Namun demikian, Bareskrim Polri meyakini kasus tersebut tetap masuk dalam ranah pidana karena sudah terbukti adanya unsur kerugian negara. Di samping itu, mangkraknya alat-alat bongkar muat yang sudah dibeli namun tidak digunakan sejak tahun 2013 karena memang 8 cabang pelabuhan yang disebut-sebut membutuhkan mobile crane tersebut diduga tidak membutuhkannya. Ironisnya lagi, 10 mobil crane yang semestinya dikirim  ke 8 pelabuhan, namun hanya didrop Guangxi Narishi Century Equipment Co. Ltd sebagai vendor di Pelabuhan Tanjung Priok. Adanya addendum perubahan peruntukan ke Pelabuhan Tanjung Priok diduga hanya mengada-ada sebagai justifikasi keberatan vendor mengirim mobile crane ke 8 cabang pelabuhan sebagaimana tertuang dalam kontrak induk. Pertanyaannya, kenapa Pelindo II tidak bisa memaksa atau terkesan lemah di mata vendor sehingga alat mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok?
Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan mobile crane tersebut mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok. Pertama, ke-8 cabang pelabuhan diduga memang tidak membutuhkan dan dari awal tidak mengusulkan alat tersebut dalam usulan investasi. Spesifikasi mobile crane tersebut tidak cocok untuk kegiatan pelabuhan. Kedua, Pelabuhan Tanjung Priok sebagai tempat alat tersebut didrop tidak membutuhkan alat tersebut sehingga mobile crane nongkrong di Pelabuhan Tanjung Priok sejak tiba hingga saat ini.Â
Bareskrim sendiri menyebutkan dari sisi harga pembelian lebih mahal dari spesifikasi alat yang semestinya.
Sempat memunculkan pro dan kontra hingga Bareskrim menetapkan Direktur Teknik FN sebagai tersangka, pada saat yang hampir bersamaan istana mengeluarkan Keppres pengangkatan Komjen Buwas sebagai Kepala BNN, yang berarti mencopot jabatannya sebagai Kabareskrim.
Tak pelak, pencopotan Komjen Buwas menimbulkan berbagai tanggapan miring dari masyarakat. Sejumlah akun media sosial yang selama ini menyoroti dugaan korupsi di Pelindo II langsung mengaitkannya dengan cerita perkongsian bisnis antara Wapres Jusuf Kalla dan Dirut Pelindo II RJ Lino.
Seperti diketahui, sejak tiga tahun silam Armadeus Aqcuisitions, kelompok usaha yang sahamnya dimiliki putra-putri RJ Lino, membeli 46,6% saham PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan yang didirikan keluarga Wapres JK.Â
Sejauh mana hubungan antara kongsi bisnis tersebut dengan kepentingan-kepentingan para pihak di pelabuhan-pelabuhan yang dikelola RJ Lino, perlu pembuktian lebih lanjut. Yang jelas, sebelum menjadi Dirut Pelindo II, RJ Lino adalah Project Director Pelabuhan AKR Guangxi China.
Sejumlah rumor di media sosial menyebutkan hingga kini AKR berperan penting baik dalam memasok BBM di pelabuhan maupun pengadaan alat-alat bongkar muat yang belakangan diketahui bermasalah. Konon jabatan Project Director yang disandang RJ Lino saat di Pelabuhan AKR Guangxi China tersebut atas rekomendasi Ahmad Kalla, teman satu almamater RJ Lino ketika kuliah di Bandung.
Perusahaan AKR ini pula yang disebut-sebut banyak membantu Bukaka Teknik Utama menalangi kewajiban kepada para investor ketika perusahaan tersebut delisting dari bursa saham tahun 2006. Ketika tahun 2008, Kementerian BUMN merencanakan pergantian direksi di sejumlah BUMN, RJ Lino direkomenasikan menjadi Dirut. Menteri BUMN saat itu adalah Sofyan Djalil yang belakangan ketika tidak lagi menjabat sebagai menteri, ditunjuk Pelindo II menjadi Komisaris PT Pengembang Pelabuhan Indonesia (PPI), anak perusahaan Pelindo II.
Menanggapi carut-marut pasca pencopotan Buwas yang diduga karena melakukan penggeledahan Pelindo II, DPR pun bereaksi dan langsung berinisiatif membentuk Pansus Pelindo II yang disebut-sebut akan melibatkan Komisi III, Komisi V, Komisi VI serta Komisi XI.
Usut Privatisasi