Pantun" Acara ini menghadirkan narasumber bapak Miftahul Hadi, S.Pd., dengan Arofiah Afifi, S.Pd. sebagai moderator.
Kegiatan malam ini adalah pertemuan ke-13 dari Gelombang ke-31 yang berjudul "KaidahKegiatan dimulai dengan pembacaan do'a untuk memohon kelancaran dan keberkahan acara. Setelah itu, moderator menyampaikan bahwa kuliah malam ini akan dibagi menjadi empat sesi utama, yaitu Pembukaan, Pemaparan Materi, Tanya Jawab, dan Penutup.
Sebelum diserahkan ke Narasumber, moderator pun berpantun
Ke Purwakarta minum es barbar
Terasa betah baunya harum
Karena peserta sudah tak sabar
Mohon Pak Miftah masuk ke forum
Narasumber menyambut pantun moderator dan sebagai tanda dimulainya sesi pemaparan materi
Mawar sekuntum tumbuh di taman,
Daun salam tumbuh di kota,
Assalamualaikum saya ucapkan,
Sebagai salam pembuka kata.
Selanjutnya narasumber mengenalkan diri, karena ahli pantun ya perkenalannya dengan pantun, begini pantunnya
Banjir kanal tanahnya lempung,
Membabat semak di pinggir kali,
Salam kenal saya mas Mif guru kampung,
Dari Demak berjuluk kota wali.
Setelah memperkenalkan diri beliau memulai materi dengan membahas apa itu pantun
Apa itu Pantun?
Pada hakikatnya, sebagian besar kesusastraan tradisional Indonesia membentuk pondasi dasar bagi pertunjukan genre campuran yang kompleks. Salah satu contohnya adalah "randai" dari Minangkabau wilayah Sumatra Barat, yang memadukan seni musik, tarian, drama, dan bela diri dalam sebuah pertunjukan seremonial yang spektakuler. Randai tidak hanya menggambarkan keindahan dan keragaman budaya Minangkabau, tetapi juga menampilkan kekayaan dan kompleksitas seni tradisional Indonesia.
Selain randai, bentuk kesusastraan lain yang sangat penting dalam budaya Indonesia adalah pantun. Pantun telah diakui sebagai warisan budaya tak benda secara nasional pada tahun 2014. Pengakuan ini menunjukkan pentingnya pantun dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia, serta perannya dalam mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai tradisional dari generasi ke generasi.
Pengakuan pantun tidak berhenti di tingkat nasional. Pada tanggal 17 Desember 2020, pantun diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda dalam sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage yang berlangsung di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis. Pengakuan ini menegaskan nilai universal pantun sebagai bentuk kesusastraan yang tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia. Pantun, dengan keindahan bahasa dan kekayaan maknanya, kini diakui secara global sebagai bagian penting dari warisan budaya tak benda umat manusia.
Dalam penjelasannya tentang apa itu pantun, narasumber menyampaikan beberapa pengertian pantun dari berbagai sumber. Menurut Renward Branstetter (Suseno, 2006; Setyadiharja, 2018; Setyadiharja, 2020), kata pantun berasal dari gabungan kata "Pan" yang merujuk pada sifat sopan dan "Tun" yang merujuk pada sifat santun. Selain itu, kata "Tun" juga dapat diartikan sebagai pepatah dan peribahasa (Hussain, 2019). Dengan demikian, pantun menggambarkan adanya sikap sopan dan santun.
Lebih lanjut, istilah "tuntun" dalam bahasa Pampanga berarti teratur, "tonton" dalam bahasa Tagalog mengacu pada mengucapkan sesuatu dengan susunan yang teratur, "tuntun" dalam bahasa Jawa Kuno berarti benang, "atuntun" berarti teratur, "matuntun" berarti pemimpin, "panton" dalam bahasa Bisaya berarti mendidik, dan "pantun" dalam bahasa Toba berarti kesopanan atau kehormatan (Hussain, 2019). Dari definisi-definisi ini, pantun disusun dari kata-kata yang teratur dan tidak sembarangan.
Pantun juga memiliki akar kata "TUN" yang bermakna "baris" atau "deret". Dalam masyarakat Melayu-Minangkabau, pantun diartikan sebagai "panutun", sedangkan di masyarakat Riau disebut dengan "tunjuk ajar" yang berkaitan dengan etika (Mu'jizah, 2019). Secara struktural, pantun termasuk puisi lama yang terdiri dari empat baris atau rangkap, di mana dua baris pertama disebut pembayang atau sampiran, dan dua baris kedua disebut maksud atau isi (Yunos, 1966; Bakar 2020).
Pantun, dengan demikian, tidak hanya merupakan bentuk kesusastraan tradisional yang indah, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sopan santun, keteraturan, dan etika yang tinggi dalam masyarakat yang menggunakannya.
Pantun adalah Budaya Nusantara
Ternyata pantun tidak hanya terdapat di budaya Melayu saja. Berbagai daerah di Indonesia juga memiliki bentuk pantun mereka sendiri. Menurut Suseno (2006), di Tapanuli, pantun dikenal dengan nama ende-ende. Contoh ende-ende dari Tapanuli adalah sebagai berikut:
Ende-Ende:
Molo mandurung ho dipabu,
Tampul si mardulang-dulang,
Molo malungun ho diahu,
Tatap siru mondang bulan.
Artinya:
Jika tuan mencari paku,
Petiklah daun sidulang-dulang,
Jika tuan rindukan daku,
Pandanglah sang bulan purnama.
Sedangkan di Sunda, pantun dikenal dengan nama paparikan. Berikut ini contoh paparikan dari Sunda:
Paparikan:
Sing getol nginum jajamu,
Ambeh jadi kuat urat,
Sing getol neangan elmu,
Gunana dunya akhirat.
Artinya:
Rajinlah minum jamu,
Agar kuatlah urat,
Rajinlah menuntut ilmu,
Berguna bagi dunia akhirat.
Selain itu, ada juga pantun dari Jawa yang dikenal dengan sebutan parikan. Berikut contoh parikan dari masyarakat Jawa:
Parikan:
Kabeh-kabeh gelung konde,
Kang endi kang gelung Jawa,
Kabeh-kabeh ana kang duwe,
Kang endi sing durung ana.
Artinya:
Semua bergelung konde,
Manakah yang gelung Jawa,
Semua telah ada yang punya,
Mana yang belum dipunya.
Dari contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa pantun merupakan bentuk kesusastraan yang luas dan beragam di berbagai daerah di Indonesia. Setiap daerah memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dalam menyampaikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal melalui pantun.
Bagaimana fungsi pantun
Â
Dijelaskan oleh pak Miftahul selaku narasumber, bahwa ada beberapa fungsi pantun yang sangat penting dalam budaya dan kehidupan sehari-hari:
- Yang pertama, sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berpikir. Dengan memanfaatkan pantun, kita dapat melestarikan kekayaan kosakata serta struktur bahasa yang ada, sehingga bahasa tersebut tetap hidup dan berkembang seiring waktu.
- Kedua, pantun melatih seseorang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Ketika membuat atau menyampaikan pantun, seseorang harus mempertimbangkan dengan cermat pilihan kata dan makna yang ingin disampaikan. Hal ini membantu mengasah kemampuan berpikir kritis dan reflektif, serta meningkatkan kecermatan dalam berbicara.
- Ketiga, pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata. Dalam berpantun, diperlukan kemampuan untuk dengan cepat menemukan kata-kata yang sesuai dan menyusunnya menjadi bait yang bermakna. Ini menuntut kelincahan berpikir dan kreativitas tinggi, serta kemampuan berimprovisasi dengan bahasa.
Dengan demikian, pantun tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan yang efektif dalam mengembangkan keterampilan bahasa, kemampuan berpikir, dan kreativitas.
Ciri-ciri pantun
Adapun ciri-ciri pantun yaitu sebagai berikut:
- Satu bait terdiri atas empat baris.
- Satu baris terdiri atas empat sampai lima kata.
- Satu baris terdiri atas delapan sampai dua belas suku kata.
- Bersajak a-b-a-b.
- Baris pertama dan kedua disebut sampiran atau pembayang.
- Baris ketiga dan keempat disebut isi atau maksud.
Jadi, satu bait pantun terdiri atas empat baris. Kemudian, satu baris terdiri atas empat sampai lima kata. Untuk menjaga kerapian dan keteraturan, gunakan empat sampai lima kata per barisnya. Selanjutnya, satu baris terdiri atas delapan sampai dua belas suku kata, yang memberikan ritme dan irama khas pada pantun.
Pantun juga memiliki pola sajak yang disebut a-b-a-b. Ini berarti bahwa baris pertama bersajak dengan baris ketiga, dan baris kedua bersajak dengan baris keempat. Pola sajak ini membantu dalam menciptakan harmoni dan keindahan dalam pantun.
Baris pertama dan kedua dalam pantun disebut sampiran atau pembayang. Sampiran ini biasanya berisi gambaran atau kiasan yang tidak langsung terkait dengan isi pantun, tetapi berfungsi sebagai pengantar. Sedangkan baris ketiga dan keempat disebut isi atau maksud, yang mengandung pesan atau makna utama dari pantun tersebut.
Dengan memahami ciri-ciri ini, kita dapat membuat pantun yang sesuai dengan kaidah tradisional, menjaga keindahan dan kekhasan dari bentuk puisi ini.
Apa itu rima dalam pantun?
Rima dalam pantun adalah pola bunyi yang muncul di akhir baris-baris pantun. Rima ini menciptakan keselarasan dan keindahan ketika pantun dibaca atau didengar. Dalam pantun, rima biasanya mengikuti pola a-b-a-b, di mana baris pertama bersajak dengan baris ketiga, dan baris kedua bersajak dengan baris keempat. Berikut ini adalah contoh pantun dengan pola rima a-b-a-b:
Makan nasi ditambah kerupuk kulit,
Paling lahap makannya di tepi sawah,
Membuat pantun memanglah sulit,
Jika diasah akanlah jadi mudah.
Perhatikan, ini adalah contoh pantun dengan rima atau bunyi akhir yang sama hanya di akhir baris, maka disebut dengan rima akhir. Rima ini penting untuk menunjukkan keindahan pilihan diksi serta kalimat dalam pantun.
Pantun menunjukkan keindahan dalam pilihan kata dan struktur kalimat. Dalam memilih kata agar rimanya indah, usahakan minimal memiliki vokal akhir yang sama, bukan hanya huruf akhir. Contohnya, kata "kulit" dan "sulit" memiliki bunyi akhir yang sama, yaitu "-it," sementara "sawah" dan "mudah" memiliki bunyi akhir yang sama, yaitu "-ah."
Dengan memperhatikan rima ini, pantun akan terdengar lebih harmonis dan menyenangkan ketika dibaca atau didengar, menciptakan efek musikal yang menjadi salah satu ciri khas keindahan pantun.
Tips Membuat Pantun
Pak Miftahul memberikan tipsnya tentang bagaimana cara membuat pantun yang baik, yaitu sebagai berikut:
- Mencari Akhiran (Bunyi Akhir) yang Sama
Pertama, temukan kata-kata yang memiliki bunyi akhir yang sama. Ini akan membantu menciptakan rima yang indah dan harmonis dalam pantun. Misalnya, kata-kata dengan akhiran "-ah" atau "-it" dapat digunakan untuk membuat rima yang konsisten.
- Buat Isinya Dulu Baru Sampiran
Mulailah dengan menentukan isi atau maksud dari pantun, yang terletak pada baris ketiga dan keempat. Setelah itu, buatlah sampiran atau pembayang yang sesuai pada baris pertama dan kedua. Ini membantu memastikan bahwa isi pantun tetap fokus dan bermakna.
- Jangan Memakai Nama Orang atau Merk Dagang
Hindari menggunakan nama orang atau merk dagang dalam pantun. Hal ini untuk menjaga agar pantun tetap umum dan dapat dinikmati oleh semua orang tanpa adanya bias atau promosi terselubung.
- Lihat Tanda Baca Setiap Akhir Barisnya
Perhatikan tanda baca di akhir setiap baris pantun. Baris pertama, kedua, dan ketiga biasanya diakhiri dengan tanda koma (,), sedangkan baris keempat diakhiri dengan tanda titik (.). Penggunaan tanda baca yang tepat membantu menjaga ritme dan pemahaman pantun.
Dengan mengikuti tips-tips ini, Anda dapat membuat pantun yang tidak hanya indah secara rima dan struktur, tetapi juga kaya akan makna dan mudah dipahami.
Demikian catatan pertemuan ke-14 dari kegiatan KBMN PGRI Gelombang ke-31. Malam ini saya Banyak belajar dan belajar banyak tentang pantun. Dan dari tulisan ini semoga bermanfaat bagi pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H