Pendidikan bagaikan sebuah perjalanan panjang yang mengantarkan kita menuju masa depan. Dalam perjalanan ini, persiapan dan perencanaan menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan. Pepatah "pendidikan bukan dadakan tapi direncanakan dengan matang" mencerminkan esensi pentingnya merajut benang-benang pendidikan secara terstruktur dan terarah.
Bayangkan sebuah benih yang ditanam tanpa persiapan tanah, pupuk, dan air yang memadai. Benih tersebut kemungkinan besar tidak akan tumbuh dengan optimal, bahkan bisa gagal sama sekali. Hal ini serupa dengan pendidikan yang dilakukan tanpa perencanaan matang. Tanpa arah yang jelas dan langkah-langkah terukur, potensi individu untuk berkembang dan mencapai kesuksesan akan terhambat.Â
Analogi Pendidikan dengan Bercocok TanamÂ
Sebagai seorang guru yang berprofesi petani atau petani yang berprofesi guru (terserah pandangan pembaca), saya akan menganalogikan proses belajar mengajar pada dunia pendidikan (sekolah) dengan menanam tanaman di dunia pertanian.
Kenapa menganalogikan mendidik dengan bercocok tanam? Mengajar dan bercocok tanam, dua kegiatan yang berbeda, namun memiliki kesamaan filosofis yang mendalam. Layaknya seorang petani yang menanam benih, seorang guru menanamkan ilmu dan pengetahuan kepada para muridnya. Proses ini membutuhkan kesabaran, dedikasi, dan kerja keras, serta diiringi dengan rasa cinta dan tanggung jawab
Bercocok tanam tidaklah bersifat instan. Prosesnya dimulai dari mengolah lahan, memastikan tanah siap untuk ditanami. Setelah itu, petani harus memilih dan memilah bibit yang berkualitas. Tahap berikutnya adalah menanam bibit tersebut dengan hati-hati. Namun, pekerjaan tidak berhenti di situ. Bibit yang sudah ditanam harus dirawat dengan telaten, mulai dari memberi pupuk, membersihkan rumput liar, hingga rutin menyiramnya.
Barulah setelah melalui semua proses panjang ini, tiba saatnya untuk memanen. Namun, panen pun tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan, karena tanaman mungkin tidak selalu berbuah seperti yang diinginkan. Ini baru berbicara soal bertani dengan tanaman yang kelihatan, dan prosesnya sudah begitu panjang serta tidak bisa langsung memetik hasilnya.
Mari kita terapkan analogi proses menanam pada dunia pendidikan. Pendidikan, seperti halnya bercocok tanam, tidak bisa dilakukan secara dadakan. Prosesnya harus direncanakan dengan matang agar hasilnya sesuai dengan harapan. Jika pendidikan dilakukan secara instan dan tanpa perencanaan yang baik, hasilnya hanya akan menjadi PHP (Pemberi Harapan Palsu).Â
Seperti tanaman yang memerlukan waktu dan perawatan untuk tumbuh dan berbuah, pendidikan juga membutuhkan waktu, perhatian, dan usaha yang konsisten untuk menghasilkan individu yang berpengetahuan dan berkompeten.
Mari ikuti paparan analoginya berikut ini
1. Mengolah lahan
Di dunia pertanian mengolah lahan adalah langkah awal yang wajib dilakukan, baik dan buruknya tanaman akan tergantung pada kondisi tanah. Tanah subur dan PHnya tinggi akan memungkinkan bibit tumbuh dengan baik.
Di dunia pendidikan, kalau mau (ilmu) siswanya tumbuh dengan baik, maka sekolahnya harus dikelola dengan baik. Manajemen sekolahnya harus baik, teamwork (semua stakeholder sekolah) harus baik dan kuat, bila ada yang kurang dengan kemampuan gurunya harus ditingkatkan atau diupgrade (sebagaimana petani menaburkan dolomit agar PHnya tinggi), bangunan juga harus nyaman dan aman sehingga siswa tenang belajar sebagaimana petani memagar dan melindungi lahan dari gangguan HPT (Hama dan Penyakit Tanaman).
Kalau kondisi (bangunan) sekolah, stakeholder dan lingkungan sudah siap, maka baru bisa kita memilih dan memilah siswa, sebagaimana petani mempersiapkan lahan pertaniannya.
Maka tidak heran bila sebuah sekolah mengecat gedung dan menata taman serta membuat rencana kegiatan awal demi memikat calon siswanya.
2. Memilih dan memilah bibit
Setelah lahan siap tanam proses berikutnya yang pak petani lakukan adalah memilih dan memilah bibit yang berkualitas. Sudah barang tentu yang dipilih adalah bibit yang bagus (tahan penyakit) dan genjah (cepat berbuah). Proses ini tidak bisa sembarangan, karena bibit yang baik akan menentukan hasil panen di kemudian hari.
Hal itu pun bisa dilakukan dalam pendidikan, memilih dan memilah calon siswa dilakukan dalam Penerima Peserta Didik Baru (PPDB) maka diadakanlah Tes, tapi sekarang tidak diperbolehkan. Padahal bila dilakukan ini akan mendapatkan siswa pilihan.
Melansir jendela.kemdikbud.go.id bahwa tahun ini, mekanisme penerimaan peserta didik baru (PPDB) ditempuh melalui tiga jakur, yaitu jalur zonasi dengan kuota minimal 90 persen dari daya tampung sekolah, 5 persen jalur prestasi, dan sisanya melalui jalur perpindahan tugas orang tua/wali.
Maksud pemerintah itu baik, dengan aturan itu diharapkan berlaku adil bagi seluruh sekolah dan sekolah tidak melakukan penyimpangan. Tapi pada kenyataannya masih banyak penyimpangan sehingga menimbulkan protes dari wali siswa.Â
Ada yang mengukur jarak rumah dengan sekolah terdekat karena anaknya tidak diterima di sekolah tersebut padahal jaraknya dekat. Ada pula yang melaporkan kepala sekolah sehingga kepala sekolah diperiksa oleh Ombudsman, dan lain-lain.
Yang lucu lagi, kekonyolan yang dibuat wali siswa beredar di medsos. Agar anaknya diterima lewat jalur prestasi, maka orangtua melampirkan sertifikat prestasi anaknya di bidang olahraga pencak silat, tapi anehnya anaknya tidak ngerti satu jurus silat pun. Jadi darimana sertifikat itu?
Kalau semua kejadian diatas itu terjadi di sekolah kita, mana mungkin akan menghasilkan siswa yang berprestasi, walaupun kita sudah ngoyo dengan menambah jam pelajaran. Sebagaimana petani yang menanam bibit sawit jelek, dia akan tumbuh dan berbuah tapi buahnya kecil-kecil, walaupun sudah ngoyo dengan menambah dosis pupuk.
3. Menanam bibitÂ
Menanam bibit merupakan tahap yang paling mendasar dalam bertani. Agar perawatan tanaman lebih mudah dan hasil buahnya berkualitas, petani perlu mengatur jarak tanam dengan cermat. Setiap jenis tanaman memiliki kebutuhan jarak tanam yang berbeda-beda. Pengaturan jarak ini bukan hanya untuk memaksimalkan ruang, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap tanaman mendapatkan cukup nutrisi, air, dan sinar matahari. Dengan demikian, setiap tanaman dapat tumbuh dengan optimal dan menghasilkan buah yang terbaik.
Dalam dunia pendidikan, menanam diibaratkan sebagai proses belajar mengajar. Pihak lembaga (sekolah) harus menyusun rencananya dalan setahun pelajaran, menyusun kurikulum dengan cermat, jam pelajaran diatur dengan baik, jadwal dibuat teratur, kalender pendidikan disusun.Â
Sementara gurunya tidak boleh mengajar tanpa persiapan/perencanaan apalagi datang ke kelas dengan membawa masalah di rumah. Seorang guru harus menyusun Program Tahunan, Program Semester, Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), menetapkan Tujuan Pembelajaran (TP), menyusun/membuat Modul Pembelajaran, menyusun Assesmen (Formatif dan Sumatif).
Semua itu dilakukan untuk memastikan bahwa proses pendidikan berlangsung efektif dan efisien, sehingga siswa dapat menerima pengetahuan dan keterampilan dengan optimal.Â
Kesulitan dalam menanam di dunia pendidikan terletak pada sifatnya yang abstrak, tidak seperti menanam bibit tanaman yang nyata dan bisa dilihat secara langsung. Misalnya, menanamkan karakter pada siswa membutuhkan waktu yang lama. Proses ini memerlukan pembiasaan yang konsisten dan contoh atau teladan yang baik agar dapat berhasil dengan optimal. Karena sifatnya yang tidak terlihat, upaya menanamkan nilai-nilai karakter menjadi lebih menantang dan memerlukan pendekatan yang lebih sabar dan berkelanjutan.
Sebagaimana petani memilih bibit yang unggul untuk mendapatkan buah yang baik dan berkualitas, demikian pula sebuah sekolah harus memperhatikan kualitas input siswanya untuk menghasilkan lulusan yang unggul.Â
Untuk mencapai tujuan tersebut, sekolah-sekolah unggulan mengadakan tes masuk guna menyaring calon siswa yang memiliki potensi terbaik. Dengan demikian, proses pendidikan dapat dimulai dengan fondasi yang kuat, sehingga hasil akhirnya sesuai dengan harapan dan standar tinggi yang ditetapkan.
4. Merawat
Apa yang telah ditanamkan pada siswa baik itu pengetahuan, sikap, ataupun karakter, harus dirawat dengan baik. Kalau input siswanya pintar/cerdas (bagus) maka dibuatkan kelas akselerasi, dan bila input siswanya hanya rata-rata bahkan di bawah rata-rata maka ditambahkan dengan jam tambahan atau les.Â
Sebagaimana petani memberikan pupuk, membersihkan rumput liar yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman, dan tentu saja, menyiramnya agar tetap mendapatkan cukup air. Semua usaha ini dilakukan dengan harapan bahwa tanaman akan tumbuh sehat dan kuat.
Untuk merawat pengetahuan yang diberikan selama proses belajar, sekolah mengadakan berbagai kegiatan seperti les atau jam belajar tambahan dan penerbitan majalah dinding. Ini membantu siswa untuk memperdalam pemahaman mereka dan mengembangkan minat baca serta menulis.Â
Sementara itu, untuk merawat karakter yang ditanamkan selama proses belajar, sekolah melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler seperti Rohis dan Pramuka. Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk karakter siswa, mengajarkan nilai-nilai moral, kerja sama, dan kepemimpinan.Â
Semua upaya ini dilakukan dengan tujuan akhir memperoleh output siswa yang unggul, baik dari segi akademis maupun karakter.
5. Memanen
Memanen hasil adalah tahap akhir dari seluruh rangkaian proses bercocok tanam. Kegiatan ini sangat menyenangkan jika buah yang dihasilkan berkualitas baik. Namun, jika buahnya jelek, bukannya rasa senang yang didapat, melainkan rasa kecewa. Panen menjadi momen penentu yang mencerminkan hasil dari seluruh kerja keras yang telah dilakukan sebelumnya.
Demikian juga di dunia pendidikan, terdapat dua jenis masa panen. Pertama, panen semesteran yang dilakukan setiap akhir semester. Kedua, panen raya yang terjadi setelah enam tahun di jenjang SD dan tiga tahun di jenjang SMP, SMA, atau SMK.Â
Baik hasil panen semesteran maupun panen raya, kualitasnya sangat bergantung pada proses belajar mengajar serta bimbingan ekstrakurikuler yang telah diberikan sebelumnya. Hasil akhir ini mencerminkan seberapa efektif dan berhasilnya upaya pendidikan yang telah dilakukan.
Kesimpulan
Mendidik bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan secara mendadak. Mendidik harus direncanakan atau diprogramkan dengan baik. Sekolah membuat program dan rencana, begitu juga dengan guru yang menyusun program pengajaran mereka. Sekolah dan guru harus membuat rencana yang matang, karena sebagaimana jargon yang terkenal bahwa 'kalau gagal merencanakan, sama dengan merencanakan kegagalan'. Hanya dengan perencanaan yang terstruktur, tujuan pendidikan dapat tercapai dengan optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H