Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Menelisik Dugaan Korupsi Pelindo II: Mentok di KPK, Terungkap di Kepolisian Negara

5 September 2015   15:49 Diperbarui: 5 September 2015   20:25 2503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (SP JICT) yang sudah setahun terakhir ini berseteru dengan Dirut Pelindo II RJ Lino termasuk yang menyayangkan pencopotan Komjen Buwas sebagai Kabareksrim.

Meski demikian, Ketua Umum SP JICT Nova Hakim tetap optimis Kabareskrim yang baru, Komjen Anang Iskandar, melanjutkan penuntasan dugaan kasus-kasus korupsi di Pelindo II.

Menurut Nova, aduan Dirut Pelindo II RJ Lino kepada Menteri dan Presiden yang kemudian dijawab dengan pencopotan Buwas bisa menimbulkan skeptisme penegakan hukum hanya karena Lino merasa terusik dan gerah kantornya digeledah. Bahwa membangun iklim investasi dan menjaga iklim kondusif memang perlu namun seharusnya tidak mengalahkan penegakan hukum.

SPJICT sempat mengkhawatirkan penggantian Buwas berdampak terhadap penyidikan kasus-kasus korupsi dan pencucian uang di Pelindo II terancam mandek. Jika itu terjadi, sangat mungkin kekuatan mafia kembali bekerja menghancurkan sendi-sendi fundamental negara RI termasuk pelabuhan sebagai gerbang ekonomi bangsa.  

"Penggeledahan Pelindo II bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap perpanjangan konsesi asing di JICT yang cacat hukum dan merugikan negara. Kedaulatan negara sesungguhnya telah dikorbankan demi ambisi Dirut Pelindo II menjual aset bangsa yang sangat mampu dikelola mandiri," ungkap Nova Hakim seperti dikutip dalam siaran persnya, Jumat (4/9) lalu.

Karena itu SPJICT mendesak pemerintah untuk tetap membatalkan perpanjangan konsesi tersebut yang diduga berpotensi merugikan keuangan negara puluhan triliun rupiah hingga berakhirnya masa konsesi tahun 2039. Potensi kerugian negara tersebut berangkat dari pendapatan JICT setiap tahun yang rata-rata sebesar US $160 juta dollar. Dengan setoran modal Hutchison Port Holdings (HPH) hanya US $215 juta dan imbal saham 49%, investasi tersebut jauh lebih rendah dari privatisasi JICT tahun 1999 sebesar US $243 juta dollar. Adalah mengherankan jika nilai perusahaan yang sangat menguntungkan justru menjadi lebih rendah dibandingkan dengan 15 tahun lalu.

Rendahnya nilai tersebut tidak lepas dari valuasi asset yang dilakukan Deutchse Bank, konsultan yang ditunjuk Direksi Pelindo II untuk perpanjangan konsesi JICT.  Padahal, valuasi asset yang dilakukan FRI, konsultan independen yang ditunjuk Dewan Komisaris Pelindo II, menyebutkan setoran modal HPH sebesar US $215 itu hanya setara dengan 25% saham JICT.  Perhitungan FRI kemudian dikoreksi kembali  PT Bahana Sekuritas yang ‘mendukung’ perhitungan Deutchse Bank.  Tidak sedikit pihak yang mempertanyakan keabsahan Deutchse Bank sebagai konsultan dalam perpanjangan konsesi JICT mengingat bank tersebut merupakan kreditur Pelindo II. Begitu juga dengan independensi Bahana Sekuritas yang juga dipertanyakan karena salah satu direksi Pelindo II berasal dari perusahaan tersebut. 

Di samping itu, pembatalan perpanjangan konsesi tersebut sebagai bentuk kepatuhan hukum korporasi terhadap UU No 17/2008 tentang Pelayaran.  Dalam undang-undang jelas ditegaskan privatisasi pelabuhan baru bisa dilakukan setelah operator pelabuhan (Pelindo II) memperoleh konsesi dari Kementerian Perhubungan. Pelindo II tidak bisa serta-merta melakukan perpanjangan  konsesi tanpa adanya ijin dari kementerian tersebut. Begitu juga dengan surat Menteri BUMN yang mesnyaratkan perpanjangan konsesi JICT patuh pada aturan perundang-undangan sebagaimana yang diminta Kementerian Perhubungan.

Permintaan Kementerian Perhubungan agar Pelindo II mengurus ijin konsesi karena hal tersebut berkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Artinya, jika Pelindo II abai mengurus ijin konsesi maka negara berpotensi kehilangan pendapatan dari sektor PNBP. Padahal, Pelindo II sendiri sudah menandatangani perpanjangan konsesi dengan HPH sejak 5 Agustus 2014 lalu. Dengan demikian, selama satu tahun terakhir negara kemungkinan sudah dirugikan karena perpanjangan konsesi tersebut tanpa ijin dari Kementerian Perhubungan.

Kita berharap berbagai persoalan yang muncul di Pelindo II baik menyangkut dugaan korupsi maupun perpanjangan konsesi segera dituntaskan pemerintah. Hal ini penting dilakukan mengingat pelabuhan merupakan aset strategis bangsa sebagai garda depan Poros Maritim Indonesia. Komitmen itu perlu ditunjukan dengan bersikap tegas menindak para pihak yang diduga menjadi penghambat dari terwujudnya program tersebut. Siapapun orang atau kelompoknya: Sikat Habisss!!!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun