Ramadan bukan bulan biasa. Ia merupakan bulan istimewa secara syariat. Didalamnya ada sejumlah ritus religiusitas seperti puasa dan ibadah-ibadah pendukung lainnya. Pahalanya tak tanggung-tanggung, tak terhingga.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah Swt berfirman yang artinya bahwa "Berpuasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya". Secara kultural, Ramadan itu unik dan masing-masing daerah mempunyai tradisi sebelum, ketika, dan pasca Ramadan.
Muaranya adalah kegembiraan pada saat lebaran tiba nanti. Salah satu tatar yang memiliki kultur perayaan di Ramadan adalah tanah Parahyangan, yang secara geografis terletak di Jawa Barat, dengan mayoritas penduduk dari Suku Sunda. Di bawah ini adalah beberapa diantaranya.
1. Nyekar
Dua atau sehari sebelum Ramadan, pemakaman umum menjadi penuh. Saya melintas di sebuah pemakaman umum di daerah Subang, yang kebetulan dekat rumah. Motor berjejer. Beberapa mobil terparkir agak sembarang. Dari plat nomornya, ada juga yang berasal dari wilayah yang agak jauh seperti Jakarta dan Bandung. Nampak juru parkir sedang bertugas.
Di depan pintu gerbang pemakaman, penjual bunga terlihat sibukku lagi marema. Ya, nyekar adalah ritus awal menjelang Ramadan dagang di Priangan. Anggota keluarga yang masih hidup mengharuskan datang ke makam orang tua dan keluarga yang sudah wafat.
Menaburkan bunga. Memanjatkan doa seraya anggota keluarga yang sudah tiada diampuni dan dirahmati oleh Allah Swt. Juga sebagai penanda atau "lapor" bahwa keluarga yang masih hidup baik-baik saja dan mesti terlihat baik-baik. Sebagian orang mungkin meyakini bahwa mereka yang sudah meninggal memonitor yang masih hidup.
Menurut Andre Moller dalam Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar bahwa bagaimanapun juga, pergi nyekar sebelum Ramadan berdasarkan keinginan orang Islam untuk memasuki bulan penuh berkah ini dalam keadaan bersih dan suci, dan juga (tentunya) untuk meringankan beban-beban anggota-anggota keluarga yang telah wafat dengan doa.
2. Munggahan
Inilah tradisi orang Sunda saat bulan puasa hendak mengetuk. Munggahan alias kumpul-kumpul sambil makan-makan. Biasanya satu lingkaran pertemanan. Satu server dan kesamaan chemistry sehingga munggahan bisa guyub dan akrab. Walaupun begitu, bisa saja munggahan dilakukan karena satu komunitas pekerjaan, satu grup sepeda atau mancing, grup WA, alumni sekolah dari semua tingkatan.
Munggahan boleh saja dilakukan di rumah salah-satu anggota, namun tak jarang karena alasan kepraktisan dilaksanakan di sebuah rumah makan yang telah disepakati. Tentunya dengan membayar sejumlah uang, karena hidup adalah udunan. Sebelum masuk ke acara utama yakni makan-makan, ngobrol-ngobrol ringan dahulu yang kemudian diakhiri mushafahah. Semacam maaf-maafan sebelum Ramadan agar menghadapi bulan suci bersih dari dosa kepada sesama manusia.
Oh ya, terkadang kalau ada pimpinan atau bos yang baik memberikan tunjangan munggah. Kami saat itu diberi satu kilogram daging sapi dari kantor, sebagai ganti uang munggah katanya.
3. Ngabuburit
Jika diartikan, ngabuburit bisa berarti jalan-jalan sore menjelang datang berbuka menunggu adzan magrib berkumandang. Merujuk pada Kamus Basa Sunda yang dikumpulkan oleh R.A Danadibrata, ngabuburit adalah "Ngadagoan burit dina bulan puasa bari jalan-jalan" (menunggu sore saat bulan puasa sambil berjalan-jalan). Ya mungkin semacam kegabutan namun penuh berkah dan syariah. Hahaha. Waktunya biasanya dipilih setelah ashar.
Mengitari pasar atau pusat takjil adalah yang utama. Memburu makanan yang manis-manisnya ataupun makanan berat. Keduanya sama penting. Tempat seperti alun-alun dan masjid agung kabupaten akan lebih ramai dari biasanya.
Dua ikon ini masih menjadi jujugan utama. Karena di dua tempat itulah berkumpul beragam makanan dari mamang-mamang penjual yang bisa dibeli. Masjid agung yang baik juga menyediakan takjil.Â
Kalau beruntung, makanan berat juga biasanya tersedia. Tak hanya dua ikon itu, namun di daerah kami jalan jembatan penyeberangan yang melintas di atas jalan tol Cipali juga menjadi destinasi utama. Sekadar duduk-duduk diatas motor sambil melihat-lihat mobil yang sedang adu cepat rasanya menyenangkan.
Karena banyaknya yang nongkrong di atas jembatan penyeberangan itu makan berlaku pula filisofi ada gula ada semut. Penjual makanan ringan dan takjil pun menyemut. Walaupun agak berbahaya juga karena mengganggu perjalanan mobil lokal yang berdesakan di jalan jembatan itu.
4. Tarawehan dan Tadarusan
Kalau tarawih dan tadarus adalah laku syariat. Maka tarawehan dan tadarusan adalah laku kultural. Di Priangan, taraweh malam pertama kemungkinan besar pasti membludak.Â
Semacam euforia bahwa Ramadan mesti dihadapi dengan kesungguhan. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan para pemuda datang secara antusias. Berkoko. Sarungan. Berkopiah. Bermukena. Beberapa ada yang baru.
Setelah salat Isya diselingi ceramah sebelum tarawih. Mungkin kira-kira sepuluh menitan. Isinya kontekstual berkaitan bulan Ramadan. Dilanjut dengan salat Tarawih. Sepanjang yang saya ikuti, di rata-rata wilayah Priangan, jumlah rakaat tarawih berkisar ada yang 11 dan atau 23 rakaat sudah ditambah witir.Â
Hal ini karena-salah satunya-pengaruh mengakarnya sejumlah organisasi seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Nahdlatul Ulama.
Jamaah silakan memilih masjid yang disukainya. 11 rakaat oke. 23 rakaat bagus. Tak ada yang harus diributkan. Karena persoalan fiqh adalah wilayah ijtihadi yang memungkinkan perbedaan pendapat sepanjang ada dalil yang bisa dihadirkan. Setelah tarawehan biasanya dijadwalkan tadarusan yakni membaca Qur'an. Bisa bersama-sama atau sendiri-sendiri dengan target 30 juz Al Qur'an.
Atau bisa juga, dengan merujuk pada Clifford Geertz, yang menulis Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, agaknya tak jauh beda dengan di Jawa Barat, para peserta tadarus duduk di sepanjang bangku, masing-masing diberi satu juz untuk dibaca dan kemudian setiap orang mengaji sekaligus sehingga terdengar hiruk pikuk riuh bahasa Arab yang salah ucap dan dengan demikian menamatkan seluruh Qur'an dalam satu jam atau lebih.
5. Ngadulag dan Takbiran
Dua kegiatan inilah sebagai gong dari berakhirnya  Ramadan dan masuk ke bulan Syawal. Mau menunggu sidang isbat atau mengikuti keputusan Muhammadiyah sama saja. Tokh, lebaran sama-sama 1 Syawal. Hahaha.
Bagi anak-anak di Priangan khususnya, malam lebaran adalah malam kegembiraan. Persis setelah buka puasa di hari Ramadan terakhir segera bergegas ke masjid terdekat. Mengumandangkan takbir dan bisa bermain sepuasnya di malam itu. Terkadang sampai tidur masjid sampai subuh.
Apalagi kalau di masjid itu masih ada beduk atau dalam bahasa Sunda disebut dulag. Ngadulag berarti memukul beduk bertalu-talu sambil mengucap takbiran. Beberapa tahun belakangan, tradisi takbir keliling atau ngadulag sambil berkeliling kota masih ada. Konon, karena dianggap bisa membahayakan maka tradisi tersebut dihentikan.
Salah satu tradisi yang sudah agak lama-karena lumayan berbahaya-tidak ada saat takbiran adalah nyeungeut mercon atau membakar petasan. Macam-macam jenisnya. Ada mercon cengek.Â
Mercon cabe. Mercon roket, air mancur dan lain-lain. Biasanya dinyalakan dengan obat nyamuk yang ditempel pada sumbu mercon, atau rokok menyala jika yang menyundutnya orang yang sudah dewasa.
Itulah sejumlah tradisi yang ada di tatar Priangan saat Ramadan. Dan tentunya setiap daerah di Indonesia mempunya kebiasaan yang dilakukan saat Ramadan menghampiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H