Proses ini menjadi bagian dari rutinitas perjalanan, kadang terasa lama, tetapi itulah dinamika transportasi sungai yang harus diterima.
Dari Palembang ke Rumah
Speedboat biasanya menepi di Dermaga Benteng Palembang, tepat di bawah Jembatan Ampera, sekitar pukul delapan pagi. Setelah itu, perjalanan saya belum selesai. Saya masih harus menunggu speedboat kecil bermesin 40 PK yang akan mengantarkan saya ke rumah. Namun, speedboat kecil ini baru berangkat setelah waktu Dzuhur, sehingga saya harus menunggu beberapa jam di dermaga.Â
Waktu tunggu yang cukup lama ini sering kali saya isi dengan beristirahat atau sekadar menikmati suasana sekitar. Meski terasa melelahkan, setiap langkah perjalanan ini adalah bagian dari kerinduan untuk akhirnya tiba di rumah.
Jika air sungai sedang pasang, perjalanan saya menjadi jauh lebih mudah. Speedboat dapat berhenti di titik yang sangat dekat dengan rumah, sehingga saya hanya perlu berjalan sekitar dua puluh meter untuk sampai.Â
Namun, lain ceritanya jika air sungai surut. Dalam kondisi seperti itu, speedboat harus berhenti di lokasi yang lebih jauh, memaksa saya untuk berjalan kaki sejauh 1,2 kilometer. Perbedaan ini selalu menjadi bagian tak terduga dari perjalanan, membuat saya harus siap menghadapi situasi apa pun setiap kali pulang.
Lelah Hilang, Disambut Anak Tersayang
Perjalanan jauh seperti ini benar-benar melelahkan. Tubuh terasa pegal di setiap sendi, bagaimana tidak? Dari pukul dua dini hari hingga pukul dua siang saya terus berada di perjalanan, baru kemudian tiba di rumah.Â
Namun, semua rasa lelah dan payah itu seketika sirna saat disambut oleh sang putri tercinta yang baru berusia lima tahun. Dengan sorak gembira, ia berlari menghampiri saya sambil berteriak, "Horeeee, bapak balik!" Sambutan tulus dan penuh cinta itu menjadi pelipur segala penat, mengingatkan saya bahwa setiap langkah perjalanan ini adalah demi kebahagiaan mereka.
Demikianlah sekelumit kisah perjalanan saya dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Bayangkan, rutinitas ini saya jalani selama sepuluh tahun penuh, dengan segala tantangan dan dinamika yang menyertainya. Sisanya, yaitu dua tahun terakhir, saya lalui dengan perjalanan darat yang tak kalah melelahkan.Â
Setiap perjalanan memiliki cerita tersendiri, suka dan duka yang menjadikannya penuh warna. Namun, kisah tentang perjalanan darat akan saya sampaikan di lain kesempatan, karena jika diceritakan sekarang, rasanya akan terlalu panjang. Perjalanan ini adalah bagian dari pengabdian yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga tekad dan kesabaran.