Oleh karena itu, lebih bijaksana untuk membedakan peran pelatih dan guru agar para pendidik dapat sepenuhnya fokus pada tanggung jawab utama mereka, mendidik generasi penerus bangsa.
Ada sebuah kisah nyata ketika saya mengikuti pelatihan tentang 'Macam-macam Metode Pembelajaran yang dapat diterapkan dalam Kurikulum 2013'. Saat itu, sang pelatih atau narasumber dengan bangga menyampaikan jadwal kegiatannya yang sangat padat.Â
Ia menyebutkan, "Tanggal sekian di SMP anu, tanggal sekian di SMP anu, terus di SMP anu," dan begitu seterusnya, sampai mencakup beberapa minggu ke depan. Jadwal yang penuh dengan undangan untuk melatih di berbagai sekolah.
Namun, di tengah sesi itu, seorang ibu guru mengangkat tangan dan bertanya, "Wah, jadwal ibu padat sekali ya. Kalau begitu, kapan ibu mengajar murid ibu?" Pertanyaan itu seketika membuat sang narasumber terdiam, tidak mampu memberikan jawaban.
Momen tersebut menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara tugas sebagai pelatih dan tanggung jawab utama sebagai seorang pendidik di kelas. Seorang guru seharusnya tidak dibebani dengan peran ganda yang dapat mengalihkan fokusnya dari tugas utama, yaitu mendidik siswa.
Oleh karena itu, akan lebih bijaksana jika tugas melatih guru dikembalikan kepada para profesional di lembaga yang memang khusus menangani pelatihan, seperti Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP).Â
Mereka adalah pihak yang memang ditugaskan untuk melatih tanpa beban tanggung jawab ganda sebagai pengajar di sekolah. Dengan begitu, tidak akan ada lagi "double job" yang bisa mengganggu kinerja guru di kelas, sehingga masing-masing bisa fokus pada tugas utamanya. Untuk apa menguasai berbagai macam metode, kalau tidak pernah dipakai untuk mengajar.
2. Peningkatan kesejahteraan guru
Beredar di media sosial kisah seorang guru yang setelah mengajar di sekolah, melanjutkan harinya dengan bekerja sebagai pemulung, atau bahkan menjadi tukang ojek. Apakah ini realita atau hanya sebatas keperluan konten, wallaahu a'lam.
Tanpa bermaksud merendahkan profesi tambahan yang dijalani, cerita ini menunjukkan betapa gaji dari profesi utamanya sebagai guru belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Ini menjadi potret nyata dari realitas yang dihadapi oleh sebagian tenaga pendidik, di mana mereka harus mencari penghasilan tambahan untuk menopang kehidupan keluarga, meskipun sudah mengemban tugas mulia sebagai pendidik.