saya untuk tetap bisa menjalankan tugas di tengah keterbatasan.

Beruntung rasanya jika ada tukang ojek yang menunggu di dermaga untuk mengantar saya ke sekolah. Namun, jika tidak ada, dengan rasa kantuk yang berat dan tubuh yang lemas setelah perjalanan panjang, saya harus memaksakan diri berjalan kaki menuju sekolah. 

Kadang, jika kantuk sudah tak tertahankan dan tidak ada teman untuk berbagi perjalanan, saya memutuskan untuk menginap terlebih dahulu di gardu Babinsa yang biasanya ada di setiap dermaga. Gardu itu menjadi tempat istirahat sementara, memberi saya waktu untuk memulihkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Sebagai guru mata pelajaran, pada waktu itu beban jam mengajar yang wajib hanya 18 jam per minggu. Oleh karena itu, kami berbagi hari dengan guru-guru lain untuk mengatur jadwal. Saya memilih mengajar pada hari Senin hingga Rabu, sehingga jam wajib tersebut dapat terpenuhi dalam tiga hari. 

Dengan jadwal ini, hari Kamis hingga Sabtu saya kosong dari kegiatan mengajar di kelas, yang memberi kesempatan untuk mengerjakan tugas lain atau memanfaatkan waktu untuk keperluan lain yang mendukung tanggung jawab saya sebagai pendidik.

Perjalanan Pulang, Ketegangan dan Kesenangan

Setiap dua minggu sekali, saya pulang ke rumah untuk sejenak melepas rindu dan mengurus keperluan lainnya. Biasanya, saya pulang pada hari Kamis dan kembali berangkat menuju sekolah pada hari Minggu. 

Rutinitas ini terus berulang, menjadi bagian dari perjalanan hidup saya sebagai pendidik di daerah terpencil. Meskipun melelahkan, momen pulang ke rumah selalu menjadi penyejuk hati di tengah tanggung jawab yang harus saya jalani.

Cerita perjalanan pulang selalu menjadi babak tersendiri yang penuh warna, perpaduan antara kesenangan dan ketegangan. Ada rasa bahagia yang menggelora karena sebentar lagi saya akan bertemu keluarga, merasakan kehangatan rumah setelah hampir dua minggu berjauhan. Namun, di sisi lain, ada ketegangan yang tak bisa dihindari karena perjalanan pulang harus dimulai di malam gelap gulita.

Pada pukul dua dini hari, saya, dan kadang seorang kawan jika ada, harus berjalan kaki sejauh kurang lebih satu kilometer dari sekolah menuju dermaga. Jalanan sepi dan gelap, ditemani hanya oleh suara alam dan bayang-bayang pepohonan di kanan-kiri. 

Meskipun menegangkan, perjalanan ini adalah bagian dari perjuangan, sebuah harga yang saya bayar untuk merasakan indahnya pulang ke rumah.

Jika nasib sedang baik, sesampainya di dermaga, tidak perlu menunggu lama karena speedboat segera datang. Cara sederhana untuk memanggil speedboat adalah dengan menggunakan senter, cukup menyalakan cahayanya ke arah sungai, dan speedboat yang melihat akan langsung menepi. 

Namun, sering kali keberuntungan tidak selalu berpihak. Dalam situasi seperti itu, saya harus bersabar menunggu kedatangan speedboat, terkadang hingga berjam-jam. Untuk mengusir dingin dan rasa kantuk, saya biasanya menumpang berteduh di gardu Babinsa yang ada di sekitar dermaga, menjadikannya tempat sementara yang selalu setia menemani perjalanan pulang di tengah malam.

Ketika speedboat akhirnya datang, saya segera turun ke dalamnya, begitulah istilahnya, "turun," bukan "naik," karena berbeda dengan kendaraan darat seperti mobil. Perjalanan pun dimulai, namun tidak langsung menuju Palembang. 

Biasanya, speedboat terlebih dahulu mampir di P2, sebuah tempat persinggahan untuk mencari atau menunggu penumpang tambahan. Jika jumlah penumpang sudah cukup penuh, barulah speedboat melanjutkan perjalanan langsung ke Palembang. 

Proses ini menjadi bagian dari rutinitas perjalanan, kadang terasa lama, tetapi itulah dinamika transportasi sungai yang harus diterima.

Dari Palembang ke Rumah

Speedboat biasanya menepi di Dermaga Benteng Palembang, tepat di bawah Jembatan Ampera, sekitar pukul delapan pagi. Setelah itu, perjalanan saya belum selesai. Saya masih harus menunggu speedboat kecil bermesin 40 PK yang akan mengantarkan saya ke rumah. Namun, speedboat kecil ini baru berangkat setelah waktu Dzuhur, sehingga saya harus menunggu beberapa jam di dermaga. 

Waktu tunggu yang cukup lama ini sering kali saya isi dengan beristirahat atau sekadar menikmati suasana sekitar. Meski terasa melelahkan, setiap langkah perjalanan ini adalah bagian dari kerinduan untuk akhirnya tiba di rumah.

Jika air sungai sedang pasang, perjalanan saya menjadi jauh lebih mudah. Speedboat dapat berhenti di titik yang sangat dekat dengan rumah, sehingga saya hanya perlu berjalan sekitar dua puluh meter untuk sampai. 

Namun, lain ceritanya jika air sungai surut. Dalam kondisi seperti itu, speedboat harus berhenti di lokasi yang lebih jauh, memaksa saya untuk berjalan kaki sejauh 1,2 kilometer. Perbedaan ini selalu menjadi bagian tak terduga dari perjalanan, membuat saya harus siap menghadapi situasi apa pun setiap kali pulang.

Lelah Hilang, Disambut Anak Tersayang

Perjalanan jauh seperti ini benar-benar melelahkan. Tubuh terasa pegal di setiap sendi, bagaimana tidak? Dari pukul dua dini hari hingga pukul dua siang saya terus berada di perjalanan, baru kemudian tiba di rumah. 

Namun, semua rasa lelah dan payah itu seketika sirna saat disambut oleh sang putri tercinta yang baru berusia lima tahun. Dengan sorak gembira, ia berlari menghampiri saya sambil berteriak, "Horeeee, bapak balik!" Sambutan tulus dan penuh cinta itu menjadi pelipur segala penat, mengingatkan saya bahwa setiap langkah perjalanan ini adalah demi kebahagiaan mereka.

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan saya dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Bayangkan, rutinitas ini saya jalani selama sepuluh tahun penuh, dengan segala tantangan dan dinamika yang menyertainya. Sisanya, yaitu dua tahun terakhir, saya lalui dengan perjalanan darat yang tak kalah melelahkan. 

Setiap perjalanan memiliki cerita tersendiri, suka dan duka yang menjadikannya penuh warna. Namun, kisah tentang perjalanan darat akan saya sampaikan di lain kesempatan, karena jika diceritakan sekarang, rasanya akan terlalu panjang. Perjalanan ini adalah bagian dari pengabdian yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga tekad dan kesabaran.

Jika ada yang mengatakan "saya jompo di dunia kerja," rasanya ungkapan itu sangat tepat. Bahkan, orang Sunda mungkin akan menyebut saya "tua di jalan." Perjalanan panjang yang saya tempuh setiap kali bertugas memang penuh tantangan, apalagi di masa itu, ketika alat komunikasi seperti handphone belum tersedia. Jika terjadi sesuatu di jalan, keluarga di rumah tidak akan langsung tahu.

Setiap kali berangkat, saya selalu berpesan kepada keluarga, "Jaga diri baik-baik di rumah, dan doakan saya agar selamat dalam perjalanan." Begitulah, dari tahun 1997 hingga 2007, saya menyusuri aliran Sungai Musi untuk menjalankan amanah sebagai seorang abdi negara. 

Sepuluh tahun lamanya saya mengarungi sungai demi sebuah pengabdian, menghadapi setiap rintangan dengan doa dan harapan agar apa yang saya lakukan menjadi berarti bagi negeri ini.

Apakah cerita ini hanya berakhir pada saya? Tentu tidak. Hingga kini, masih banyak yang mengabdikan diri di tempat yang sama, melanjutkan perjuangan yang pernah saya jalani. Namun, ada perbedaan besar dengan zaman sekarang. 

Sekarang, seberat atau sesulit apa pun perjalanan yang mereka hadapi, keluarga di rumah akan langsung tahu kabar mereka. Berkat kemajuan teknologi, setiap anggota keluarga kini memiliki alat komunikasi seperti handphone, yang membuat mereka tetap terhubung kapan saja. 

Hal ini tentu menjadi kemudahan yang tak terbayangkan di masa saya dulu, ketika setiap keberangkatan selalu diiringi doa dan harapan, tanpa ada kepastian kabar hingga saya benar-benar tiba.

Selamat berjuang, wahai para abdi negara yang luar biasa. Setiap langkah pengabdian yang kalian tempuh, setiap tantangan yang kalian hadapi, dan setiap usaha yang kalian curahkan adalah wujud cinta dan dedikasi untuk negeri ini. 

Tidak peduli seberapa besar atau kecil kontribusi itu, kehadiran kalian membawa perubahan dan harapan bagi masyarakat. Pengabdian kalian adalah bukti nyata bahwa semangat untuk membangun bangsa terus hidup. 

Teruslah melangkah dengan penuh kebanggaan, karena apa yang kalian lakukan sangat berarti bagi masa depan negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun