[caption caption="Guntingan iklan Pelindo II di halaman 1 Harian Kompas, Senin (14/9) tentang pembangunan Terminal Kalibaru. Bulan Mei 2015 lalu, Pelindo II mengumumkah telah meminjam dana US $ 1,6M (Rp 20,8 T). Beban bunga pinjaman tersebut rata-rata Rp 1 T/tahun. Keuntungan Pelindo II tahun 2014 sebesar Rp 1,3 T."][/caption]
Kami tidak bisa memasang iklan di Harian Kompas yang untuk penempatan di halaman 1 mungkin harganya mencapai miliaran rupiah untuk satu kali tayang. Melalui Kompasiana, kami hanya ingin menuliskan fakta-fakta tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Pelindo II. Kami tak akan terpukau dengan iklan, karena semua masyarakat Indonesia juga tahu panggung mewah pinggir dermaga Pelindo II yang sudah dibuat dengan biaya ratusan juta rupiah juga tidak jadi digunakan karena pengumuman menteri urung dilakukan.
Kami ingin mengawali tulisan ini dengan pernyataan Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil yang melukiskan kinerja Dirut dengan spektakuler. Menurut mantan komisaris utama PT PPI, anak perusahaan Pelindo II, selama 6 tahun menjadi Dirut, RJ Lino berhasil meningkatkan trafik petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok dari 3 juta TEUs menjadi 7 juta TEUs.
Dilihat dari angka sungguh spekatuler, meningkat lebih dari 100%. Barangkali dalam penilaian Menteri Sofyan Djalil, kinerja RJ Lino yang luar biasa itu seperti kisah Raja Midas. Tokoh dalam mitologi Yunani yang bisa membuat semua benda yang disentuhnya berubah menjadi emas.
Tapi kemudian muncul pertanyaan. Jika peningkatan trafik petikemas sebesar itu, berapa persen pertumbuhan ekonomi Indonesia? Karena trafik petikemas alias lalu lintas barang akan selalu mengikuti naik turun pertumbuhan ekonomi. Pelabuhan tidak menghasilkan produk dalam bentuk barang, tapi melayani jasa bongkar muat barang.
Betul bahwa selama 6 tahun terakhir, RJ Lino melakukan banyak pembenahan di pelabuhan yang salah satunya dalam bentuk investasi pengadaan alat yang belakangan diduga bermasalah. Tapi jika dikatakan berhasil meningkatkan trafik petikemas sampai lebih dari 100% rasanya berlebihan. Karena yang sesungguhnya terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok ketika RJ Lino menjadi Dirut Pelindo II tahun 2009, perusahaan-perusahaan bongkar muat (PBM) yang menyewa fasilitas dermaga menjelang habis masa kontrak dengan Pelindo II. Sebagai catatan, di antara sekian banyak dermaga di Pelabuhan Tanjung Priok, tidak semuanya dikelola Pelindo II, melainkan dikelola juga oleh PBM sebagai terminal operator (TO).
Ketika tahun 2010 dilakukan pembaruan kontrak PBM-PBM tersebut, mulailah dilakukan pencatatan trafik petikemas secara menyeluruh. Pada kontrak sebelumnya, PBM-PBM tersebut tidak pernah mencatatkan laporan trafik barang kepada Pelindo II. Patut diketahui, pencatatan seluruh trafik petikemas yang dilakukan Pelindo II karena berkaitan dengan sistem sharing pendapatan 60% PBM dan 40% Pelindo II. Pencatatan seluruh trafik petikemas sesuai dengan perolehan pendapatan yang seluruhnya masuk dalam kas Pelindo II, dan selanjutnya 60% dari pendapatan itu dikembalikan lagi kepada PBM yang menjadi mitra bongkar muat. Dengan pencatatan itu, trafik petikemas seolah-olah menjadi melonjak. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Kalaupun ada kenaikan tidak se-spektakuler yang dilukiskan Menteri Sofyan Djalil. Kenaikan yang paling utama dipengaruhi pertumbuhan ekonomi serta konversi dari kargo konvensional ke petikemas.
Alih-alih sebagai Raja Midas, keberhasilan RJ Lino selama 6 tahun menjadi Dirut Pelindo II adalah menyulap cadangan kas dari Rp 3 Triliun menjadi utang Rp 22 Triliun. Investasi alat secara besar-besaran di tahun 2010, SDM dan penggunaan konsultan asing yang berlebihan membuat cadangan kas Pelindo II terus menurun. Kondisi yang memaksa Pelindo II mengajukan pinjaman Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp 1 Triliun di tahun 2012. Utang KMK Rp 1 Triliun berhasil dilunasi dari pinjaman KMK Rp 4 Triliun di tahun 2013, dan kemudian meminjam lagi sekira Rp 6 Triliun kepada Deutchse Bank untuk membayar utang Rp 4 Triliun.
Pinjaman kepada Deutchse Bank berhasil dilunasi dari hasil pinjaman obligasi sebesar US $1,6 M (Rp 20,8 T kurs Rp 13000/dollar) yang diperoleh Mei 2015 lalu. Dari pinjaman US $1,6M tersebut, yang sudah harus lunas tahun 2025 sebesar US $1,1M. Asumsi kurs Rp 15.000/dollar di tahun 2025, Pelindo II harus sudah menyiapkan Rp 16,5 Triliun, ini belum termasuk bunga pinjaman yang rata-rata mencapai Rp 1 Triliun/tahun.
Lalu berapa sebenarnya rata-rata keuntungan Pelindo II setiap tahun? Tahun 2014 lalu, laba Pelindo II mencapai Rp 1,3 Triliun, mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2,1 Triliun. Penurunan laba sepertinya masih akan terjadi di tahun-tahun berikutnya seiring beban bunga pinjaman dana obligasi. Di sisi lain, peningkatan pendapatan dari Terminal Kalibaru (New Priok Port) belum bisa diharapkan karena pertumbuhan arus petikemas tidaklah sespektakuler yang dibayangkan. Apalagi dalam pengoperasiannya New Priok Port sendiri harus berbagi keuntungan dengan mitra asing yang berinvestasi 49% saham di terminal petikemas tersebut. Maka yaang dikhawatirkan terjadi justru munculnya fenomena “saling bunuh” antarterminal petikemas.
Tak sedikit yang menduga, kondisi sulit akan dihadapi Pelindo II khususnya terkait dengan masalah keuangan. Karena itu tak mengherankan muncul sinyalemen ngototnya Pelindo II memprivatisasi JICT dan TPK Koja kepada HPH meski dengan harga murah dan waktu konsesi masih 5 tahun lagi (2019) karena kebutuhan akan sumber pendanaan untuk melunasi utang-utangnya. Seperti diketahui, tanggal 5 Agustus 2014 lalu Pelindo II mengumumkan telah menandatangani privatisasi (perpanjangan konsesi) JICT dan TPK Koja sampai tahun 2039. Kejanggalan-kejanggalan perpanjangan privatisasi tersebut sudah banyak dipaparkan. Mulai dari menabrak aturan UU Pelayaran, hilangnya pendapatan negara dari PNBP hingga potensi kerugian negara triliunan rupiah. Tapi seperti diakui Dirut Pelindo II RJ Lino, jika perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja tidak dilakukan sekarang, Pelindo II bisa mengalami kebangkrutan.
Audit Menyeluruh
Jika sejumlah komisi di DPR sepakat membentuk Pansus Pelindo II, pemerintah juga selayaknya tidak tinggal diam. Sebelum semuanya terlambat, audit menyeluruh perlu dilakukan terhadap semua kebijakan yang sudah dilakukan Pelindo II selama ini, seperti pembangunan Terminal Kalibaru, pendirian anak-anak usaha, termasuk akuisisi PT Pengerukan Indonesia (Rukindo) menjadi anak usaha Pelindo II maupun investasi-investasi yang sudah dilakukan Pelindo II dan diduga bermasalah.
Akuisisi PT Pengerukan Indonesia (Rukindo) menarik untuk dikaji mengingat sejak diambilalih Pelindo II hingga saat ini belum menunjukan kinerja yang membaik. Proyek-proyek pengerukan di sejumlah pelabuhan seperti Terminal Kalibaru, APBS Surabaya, dan lain-lainnya justru dilaksanakan oleh perusahaan pengerukan asing. Kementerian BUMN harus melakukan evaluasi, apakah pengambilalihan Rukindo oleh Pelindo II betul-betul untuk tujuan sinergi BUMN atau justru sebaliknya. Rukindo yang sebelum akuisisi (2010) masih membukukan keuntungan, selama tiga tahun terakhir terus merugi.
Begitu juga dengan investasi SDM di Pelindo II yang sempat disorot Serikat Pekerja Pelindo II melahirkan kebijakan overlaping. Jangan lupa, hingga saat ini di Pelindo II tidak ada yang menjabat Direktur SDM dan Umum (Dirsum). Selama dua tahun terakhir jabatan tersebut konon dirangkap Dirut Pelindo II RJ Lino. Kondisi ini tentu memprihatinkan mengingat pentingnya pengelolaan SDM dalam menunjang produktivitas perusahaan. Ironisnya, hingga saat ini tak sedikit pekerja Pelindo II yang seharusnya sudah pensiun masih tetap dipekerjakan mengisi posisi strategis dengan bayaran puluhan juta rupiah per bulan. Kebijakan ini menyisakan pertanyaan apakah tidak ada pekerja aktif yang bisa meng-handle pekerjaan tersebut hingga harus meng-hire pekerja yang sudah memasuki usia pensiun.
Begitu juga dengan pengeluaran uang perusahaan yang ‘tidak perlu’ seperti untuk membayar lawyer yang konon menghabiskan dana belasan miliar rupiah terkait kasus pengadaan 10 unit mobile crane yang diduga bermasalah. Pengeluaran lainnya yang juga mencapai puluhan miliar untuk membayar kolega Dirut yang ditempatkan sebagai komisaris di anak-anak perusahaan. Belum lagi penggunaan banyak konsultan asing di perusahaan tersebut.
Yang harus diingat masyarakat Indonesia, Pelindo II adalah perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki negara. Sudah banyak kasus BUMN yang kini kolaps karena salah kelola dari para pengelolanya dan pemerintah terlambat mengantisipasinya. Saat ini sedikitnya terdapat 15 BUMN yang diambang kebangkrutan, misalnya saja PT Kertas Leces, PT Merpati Nusantara Airlines, Djakarta Loyd, Merpati dan lain-lain.
Jika Pelindo II sampai bangkrut, pemerintah mau tidak mau menyuntik dana dalam bentuk PMN (Penyertaan Modal Negara). Dana PMN berasal dari pajak yang dibayar rakyat. Maukah rakyat menanggung beban perusahaan BUMN yang bangkrut sebagai akibat salah kelola?
Atau pada akhirnya jika PMN tidak dilakukan, untuk menyelamatkan Pelindo II pemerintah bisa mengkonversi utang Pelindo II ke dalam bentuk saham. Pertanyaannya, sejauh mana komitmen para penyelenggara negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pelabuhan adalah aset penting dan bagian dari kedaulatan Negara.
Sebelum semuaya terlambat, mari selamatkan Pelindo II. Sekarang!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H