Menjalani Hidup dengan Harmoni, Memadukan Ibadah dan Tanggung Jawab di DuniaÂ
Setiap manusia yang hidup dengan kondisi normal tentu menginginkan kehidupan yang layak, terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan.Â
Namun, apakah memiliki semua itu otomatis menjamin kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup? Jawabannya belum tentu.Â
Kebahagiaan sejati tidak semata-mata bergantung pada materi, melainkan pada kualitas jiwa dan makna hidup yang dijalani.
Ketenangan Hidup
Orang kaya belum tentu bisa tidur dengan nyenyak. Pikiran mereka kerap dibayangi kekhawatiran, takut hartanya dicuri, dirampas, atau berkurang.Â
Mereka selalu disiplin memeriksa kesehatan dan memastikan makanan yang dikonsumsi bergizi demi menjaga kebugaran.Â
Sebaliknya, orang yang tak memiliki banyak harta cenderung hidup lebih bebas. Ketika rasa kantuk datang, ia bisa tidur di mana saja, tak terbatas di kamar tidur yang nyaman.Â
Bahkan, ia kadang tak peduli apakah pintu rumahnya sudah terkunci atau belum. Pikirannya lebih ringan, tanpa beban yang berlebihan.Â
Makanan yang dihindari oleh orang kaya justru ia nikmati dengan lahap, tanpa rasa cemas berlebihan tentang konsekuensi kesehatan.
Suatu ketika, saya berkunjung ke rumah seseorang. Setelah berbincang panjang lebar tentang berbagai hal, akhirnya saya berpamitan.Â
Dari percakapan kami, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Ia bercerita bahwa dirinya bisa tidur kapan saja tanpa khawatir, bahkan terkadang pintu rumahnya tidak dikunci.Â
Ketika saya bertanya alasannya, ia hanya tersenyum dan berkata, "Untuk apa dikunci, Mas? Saya kan nggak punya apa-apa." Ucapannya sederhana namun penuh makna.Â
Dari situ, saya menyadari satu hal: memiliki harta sering kali menjadi beban, terlebih jika kita terlalu mencintai harta tersebut.
Hidup yang Bermakna
Jika kita menginginkan kehidupan yang baik dan penuh makna, maka kita harus menjalani hidup sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Sang Pemilik kehidupan.Â
Aturan tersebut telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan melalui Nabi Muhammad Saw, semua aturan itu disampaikan kepada umat manusia.Â
Pedoman hidup ini terangkum dalam Al-Qur'an, kitab suci yang juga merupakan mukjizat agung Nabi Muhammad Saw.Â
Di dalamnya terdapat petunjuk lengkap untuk menjalani hidup dengan penuh keberkahan dan hikmah.
H. Jauhari Herman Efendi, mantan Bupati Kabupaten Bandung jaman ORBA, pernah berkata, "Hirup nu hurif kudu pinuh ku huruf nu nyanghareup kana pangharepan."Â
Artinya, hidup dan penghidupan yang baik harus dipenuhi dengan huruf-huruf yang membawa harapan.Â
Huruf-huruf penuh harapan ini tak lain adalah Al-Qur'an, sumber pedoman hidup yang membawa manusia menuju kebaikan.Â
Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa, sebagai manusia, jiwa dan raga kita harus selalu hidup, bergairah, dan penuh semangat.Â
Kehidupan yang baik membutuhkan doa yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh.Â
Dengan menggabungkan keduanya, kita dapat menemukan jalan yang membawa kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Coba perhatikan, kenapa surat Al-Baqarah dalam Al-Qur'an dimulai dengan rangkaian huruf alif laam mim. Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa menurut makhraj huruf, masing-masing huruf ini memiliki tempat keluarnya yang unik.Â
Huruf alif berasal dari tenggorokan, yang melambangkan awal atau permulaan (lahir).Â
Huruf lam keluar dari tengah mulut, dengan posisi lidah menempel pada langit-langit (hidup di dunia).Â
Sementara itu, huruf mim diucapkan dari ujung mulut, dengan mempertemukan bibir atas dan bibir bawah (akhir hayat).Â
Ketiga huruf ini, meskipun sederhana, memiliki makna yang mendalam dan misteri yang hanya diketahui oleh Allah Swt.
Dengan demikian, Al-Qur'an menggambarkan siklus kehidupan manusia secara utuh, dimulai dari lahir, menjalani hidup, hingga berakhir dengan kematian.Â
Jika seseorang menginginkan kehidupan yang baik dan bahagia, dari awal kelahirannya hingga akhir hayatnya, maka ia harus menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman.Â
Kitab suci yang tersusun dari huruf-huruf hijaiyah seperti alif, laam, mim, dan lainnya ini adalah panduan sempurna yang memberikan arah dan makna bagi setiap langkah dalam perjalanan hidup manusia.
Hidup harus seimbang antara urusan dunia dan akhirat.
Menurut makhraj huruf, alif berasal dari kerongkongan, yang melambangkan awal kehidupan manusia, yakni kelahirannya.Â
Ini menggambarkan bagaimana manusia dilahirkan dari tempat yang dalam, yaitu alam rahim.Â
Setelah lahir, manusia berpindah ke tempat yang lebih luas, yakni alam dunia. Hal ini serupa dengan makhraj huruf lam, yang berasal dari bagian mulut yang luas.Â
Namun, huruf lam hanya akan berbunyi jika lidah menyentuh langit-langit terlebih dahulu sebelum diturunkan kembali.Â
Jika lidah terus menempel di langit-langit tanpa bergerak, bunyi tidak akan terbentuk.Â
Ini memberikan pelajaran mendalam tentang kehidupan di dunia: selama hidup, manusia harus senantiasa beribadah kepada Allah, Sang Pencipta, dengan melantunkan doa dan memohon petunjuk-Nya. Sebagaimana firman-Nya, "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku."
Namun, hidup tidak hanya tentang beribadah secara ritual tanpa henti. Jika manusia hanya fokus pada ibadah dan melupakan tugasnya di dunia, maka keseimbangan hidup akan terganggu.Â
Oleh karena itu, manusia harus menjalani hidup dengan harmoni, memadukan ibadah kepada Allah dan tanggung jawabnya di dunia. Allah Swt berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu"
Hidup Sesuai AturanÂ
Kita hidup di dunia adalah sebagai khalifah Allah Swt. Karena sebagai khalifah-Nya, maka segala tingkah polah kita harus menjaga nama baik-Nya.Â
Berperilaku sesuai dengan aturan-aturan Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an inilah rel kehidupan kita.Â
Sebuah kereta api apabila tergelincir dari relnya akan mengakibatkan kecelakaan, pun demikian dengan kita, bila hidup dan kehidupan kita tergelincir dari relnya alamat kita akan celaka, bisa di tengah perjalanan (dunia) atau di akhir perjalanan (akhirat), nauzubillah.
Untuk mencapai tujuan akhir dengan selamat, seorang pelancong harus mempersiapkan perbekalan dengan matang dan sebaik-baiknya. Begitu pula dalam perjalanan hidup ini.Â
Jika tujuan akhir kita adalah kampung akhirat, maka perbekalan terbaik yang harus kita bawa adalah takwa.Â
Dengan takwa sebagai pedoman, kita akan senantiasa berada di jalan yang benar dan terhindar dari kesesatan, hingga akhirnya sampai ke tempat yang diridhoi oleh Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H