Harmoni Kehidupan dari Lahan Pekarangan
Ketika sesuatu dilakukan secara terus-menerus, ia akan membentuk pola perilaku yang menjadi kebiasaan.
Kebiasaan ini, jika dipertahankan dan dijalankan secara konsisten, perlahan akan mengakar dalam kehidupan sehari-hari hingga berkembang menjadi sebuah budaya yang mencerminkan identitas individu maupun kelompok.
Saya dan istri memiliki kebiasaan yang telah menjadi hobi menyenangkan, yaitu menanam sayuran di pekarangan rumah.
Aktivitas ini kami lakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga jumlah yang ditanam pun tidak terlalu banyak.Â
Untuk sayuran yang berumur pendek, kami memanfaatkan polybag sebagai media tanam, sedangkan sayuran yang memiliki masa panen lebih panjang ditanam langsung di tanah, memanfaatkan lahan yang tersedia.
Hobi ini tidak hanya memberikan hasil segar untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menciptakan suasana asri di sekitar rumah.
Tanaman Obat
Tanaman Obat Keluarga (TOGA) memiliki hubungan yang kuat dengan praktik pengobatan lokal. Nenek moyang kita telah memanfaatkan daun, akar, atau bunga dari berbagai tanaman untuk menyembuhkan orang di berbagai tempat.
Tradisi ini, yang merupakan warisan penting, harus dilestarikan. Dengan membudidayakan TOGA, masyarakat dapat mempertahankan kearifan lokal dan memperkenalkan generasi muda.
Dari sudut pandang lingkungan, TOGA juga membantu menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan sehat. Tanaman-tanaman ini meningkatkan kualitas udara dan memperindah halaman rumah, mendukung kesehatan fisik dan mental.
Kami menyediakan area khusus untuk menanam tanaman obat keluarga yang terletak di antara pagar dan halaman depan dapur.
Di area ini, kami menanam berbagai tanaman bermanfaat seperti kencur, bunga telang, rosela, jahe merah, dan kelor.
Sebagai pembatas antara area tanaman obat dan sayuran, kami menggunakan tanaman katuk.
Selain berfungsi sebagai pagar alami, katuk juga memiliki nilai tambah sebagai sayuran bergizi yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.Â
Kombinasi ini tidak hanya praktis, tetapi juga menciptakan suasana hijau dan sehat di sekitar rumah.
Dibalik Cerita Daun Salam
Di area lain, kami menanam beberapa jenis cabai, seperti cabai rawit biasa, cabai rawit kecil, dan cabai keriting, serta tak ketinggalan terong.
Di area ini, kami juga menanam serai dan pohon salam untuk melengkapi kebutuhan dapur.
Karena area tersebut telah dipasangi paving blok, kami menggunakan polybag sebagai media tanam, yang praktis dan tetap memungkinkan tanaman tumbuh subur.
Kombinasi tanaman ini memberikan hasil yang beragam sekaligus menjadikan pekarangan lebih produktif.
Ada cerita menarik di balik keputusan kami menanam pohon salam di polybag dan meletakkannya di depan dapur.
Sekitar sepuluh bulan yang lalu, seorang keponakan kami dari Karawang, seorang pensiunan tentara, berkunjung ke rumah.
Saat berjalan-jalan di kebun samping rumah, ia memetik tunas daun salam, mengunyahnya langsung, dan menelannya.Â
Tindakan itu mengejutkan istri saya, yang spontan bertanya, "Ih, apa nggak keset, Dek?"Â
Dengan santai, keponakan kami menjawab, "Nggak, Tante. Saya sudah biasa. Dulu, saat masih bertugas di Aceh, saya sering makan daun salam mentah. Hasilnya, saya tidak pernah kena asam urat atau diabetes. Coba Tante biasakan makan daun salam, in sya Allah nggak kena diabetes."Â
Setelah tamu kami pulang, istri saya memutuskan untuk memindahkan pohon salam ke depan dapur agar lebih mudah diakses.
Sejak rutin mengonsumsi daun salam mentah, alhamdulillah, kadar asam urat dan gula darah istri saya sekarang normal.
Pohon salam ini kini menjadi salah satu tanaman favorit di rumah, tidak hanya karena manfaatnya tetapi juga karena cerita di baliknya.
Kebutuhan Protein TercukupiÂ
Untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga, kami memelihara ikan di kolam kecil yang terletak di depan rumah.
Ikan yang dipelihara adalah ikan nila, bukan ikan koi, agar dapat dikonsumsi.
Sementara itu, di kolam samping rumah, kami juga memelihara ikan betok dan nila.
Kehadiran kolam-kolam ini tidak hanya memberikan suplai protein segar, tetapi juga menambah keindahan dan kesejukan di sekitar rumah.
Kolam di depan rumah dilengkapi dengan pompa air untuk memastikan sirkulasi air yang baik, serta dipasangi saringan agar air tetap jernih.
Selain menjaga kebersihan, pompa ini juga membantu memenuhi kebutuhan oksigen bagi ikan.
Sebaliknya, kolam di samping rumah dibiarkan tanpa menggunakan alat tambahan, hanya dikelola secara sederhana.Â
Menariknya, terdapat perbedaan hasil yang cukup signifikan antara kedua kolam tersebut.
Ikan di kolam yang menggunakan pompa dan saringan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ikan di kolam yang dikelola secara alami.Â
Hal ini menunjukkan bahwa sirkulasi air dan pasokan oksigen yang optimal sangat memengaruhi pertumbuhan ikan.
Namun, ada kesulitan yang kami hadapi ketika listrik mati dalam waktu lama.
Tanpa aliran listrik, pompa air tidak bisa berfungsi, dan akibatnya ikan akan mengambang ke permukaan.
Suatu ketika, listrik mati selama empat hari, dan semua ikan di kolam kami mati. Hanya tersisa enam ekor yang masih hidup.
Sayangnya, kematian ikan itu terjadi malam hari, dan baru diketahui keesokan paginya ketika kami menemukan ikan-ikan tersebut sudah mengapung dengan tubuh yang putih.
Istri saya merasa enggan untuk memasaknya, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk mengubur bangkai ikan sebanyak dua angkong atau troli di bawah pohon durian sebagai penguburan terakhir.
Sebagai sumber protein hewani lainnya, kami juga memelihara ayam di belakang rumah.
Demi menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, kandang ayam kami tempatkan sekitar 10 meter dari rumah.
Dengan memelihara ayam ini, kami tidak hanya memanfaatkan dagingnya untuk kebutuhan keluarga, tetapi juga menikmati hasil berupa telur segar yang selalu tersedia.
Kegiatan ini sekaligus menjadi bagian dari upaya kami untuk hidup lebih mandiri dan sehat.
Pemanfaatan Tanaman
Semua tanaman yang kami budidayakan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebutuhan dapur.
Jahe, kunyit, laos, dan cabai kini selalu tersedia di halaman, sehingga kami tidak perlu lagi membelinya di pasar.Â
Untuk minuman sehari-hari, istri saya biasanya menggunakan serai, bunga telang, atau rosela sebagai bahan untuk membuat teh.
Ketiga bahan tersebut digunakan secara terpisah, tanpa dicampur, sehingga setiap jenis minuman memiliki rasa dan khasiatnya sendiri.
Sebagai hasilnya, kami sekeluarga sudah lama meninggalkan kebiasaan menyeduh daun teh, menggantinya dengan teh alami dari serai, rosela, atau bunga telang yang lebih sehat dan penuh manfaat.
Daun kelor muda dari pekarangan rumah sering kami manfaatkan sebagai campuran dalam masakan.
Ketika membuat sayur bening, misalnya, istri saya selalu menambahkan daun kelor sebagai salah satu bahan utamanya.
Selain itu, sesekali saya juga mengonsumsi jus daun kelor.
Meskipun rasanya pahit dan kurang menyenangkan di lidah, saya tetap meminumnya, karena percaya pada pepatah, "Biarlah pahit sekarang, tapi manis terasa kemudian."Â
Menariknya, istri saya juga sering berkreasi dengan daun kelor ini. Salah satunya adalah menjadikannya campuran saat membuat mi kuah dengan bahan dasar mi instan.
Hasilnya, mi instan yang sederhana menjadi lebih bergizi, berkat tambahan daun kelor yang kaya manfaat.
Dalam penjelasan mengenai pemanfaatan tanaman di atas, saya sengaja tidak membahas manfaat kesehatannya, karena itu bukanlah bidang keahlian saya.Â
Apa yang saya bagikan hanyalah kebiasaan sederhana yang dilakukan oleh keluarga kami dalam memanfaatkan tanaman di pekarangan.Â
Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang manfaat kesehatan dari tanaman-tanaman tersebut, saya sarankan untuk merujuk pada sumber informasi yang valid, seperti publikasi dari dinas kesehatan atau penjelasan para pakar di bidang kesehatan.
Dengan demikian, Anda dapat memperoleh informasi yang akurat dan terpercaya.
Tempat Hiburan Murah di Akhir PekanÂ
Setiap akhir pekan, kami memanfaatkan area tempat menanam sayuran sebagai ruang hiburan keluarga.
Sambil membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman dan memupuknya, kami bercengkerama, berbagi cerita, dan menikmati waktu bersama.
Kadang-kadang, saya mengajak cucu memancing di kolam kecil di depan rumah.
Hanya dengan mendapatkan dua atau tiga ekor ikan, suasana sudah terasa meriah karena ikan-ikan tersebut langsung kami masak.Â
Melihat cucu yang begitu antusias memancing adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya sebagai kakek.
Kegembiraan cucu memancing terbalas dengan kegembiraan saya yang melihatnya bahagia. Sebuah simbiosis yang sederhana, namun penuh makna dan kehangatan.
Penutup
Demikianlah sekelumit cerita dari saya mengenai pemanfaatan lahan pekarangan di rumah.
Apa yang saya sampaikan semata-mata hanya untuk berbagi pengalaman, tanpa sedikit pun niat untuk menggurui.
Mohon maaf jika ada kesan demikian, karena itu sama sekali bukan maksud saya.
Semoga cerita sederhana ini dapat memberikan inspirasi atau sekadar hiburan bagi siapa pun yang membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H