Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Rizal Ramli vs RJ Lino: Babak Baru Mengurai Sengkarut Pelindo II

12 September 2015   10:01 Diperbarui: 12 September 2015   10:08 2692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli didamping Anggota DPR RI, Dirjen Bea cukai dan Dirut PT.KAI pada hari Kamis (10/9) membongkar jalan yang menutupi rel kereta api di Tj.Priok.Pembongkaran ini dimaksudkan agar arus bongkar muat peti kemas di pelabuhan menjadi lebih lancar. (foto: Efrimal Bahri)"][/caption]

“Kalau RJ Lino tidak suka, suruh telepon. Emang gue pikirin,” kata Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli tegas.

Pernyataan Rizal Ramli tersebut menanggapi pertanyaan wartawan terkait kemungkinan Dirut Pelindo II RJ Lino tidak suka dengan langkah sang menteri yang membawa bor ke Pelabuhan Tanjung Priok, Kamis (10/9), untuk menghancurkan beton yang menutupi rel kereta api yang sudah tertimbun bertahun-tahun di pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut.

Sosok yang mengaku akan menggunakan jurus kepret rajawali dalam mengurai persoalan di pelabuhan itu berharap masuknya kembali kereta api ke dermaga pelabuhan Tanjung Priok akan mempercepat proses pengiriman barang dari dan menuju pelabuhan. Selama ini hampir 100% pengiriman petikemas baik dari maupun ke Pelabuhan Tanjung Priok menggunakan sarana angkutan truk yang seringkali menyebabkan kemacetan di dalam pelabuhan sehingga menghambat kelancaran arus barang.

Kemacetan di dalam area pelabuhan itu pula yang selama ini disinyalir turut menyumbang tingginya dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Ini berbeda dengan pernyataan Dirut Pelindo II RJ Lino yang berusaha meyakinkan pemerintahan Jokowi kalau masalah tingginya dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok itu murni berkaitan dengan pelayanan dokumen yang dilakukan instansi pemerintah, mulai dari Bea Cukai, Karantina dan sejumlah kementerian teknis lainnya. Bukan pada persoalan operator pelabuhan (Pelindo II).

Sekadar menyegarkan ingatan, dwelling time adalah lamanya barang impor mengendap di pelabuhan mulai bongkar dari kapal hingga keluar dari gerbang pelabuhan (gate out). Tahun 2014, dwelling time Pelabuhan Tanjung Priok masih 5-6 hari. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 1 hari atau Malaysia yang 2-3 hari.

Catatan Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok menyebutkan dwelling time dibagi dalam tiga fase waktu: pre clearance (53%) yang melibatkan operator pelabuhan dan importir, customs clearance (27%) yang melibatkan Bea Cukai memproses dokumen serta post clearance (20%) yang melibatkan importir/pemilik barang mengeluarkan barang dari pelabuhan.

Semakin tinggi dwelling time (semakin lama barang mengendap di pelabuhan), semakin besar biaya yang harus dibayar pemilik barang. Ini disebut-sebut menjadi salah satu faktor ekonomi biaya tinggi (high cost economy) Indonesia khususnya sektor logistik. Sampai saat ini logistic cost Indonesia masih 25% dari PDB. Bandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara yang hanya 10% dari PDB. Negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat rata-rata hanya 5%-7% dari PDB.

Terkait dengan masih tingginya dwelling time, Presiden Jokowi telah memerintahkan Menko Maritim dan Sumber Daya memangkas waktu dwelling time menjadi 3 hari. Berdasarkan perintah presiden tersebut, Rizal Ramli bergerak cepat. Langkah nyata dia lakukan. Beton yang menutupi jalur rel kereta dia hancurkan. PT KAI sendiri menargetkan dalam dua bulan ke depan akses rel kereta api yang selama ini tertutupi beton sudah bisa digunakan kembali. Dengan demikian, akan terjadi percepatan pengambilan maupun pengiriman barang di pelabuhan.

Ke mana RJ Lino?

Ketika Rizal Ramli melakukan pembongkaran beton jalan yang menutupi jalur kereta api tersebut, Dirut Pelindo II tidak tampak menyertai Rizal Ramli. Sejumlah sumber mengatakan Dirut Pelindo II tersebut dipanggil Menteri BUMN terkait agenda rapat Komisi VI DPR membahas persoalan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok. Namun toh ketika RDPU dilakukan, (Kamis 10/9), RJ Lino pun tidak juga ikut mendampingi Menteri BUMN.

Sejak peristiwa penggeledahan ruang kerjanya oleh Tim Bareskrim Mabes Polri, nama Dirut Pelindo II RJ Lino tak henti-hentinya menjadi perbincangan publik. Komisi III DPR bahkan berinisiatif membentuk Pansus Pelindo II untuk mengawal proses penuntasan perkara dugaan korupsi pengadaan alat bongkar muat yang kini sedang ditangani Bareskrim Mabes Polri. Sedangkan Komisi VI DPR tegas meminta Menteri BUMN Rini Soemarno untuk memecat RJ Lino. Komisi VI pun berniat membentuk Panja untuk membahas persoalan di Pelindo II.

Begitupun dengan Komisi IX yang juga akan membentuk Panja Pelindo II untuk membahas kasus-kasus ketenagakerjaan seperti PHK sepihak yang dilakukan Dirut Pelindo II RJ Lino. Seperti diketahui, diduga karena bersikap kritis terhadap langkah RJ Lino memperpanjang konsesi, akhir Juli lalu RJ Lino memecat 2 orang pegawai JICT. Pemecatan sepihak ini kemudian dibatalkan atas desakan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian.

Sebelumnya, RJ Lino juga melakukan pemecatan sepihak kepada 33 orang pegawai Pelindo II yang juga mengkritisi kebijakan-kebijakannya dalam mengelola Pelindo II. Dari 33 orang itu, 3 orang dibatalkan PHKnya karena meminta maaf kepada RJ Lino, sedangkan 30 orang lainnya tetap berstatus PHK. Terhadap 3 orang yang meminta maaf itu pun konon RJ Lino masih memberikan sanksi lain berupa penghapusan masa kerja menjadi nol tahun.

Salah satu kebijakan yang dikritisi para pegawai Pelindo II tersebut adalah investasi pengadaan alat yang diduga bertentangan dengan GCG. Pengadaan 10 unit mobile crane termasuk yang dipersoalkan para pegawai Pelindo II. Persoalan lainnya menyangkut  perpanjangan konsesi JICT TPK Koja, simulator alat bongkar muat,  pengadaan Quay Container Crane (QCC), dan lain-lain.

Jika penasihat hukum Pelindo II Fredrich Yunadi mengatakan mobile crane tersebut beroperasi, setahun yang lalu Majalah Berita Mingguan GATRA pernah melakukan investigasi. Faktanya, ke-10 mobil crane tersebut memang tidak beroperasi. Berikut kutipan berita yang dimuat majalah GATRA edisi Mei 2014.

Pelindo II menghabiskan triliunan rupiah untuk investasi program dan peralatan mahal. Sebagian besar belum terpakai karena tidak sesuai dengan spesifikasi.

Dua mobile crane warna merah dan kuning dan rangka hitam (boom) tampak di lapangan 102, semua area akses terbatas Terminal 2, Pelabuhan Tanjung Priok. Crane itu berada di antara ratusan kendaraan roda empat siap ekspor.

“Mobile crane itu gak kepake di Priok,” kata sumber Gatra. Menurutnya, masih ada delapan unit lain di lapangan 201, Terminal 2, tidak jauh dari kapal bersandar.

Semula, 10 mobile crane itu direncanakan untuk ditempatkan di Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon, dan Jambi. Namun, ada penolakannya atas penempatannyakarena spesifikasi mobile crane itu tergolong rendah, hanya bisa mengangkat beban 20 ton dengan jarak boom ke body hanya 8 meter. Pada saat commisioning test mobil crane itu kabel bajanya putus ketika mengangkat beban 20 ton.

“Gak cocok untuk kontainer-kontainer besar,” katanya.

Karena itulah, 10 mobile crane tersebut akhirnya duiparkir di Tanjung Priok dan dibiarkan menganggur begitu saja. “Sudah setengah tahun gak pernah dipake sejak datang,” kata sang sumber. Perkiraan nilai investasi dari pembelian 10 unit mobile crane tersebut sebesar Rp 45,5 miliar.

Dokumen sebuah kantor akuntan publik (KAP) menyebutkan, perusahaan yang ditunjuk sebagai vendor pengadaan mobile crane, Guangxi Narishi  asal China, dianggap tak memiliki kompetensi dan tak memenuhi syarat administrasi. “Penyedia barang baru beroperasi kurang dari dua tahun pada waktu proses pengadaan,” bunyi audit tersebut.

Orang yang mengetahui persoalan ini mensinyalir, pegawai-pegawai Narishi adalah bekas anak buah RJ Lino semasa bekerja di China. Akibat kejanggalan ini pula, bagian keuangan Pelindo II enggan memproses pembayaran karena ada penalti yang seharusnya dikenakan namun pihak vendor tidak bersedia.

Selain 10 mobile crane tadi, tiga unit Quay Container Crane (QCC) juga bermasalah. Rencananya, QCC tadi dipakai di tiga cabang pelabuhan Pelindo II: Pelabuhan Panjang (Lampung), Pelabuhan Boom Baru (Palembang) dan Pelabuhan Pontianak. Pengadaan yang langsung dilakukan di pusat itu membuat otoritas ketiga pelabuhan hingga kini enggan menggunakannya. Nilai investasi pengadaan QCC diperkirakan mencapai 176 miliar.

Berdasarkan audit BPKP, pokok masalah pengadaan QCC antara lain soal perbedaan kajian cabang dengan kajian operasional Direktorat Komersial dan Pengembangan Usaha. Audit BPKP juga menyebutkan, kontrak sudah ditandatangani sementara  proses penunjukan masih berlangsung. Semestinya sesuai  dengan aturan dilakukan lelang tapi dipaksa melalui penunjukan langsung. Adapun perubahan spek dari semula single lift ke twin lift, bermula dari penawaran HDHM saat proses penawaran harga single lift bersama vendor yang lain (ZPMC). Justifikasi perubahan spek single ke twin lift tidak memadai (dipaksakan).

Investigasi yang sama juga pernah dilakukan KORAN TEMPO, awal September lalu. Dalam investigasinya, KORAN TEMPO menyebutkan sejumlah data dan kesaksian soal ketidakberesan pengadaan 10 mobile crane tak bisa tertutupi. Pengadaan crane berkapasitas 25 ton dan 65 ton ton tersebut sejak awal bermasalah. Delapan pelabuhan yang ditawarkan sama sekali tak membutuhkannya. Berikut ini kutipan berita KORAN TEMPO tentang keberadaan 10 mobile crane yang mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok.

Hasil audit pengadaan crane senilai Rp 45,65 miliar itu juga menunjukkan sejumlah keganjilan. Berdasarkan dokumen hasil audit sebuah kantor akuntan publik yang didapat dari sumber Tempo terdapat sejumlah temuan pengadaan crane oleh perusahaan vendor asal China, Guangxi Century Equipment Co.Ltd.

Temuan itu diantaranya jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang melampaui waktu yang ditetapkan dalam perjanjian. Seharusnya pekerjaan selesai pada 4 Desember 2012.

Namun, sampai audit dilakukan, seluruh mobile crane yang dipesan belum diterima oleh cabang-cabang yang direncanakan akan menggunakan alat tersebut. Demikian hasil laporan audit Dokumentasi langkah-langkah evaluasi mingguan setelah keterlambatan terjadi juga tidak ada.

Selain itu, bank garansi jaminan pelaksanaan proyek yang diajukan Guangxi ternyata tidak berlaku. Manajemen Pelindo II telah menerima bank garansi yang dikeluarkan oleh Bank of China pada 20 Maret 2012. Nilai bank garansi itu adalah Rp 2,28 miliar atau 5% dari nilai proyek yang berlaku sampai tanggal sertifikat commisioning test dandurability text atau 1 Desember 2012, mana yang terlebih dahulu berlaku.

Kepala Biro Pengadaan Pelindo II mengirim surat pada Bank of China pada 22 Maret 2012 untuk meminta konfirmasi atas kebenaran bank garansi tersebut. "Namun, dalam berkas-berkas dokumen yang diberikan pada auditor, tidak terdapat jawaban pada Bank of China atas permintaan konfirmasi tersebut," Demikian laporan itu menyatakan.  

Temuan lainnya cukup bikin geleng-geleng kepala. Ternyata Guangxi baru beroperasi kurang dari dua tahun pada waktu proses pengadaan yang diselenggarakan. "Karena dalam laporan posisi keuangan per 1 Desember 2012 angka seluruh saldo awal, baik aset, liabilitas maupun ekuitas bernilai 0". 

Berbagai temuan itu berakibat pada dua hal. Pertama, PT Pelindo II kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari pengoperasian mobile crane sejak kendaraan tersebut seharusnya diserahterimakan oleh penyedia barang dan siap dioperasikan.

Selain itu, ketidakcermatan dalam pengawasan bank garansi menimbulkan potensi resiko pada saat pencairan bank garansi. "Dengan sudah tidak berlakunya bank garansi untuk jaminan uang muka, Pelindo II mengalami potensi kerugian senilai uang muka yang dibayarkan, karena tidak ada jaminanyang melindungi pembayaran uang muka," tulis laporan audit.

Mengurai Sengkarut

Keberanian Menko Maritim Rizal Ramli mengoperasikan kembali jalur kereta api di Pelabuhan Tanjung Priok sepertinya akan menjadi babak baru konflik dengan Dirut Pelindo II RJ Lino. Karena seperti diketahui, Pelindo II saat ini tengah berusaha meyakinkan pemerintah untuk membangun waterway Canal Bekasi Laut (CBL) Cibitung yang akan menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan kawasan industri Bekasi. Jika angkutan petikemas dilakukan kereta api, bisa dipastikan pembangunan waterway CBL yang diperkirakan menelan biaya Rp 1 triliun itu tidak diperlukan lagi. Optimalisasi pengangkutan petikemas dengan kereta api memudahkan angkutan tersebut ke destinasi kawasan industry baik dry port Jababeka maupun Gedebage Bandung.

Kita tunggu saja bagaimana kisah sengkarut Pelindo II ini berakhir. Apakah rencana pemerintah mengaktifkan kembali jalur KA di pelabuhan akan berjalan mulus atau akan banyak kendala yang dihadapi, termasuk tantangan dari pembangunan waterway CBL yang direncanakan Pelindo II? Pun, sejauh mana pula penyelesaian kasus dugaan korupsi pengadaan alat bongkar muat di Pelindo II yang kini sedang ditangani Bareskrim Mabes Polri dan melibatkan Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.

Untuk mengurai semua persoalan itu memang membutuhkan komitmen semua pihak. Semua harus memiliki tekad yang sama untuk bersih-bersih di pelabuhan. Tanjung Priok menjadi target awal pembenahan, selanjutnya pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia. 

Mengurai sengkarut di Pelabuhan Tanjung Priok bikin pusing pala Barbie….***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun