Emas Hijau Nusamakmur: Perjalanan Pertanian dari Masa ke Masa
Mayoritas masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, termasuk kegiatan berkebun. Di masa lalu, kegiatan bertani lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Hasil panen hanya digunakan untuk konsumsi sendiri, dan jika ada kelebihan, barulah dijual.Â
Namun, seiring perkembangan zaman, pola ini mulai bergeser. Saat ini, kegiatan bertani lebih berorientasi pada pasar, dengan hasil panen yang sebagian besar ditujukan untuk dijual guna mendukung perekonomian keluarga.
Transmigrasi dan Pertanian
Transmigrasi dan pertanian memiliki hubungan erat dalam sejarah pembangunan Indonesia. Penduduk yang mengikuti program transmigrasi biasanya menerima jatah lahan sebesar 2 hektar, yang terbagi menjadi 0,75 hektar untuk lahan perumahan dan pekarangan, serta 1,75 hektar untuk lahan pertanian atau perkebunan.
Pada era 1970-an, para transmigran umumnya hanya diberikan lahan kosong untuk diolah menjadi lahan produktif. Mereka bekerja keras mulai dari tahap awal, seperti membuka hutan, hingga mengubahnya menjadi lahan pertanian atau perkebunan yang siap tanam. Proses ini mencerminkan semangat kerja keras dan perjuangan untuk membangun kehidupan baru di tanah perantauan.
Pada tahun 1990-an, program transmigrasi di Indonesia mulai mengadopsi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), yang memberikan kemudahan lebih bagi para transmigran.Â
Dalam pola ini, setiap peserta transmigrasi tidak hanya mendapatkan lahan perumahan, tetapi juga satu kapling lahan perkebunan yang sudah siap dikelola. Jenis perkebunan yang diberikan beragam, seperti kebun karet atau kebun sawit.Â
Dibandingkan dengan pola sebelumnya, yang mengharuskan transmigran membuka lahan dari nol, pola PIR dianggap lebih praktis dan menguntungkan karena peserta langsung dapat memanfaatkan lahan produktif untuk mendukung kesejahteraan mereka.
Transmigrasi untuk Memperluas Kebun
Memasuki tahun 2000-an, program transmigrasi mengalami perubahan signifikan dan mulai berkembang menjadi sebuah peluang bisnis. Para peserta transmigrasi tidak lagi terbatas pada mereka yang tidak memiliki lahan di daerah asal, seperti pada masa sebelumnya.Â
Sebaliknya, banyak peserta adalah individu atau keluarga yang sebenarnya sudah memiliki lahan, bahkan beberapa di antaranya telah sukses di perantauan.Â
Mereka melihat transmigrasi sebagai kesempatan untuk memperluas kepemilikan lahan dan mengembangkan usaha, dengan banyak di antara mereka memiliki kebun yang sudah produktif.Â
Perubahan ini mencerminkan pergeseran transmigrasi dari sekadar program sosial menjadi bagian dari strategi ekonomi.
Pada masa lalu, terutama sebelum era digital, orang-orang yang telah lama merantau dan sukses memiliki kebun produktif sering kali memanfaatkan program transmigrasi untuk memperluas peluang mereka.Â
Mereka bahkan rela kembali ke Jawa untuk mendaftar ulang sebagai peserta transmigrasi. Praktik ini dimungkinkan karena sistem administrasi pada saat itu masih manual, dengan KTP yang tidak terintegrasi secara online seperti sekarang.Â
Hal ini memberikan celah bagi mereka untuk mengikuti program tersebut kembali, meskipun sebenarnya sudah memiliki lahan dan kehidupan yang mapan di perantauan.Â
Apakah ini praktik curang, silahkan anda menilai sendiri, hehehe.
Bertani Tradisional
Di wilayah Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin, banyak desa yang dulunya merupakan kawasan transmigrasi, khususnya dari tahun 1971 hingga 1997.Â
Mayoritas masyarakat di desa-desa ini mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Mereka menanam padi di ladang atau lahan persawahan serta menanam palawija di pekarangan sekitar rumah. Namun, aktivitas bertani padi sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca.Â
Pada musim kemarau panjang, lahan dapat diolah dan ditanami padi. Sebaliknya, saat musim hujan tiba, lahan-lahan tersebut sering kali terendam air, sehingga tidak dapat ditanami dan mengharuskan masyarakat mencari alternatif lain untuk bercocok tanam.
Pada masa lalu, ketika musim kemarau panjang melanda, masyarakat di wilayah tertentu, khususnya di sekitar Air Kumbang, memiliki cara tradisional untuk membuka lahan pertanian.Â
Ladang atau sawah yang sudah lama tidak digarap dan menyerupai hutan kecil ditebas (istilah lokal untuk membersihkan kayu dan rumput). Setelah kayu dan rantingnya kering, lahan tersebut kemudian dibakar.Â
Proses ini sering kali menghasilkan api besar yang membakar habis ranting, kayu kecil, hingga permukaan tanah yang sebagian besar berupa gambut. Praktik ini umum dilakukan antara tahun 1980 hingga 2000 dan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kebakaran hutan pada masa itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, kesadaran akan dampak buruk pembakaran lahan terhadap lingkungan meningkat. Kini, metode bertani seperti ini telah dilarang secara tegas.Â
Siapa pun yang kedapatan membakar lahan untuk membuka pertanian dapat dikenai sanksi berat, termasuk denda yang besar dan hukuman penjara. Aturan ini bertujuan untuk melindungi lingkungan sekaligus mencegah terjadinya bencana kebakaran hutan yang lebih luas.
Sekarang, pembersihan lahan (land clearing) sudah menggunakan eskavator, tidak lagi manual, menggunakan tenaga manusia.
Mulai Menanam Ubi Kayu dan Talas
Saya ingin bercerita tentang masyarakat Desa Nusamakmur, yang insya Allah juga mewakili kehidupan masyarakat di Kecamatan Air Kumbang.Â
Pada awalnya, ketika mereka tinggal di desa transmigrasi, bertani padi hanya bisa dilakukan saat kemarau panjang. Namun, karena kemarau panjang jarang terjadi, penduduk Desa Nusamakmur harus mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Â
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, masyarakat Nusamakmur mulai menanam ubi kayu dan keladi/talas sebagai komoditas pertanian yang bisa dijual. Mungkin karena tanah di daerah ini masih sangat subur, hasil panennya pun luar biasa.Â
Dalam sekali panen, petani bisa menghasilkan puluhan ton ubi kayu atau talas yang langsung dijual ke pasar. Saking menguntungkannya hasil panen tersebut, pernah ada seorang petani yang mampu membeli sepeda motor RXS hanya dengan hasil dari sekali menjual ubi kayu.Â
Keberhasilan ini menunjukkan betapa produktif dan menguntungkannya pertanian ubi kayu dan talas di desa tersebut pada waktu itu.
Beralih Menanam Kopi dan Karet
Setelah beberapa kali ditanami ubi kayu, keadaan tanah di Desa Nusamakmur mulai berubah. Tanah yang dulu sangat subur perlahan kehilangan kesuburannya, dan hasil panen ubi kayu pun semakin menurun tiap tahunnya.Â
Melihat kondisi ini, sebagian masyarakat, termasuk orangtua penulis, mulai beralih menanam bibit kopi, namun tetap tidak meninggalkan tradisi menanam ubi kayu dan talas.Â
Ternyata, langkah orangtua penulis ini diikuti oleh banyak warga lainnya. Seiring berjalannya waktu, desa Nusamakmur pun mulai dikenal sebagai penghasil kopi yang berkualitas. Bahkan, dari hasil kebun kopi, penulis berhasil menamatkan kuliah.Â
Tanaman kopi ini tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga membawa perubahan signifikan dalam perekonomian desa.
Di tengah menurunnya harga kopi, sebagian masyarakat di Desa Nusamakmur mulai beralih menanam bibit karet, dan lambat laun banyak yang mengikuti jejak mereka.Â
Seiring berjalannya waktu, lahan kebun kopi perlahan berkurang, tenggelam oleh luasnya kebun karet yang semakin berkembang. Harga getah karet yang terus naik juga menjadi daya tarik utama, membuat lebih banyak petani beralih ke tanaman ini. Akhirnya, kejayaan kopi di desa itu pun memudar, digantikan oleh dominasi karet yang kini menguasai sebagian besar lahan pertanian.
Karet Tergerus Sawit
Ketika harga getah karet melambung tinggi, petani di Desa Nusamakmur sangat bergembira. Pendapatan dari hasil nyadap selama sebulan bahkan bisa digunakan untuk membeli motor dengan cash. Namun, harga getah karet sangat dipengaruhi oleh ketersediaan barang di pasar global.Â
Pada saat itu, harga getah di Indonesia naik pesat karena di Malaysia, salah satu penghasil karet terbesar, sedang dilakukan peremajaan kebun karet.Â
Akibatnya, produksi getah berkurang dan harga pun melonjak. Namun, begitu kebun-kebun karet di Malaysia mulai berproduksi kembali, harga getah di Indonesia pun akhirnya menurun, membuat para petani karet kembali merasakan dampak turunnya harga tersebut.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian tersebut, datanglah investor dari Malaysia yang menawarkan peluang untuk membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah Air Kumbang.Â
Bagaikan orang yang sangat haus ditawari air, masyarakat setempat tentu tidak dapat menolaknya. Pada tahun 2008, di Desa Nusamakmur dan Sidomulyo, dibangunlah kebun plasma yang merupakan bagian dari kebun inti milik PT. Tunas Baru Lampung (TBL).Â
Kehadiran kebun kelapa sawit ini membawa harapan baru bagi masyarakat, dengan janji peningkatan ekonomi melalui kemitraan dalam pengelolaan perkebunan.
Namun, ternyata tidak semua petani memilih untuk ikut dalam program plasma, karena mereka masih sayang dengan kebun karetnya yang sudah lama mereka kelola.Â
Meski begitu, melihat peningkatan taraf hidup para petani plasma yang berhasil, banyak di antara mereka akhirnya tertarik untuk menanam sawit secara mandiri di lahan pekarangan dan ladang mereka.Â
Seiring waktu, kebun karet yang dulu mendominasi perlahan berkurang, dan kini yang tinggal hanyalah sedikit petani yang masih mempertahankan kebun karetnya. Sebagian besar lahan tersebut kini telah beralih menjadi kebun sawit yang semakin meluas.
Taraf Hidup Berubah
Sejak kebun plasma kelapa sawit di Desa Nusamakmur mencapai titik surplus (ketika hutang bank dan talangan sudah lunas) pendapatan masyarakat meningkat secara signifikan.Â
Perubahan ini terlihat jelas dari tingkat kesejahteraan penduduk. Jika pada tahun 2009 hanya ada satu orang yang memiliki kendaraan roda empat (Xenia), kini jumlah mobil pribadi telah melampaui 20 unit lebih terdiri dari berbagai merek, (Toyota Fortuner, Rush, Avanza, Kijang Innova, Mitsubishi Pajero Dakar, Terios), ditambah dengan lebih dari 10 truk yang dimiliki warga.Â
Sementara itu, sepeda motor sudah tak terhitung jumlahnya, dengan hampir setiap rumah memiliki setidaknya satu motor, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu. Kemajuan ini mencerminkan dampak positif dari keberhasilan pengelolaan kebun sawit terhadap perekonomian masyarakat.
Hutan belantara yang dulu lebat kini telah berubah menjadi hamparan luas kebun kelapa sawit. Masyarakat sering menyebutnya sebagai "tambang emas hijau," karena keberadaan perkebunan sawit telah membawa kemakmuran bagi desa.
Jika di Cikotok dikenal ada tambang emas kuning, maka di Nusamakmur, Kecamatan Air Kumbang, tambang emas hijau inilah yang menjadi sumber harapan dan penghidupan bagi warganya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI