Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengalir Bersama Takdir di Bumi Serasan Sekate

15 Desember 2024   13:07 Diperbarui: 15 Desember 2024   14:15 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan jadwal ini, hari Kamis hingga Sabtu saya kosong dari kegiatan mengajar di kelas, yang memberi kesempatan untuk mengerjakan tugas lain atau memanfaatkan waktu untuk keperluan lain yang mendukung tanggung jawab saya sebagai pendidik.

Perjalanan Pulang, Ketegangan dan Kesenangan

Setiap dua minggu sekali, saya pulang ke rumah untuk sejenak melepas rindu dan mengurus keperluan lainnya. Biasanya, saya pulang pada hari Kamis dan kembali berangkat menuju sekolah pada hari Minggu. 

Rutinitas ini terus berulang, menjadi bagian dari perjalanan hidup saya sebagai pendidik di daerah terpencil. Meskipun melelahkan, momen pulang ke rumah selalu menjadi penyejuk hati di tengah tanggung jawab yang harus saya jalani.

Cerita perjalanan pulang selalu menjadi babak tersendiri yang penuh warna, perpaduan antara kesenangan dan ketegangan. Ada rasa bahagia yang menggelora karena sebentar lagi saya akan bertemu keluarga, merasakan kehangatan rumah setelah hampir dua minggu berjauhan. Namun, di sisi lain, ada ketegangan yang tak bisa dihindari karena perjalanan pulang harus dimulai di malam gelap gulita.

Pada pukul dua dini hari, saya, dan kadang seorang kawan jika ada, harus berjalan kaki sejauh kurang lebih satu kilometer dari sekolah menuju dermaga. Jalanan sepi dan gelap, ditemani hanya oleh suara alam dan bayang-bayang pepohonan di kanan-kiri. 

Meskipun menegangkan, perjalanan ini adalah bagian dari perjuangan, sebuah harga yang saya bayar untuk merasakan indahnya pulang ke rumah.

Jika nasib sedang baik, sesampainya di dermaga, tidak perlu menunggu lama karena speedboat segera datang. Cara sederhana untuk memanggil speedboat adalah dengan menggunakan senter, cukup menyalakan cahayanya ke arah sungai, dan speedboat yang melihat akan langsung menepi. 

Namun, sering kali keberuntungan tidak selalu berpihak. Dalam situasi seperti itu, saya harus bersabar menunggu kedatangan speedboat, terkadang hingga berjam-jam. Untuk mengusir dingin dan rasa kantuk, saya biasanya menumpang berteduh di gardu Babinsa yang ada di sekitar dermaga, menjadikannya tempat sementara yang selalu setia menemani perjalanan pulang di tengah malam.

Ketika speedboat akhirnya datang, saya segera turun ke dalamnya, begitulah istilahnya, "turun," bukan "naik," karena berbeda dengan kendaraan darat seperti mobil. Perjalanan pun dimulai, namun tidak langsung menuju Palembang. 

Biasanya, speedboat terlebih dahulu mampir di P2, sebuah tempat persinggahan untuk mencari atau menunggu penumpang tambahan. Jika jumlah penumpang sudah cukup penuh, barulah speedboat melanjutkan perjalanan langsung ke Palembang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun