Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Orang Seperti  RJ Lino Wajib "Diganggu?" (1)

26 Oktober 2015   16:52 Diperbarui: 26 Oktober 2015   19:11 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita analisis dengan data-data kedua terminal petikemas (JICT dan TPK Koja) yang sangat gamblang.

Pertama, ketika JICT diprivatisasi  tahun 1999 valuasi terminal petikemas tersebut sebesar US $550 juta dollar. Para investor diundang untuk mengajukan penawaran. Tanggal 25 Maret 1999, Kementerian BUMN mengumumkan menjual JICT sebesar US$ 215 juta tahun tersebut. Ini ditambah lagi dengan dana inkind injection untuk pengembangan IT dan fasilitas sebesar USD 28 juta, jadi total sebesar USD 243 juta.

Pada saat diprivatisasi tahun 1999, fasilitas dan peralatan eksisting antara lain luas lahan 25 hektar (T1 & T2); 6 unit QC T1,3 Unit QC T2, 22 unit RTGC, 3 HMC. Arus bongkar muat (troughput) di UTPK tahun 1998 sebesar 1,4 juta TEUs.

Menurut Pelindo II, dalam amandemen konsesi Pelindo II akan menerima uang muka sebesar 250 juta US dollar. Jika acuannya arus petikemas (troughput), seharusnya angkanya lebih besar dari tahun 1999.

Apalagi dengan digabungkannya TPK Koja yang melayani bongkar muat 850.000 TEUs tahun 2013 lalu, serta JICT lebih dari 2,2 juta TEUs maka penggabungan keduanya sebesar 3,1 juta TEUS atau dua kali lipat dari tahun 1999 yang hanya 1,4 juta TEUs!

Dilihat dari sisi fasililas dan peralatan, kondisinya juga jauh berbeda. Luas lahan JICT dan TPK Koja 50 hektar (tanpa terminal II yang diambil alih Pelindo II), 14 Unit QC JICT dan 4 SS Panamax, serta 5 unit QC di TPK Koja, RTGC 56 unit di JICT (12 di antaranya hybrid system) dan 16 unit TPK Koja.

Dari sisi valuasi itu saja, sudah kelihatan angka sebesar 265  juta dollar yang diterima Pelindo II nilainya sangat tidak sebanding dengan USD 243 juta tahun 1999!  Seharusnya angkanya meningkat dua kali lipat mengingat pertumbuhan arus bongkar muat yang juga meningkat dibandingkan tahun 1999.

Kedua, peningkatan sewa yang disebutkan Pelindo II sebesar USD 120 juta per tahun pasca amandemen konsesi sama sekali TIDAK SEBANDING dengan pembagian deviden sebesar 49% kepada HPH. Saat ini JICT punya pendapatan USD 250 juta, sedangkan TPK Koja sebesar USD 100 juta, penggabungan pendapatan keduanya sebesar USD 350 juta. Jika Pelindo II menguasai saham 100% saat berakhirnya konsesi, maka semua pendapatan JICT dan TPK Koja akan sepenuhnya masuk kepada pemerintah tanpa perlu dibagi dengan pihak asing. 

Ketiga, pendapatan sebesar USD 350 juta (akan terus bertambah setiap tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi) masih akan bertambah lagi dengan peningkatan pendapatan dari Terminal II yang akan dioperasikan Pelindo II

Jika Pelindo II menghitung pendapatan dari Terminal II sebesar USD 27 juta, maka total pendapatan dari terminal petikemas yang masuk ke pemerintah sebesar USD 377 juta! Tidak sebanding dengan angka USD 120 juta yang akan diterima Pelindo II, yang kita tahu rental fee sebesar itu pun dibayar JICT dan TPK Koja. Bukan dibayar oleh HPH.

Keempat, kewajiban membayar USD 58 juta pada saat berakhirnya konsesi tahun 2018 tidak ada artinya dibandingkan dengan dengan pendapatan yang akan diterima PELINDO II (pemerintah) sebesar USD 337 juta selam terminal petikemas beroperasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun