Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

J&T Express di Era 4.0 dan Saat Konsumen Berharap Lebih dari "Cukup"

22 Desember 2019   21:44 Diperbarui: 22 Desember 2019   22:05 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang kawan pernah bercerita perihal usaha orang tuanya. Ibunya adalah seorang pemilik sejumlah toko pakaian di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Ibunya mengeluhkan sepinya omset penjualan yang cenderung terus menurun sejak lima tahun terakhir. Padahal, jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, omsetnya tergolong stabil dan besar. Ini berbeda dengan hari-hari belakangan ini yang tergolong lesu. Orang-orang seperti tak mau untuk berbelanja baju dan semacamnya.

Dalam hari-hari biasa, ujar kawan saya itu, jarang sekali orang-orang membeli kebutuhan sandang. Hanya menjelang momen-momen tertentu saja toko milik ibunya itu dikunjungi banyak calon pembeli, seperti menjelang lebaran, natal, dan tahun baru saja. Di luar hari-hari itu, datar-datar saja tanpa ada lonjakan yang berarti. 

Saya hanya mendengarkan keluh-kesah kawan saya itu. Dalam hati, saya seperti mengiyakan fenomena yang dikisahkan kawan saya itu ihwal usaha toko baju orang tuanya. Namun, apa yang sedang terjadi sebenarnya? Apakah daya beli masyarakat sedang turun atau tren belanja online yang sedang marak?

Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul "The Great Shifting" pernah menelisik bahwa 40% kios yang ada di Glodok sudah tak lagi beroperasi. 

Glodok yang pernah menjadi primadona pusat penjualan barang elektronik, capaian kinerjanya pun terus turun. Tak hanya di Glodok sebetulnya, tambah Rhenald, hal ini juga terjadi di Harco Mangga Dua, ITC Roxy Mas, ITC Cempaka Mas, Mangga Dua Mall, dan Metro Pasar Baru juga mengalami hal yang sama.

Mengapa hal di atas bisa terjadi? Menurut Rhenald Kasali bahwa fenomena seperti itu bukan karena daya beli yang turun melainkan selera masyarakat yang berubah. Mereka tetap berbelanja namun dengan cara yang lain. Sebagian dari mereka tak lagi belanja dengan cara yang tradisional. 

Mereka masih berbelanja namun dengan cara-cara yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Hal ini seiring dengan-kalau kita melihat iklan di televisi-maraknya sejumlah marketplace yang menjajakan dirinya sebagai sebuah platform belanja yang menawarkan kepraktisan dan kemudahan. 

Orang tak lagi harus menghabiskan waktu hanya untuk sekadar membeli satu dua barang, serahkan semuanya pada platform belanja dan tunggulah barang itu di rumah atau kantor, karena kurir-lah yang akan mengantarkannya. Kira-kira begitu.

Dari hal tersebut, kita bisa melihat bahwa di balik turunnya penjualan offline, ternyata ada sebagian penjualan online yang meningkat drastis dengan ditandai melonjaknya bisnis pengiriman barang yang menggunakan jaringan intracity. Inilah berkah dari bisnis online. 

Perantara barang dari produsen ke konsumen merupakan peluang yang tak bisa enteng. Dan peluang inilah yang kemudian banyak dilirik sejumlah layanan logistik pengantaran dan pengiriman barang.

Salah satu layanan yang menangkap peluang jasa logistik antar kirim barang itu adalah J&T Express. Ini merupakan efek dari cara belanja yang berbeda dengan sebelumnya. Walhasil, data terakhir yang penulis dapat di akun instgram J&T Express menyebutkan bahwa di tahun 2019 ini, J&T Express telah mencatat 71% barang yang dikirimkannya adalah berupa paket yang berasal dari sejumlah online seller marketplace ternama yang ada di Indonesia.

Walaupun usianya belum lagi lima tahun (lahir pada Agustus 2015), J&T Express telah menunjukkan kinerja sebagai salah satu perusahaan pengiriman barang yang sangat mengesankan selaras dengan inovasi logistik di era 4.0. 

Di usianya yang keempat bulan Agustus 2019 kemarin, J&T Express melakukan inovasi dengan penambahan infrastruktur bisnisnya yakni MegaHub J&T Express yang dibangun di atas lahan 4,5 hektar yang direncanakan mulai beroperasi pada bulan November atau Desember 2019. Hal ini untuk menunjang kinerja bisnis logistik yang kompetitif di era industri 4.0.

Di awal kemunculannya, J&T Express telah menggebrak pemain lama di bidang antar kirim barang. Ia hadir dengan sebuah pembeda yang mungkin saja membuat ketar-ketar bagi yang sudah lama di bisnis ini. Saya sempat mengintip bagaimana sih awal mula J&T Express. 

Saya lihat di akun Instagram J&T Express yang mengudara pertama kali sejak 11 November 2015. Dalam postingan di Instagramnya tanggal 3 Desember 2015, J&T Express telah menawarkan empat keunggulan bagi calon konsumennya. Empat keunggulan itu adalah bahwa paket bisa dijemput di tempat, menggunakan aplikasi handphone, keberadaan paket yang bisa dilacak, serta pelayanan ramah dan cepat.

J&T Express jauh-jauh hari telah menyadari bahwa konsumen era milenial hari ini tentu saja amat berbeda dengan konsumen era tradisional. Konsumen milenal di era logistik 4.0 adalah masyarakat yang sangat kritis, cerewet (dalam pengertian yang positif), dan langsung bisa memberikan penilaian secara real time jika mereka tidak diperhatikan atau bahan dikecewakan. Bahkan mungkin saja kekecewaan terhadap sebuah produk barang atau jasa akan mereka tumpahkan di media sosial yang bisa terbaca oleh semua netizen di mana saja berada. 

Akibatnya bisa saja viral. Ya, kalau viralnya positif, ini bisa berdampak baik bagi J&T Express, tetapi kalau viralnya bernada negatif, tentu saja ini akan menjadi preseden buruk bagi sebuah pelayanan jasa yang sedang naik daun dan tercitrakan serta berintegritas bagus.

Empat keunggulan yang ditawarkan itu adalah sebentuk terobosan dari yang selama ini pernah ada. Bagi J&T Express, seorang konsumennya itu diasumsikan tak punya waktu. Makanya ia menawarkan jemput di tempat, sehingga konsumen tak usah berlelah-lelah menuju counter J&T Express. 

Konsumen hanya tinggal menyiapkan barang yang akan dikirim, dan kemudian pihak J&T Express-lah yang akan mengurusnya. Seperti terkesan sepele dan remeh-temeh. Padahal, di era logistik 4.0 inilah, pendekatan personal itu sangat penting.

Di tengah serba ketergesa-gesaan akibat revolusi teknologi yang terus berjalan cepat, cara yang manusiawi dan melayani konsumen secara langsung adalah sebuah sebuah kemewahan. Pada titik inilah, J&T Express ingin mengembalikan pada kredo yang sering diucapkan dalam transaksi ekonomi bahwa pembeli atau konsumen adalah raja. 

Hal seperti ini sempat atau bahkan mungkin sudah hilang. Jemput paket di tempat adalah sebuah dedikasi menghargai pada seorang konsumen. Bukan karena konsumen itu membayar sebuah harga untuk jasa pengiriman barang, melainkan bahwa konsumen itu adalah seorang calon loyalis pengguna jasa J&T Express dan itu mesti dijaga loyalitasnya demi keberlangsungan J&T Express itu sendiri. Karena perusahaan jasa akan bisa bertahan karena pelayanannya yang prima dalam segala hal.

Setelah jemput paket di tempat, maka seorang konsumen berhak mendapatkan informasi di mana keberadaan paket tersebut. Kenapa hal ini perlu diketahui oleh konsumen yang menggunakan layanan J&T Express? Karena dalam prinsip-prinsip industri 4.0 telah disepakati bahwa transparansi informasi dan bantuan teknis merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindarkan begitu saja. Bahkan wajib adanya. 

Bahwa pelanggan atau konsumen di era informasi dan digitalisasi ini tak hanya sebagai penikmat produk atau jasa, melainkan produsen layanan itu hendaknya membuat model hubungan dengan pelanggan secara lebih dalam. Atau dengan kata lain bahwa pelanggan hari ini ingin berharap lebih dari sekadar "cukup".

Maka dalam hal ini, J&T Express membuat aplikasi  yang bisa melacak keberadaan paket secara cepat dan real time. Sekadar catatan bahwa aplikasi J&T Express di Playstore sudah diunduh kurang lebih satu juta unduhan dan 45 ribu ulasan. Sejauh ada sinyal di telepon genggamnya, maka konsumen bisa mengetahui sudah sampai di mana paket yang ia kirim. 

Inilah sebuah era logistik 4.0 di mana otomatisasi, pertukaran data terkini, komputasi awan, internet of things, dan kecerdasan buatan saling berkelindan untuk memberikan layanan maksimal bagi konsumen. Dan J&T Express telah melakukannya serta terus akan melakukan kreatifitas teknologi digital lainnya.

Ya, penggunaan multi platform merupakan cara yang tak bisa dielakkan dalam industri logistik 4.0. Karena sifat dari konsumen di era digital tadi yang cenderung kritis dan bebas berpendapat di media sosial, maka ia ingin mendapat layanan yang instan dan personal. Misalnya, kalau paket tak kunjung tiba atau ada keluhan lain, maka ia dengan mudah bisa bertanya di Instagram, Twitter, Facebook, surat elektronik, website, maupun call center J&T Express. Dan ini tak bisa dibiarkan terlalu lama. Semua keluhan itu harus segera mendapatkan jawaban dan kepastian. Karena dengan kepastian itulah maka konsumen akan merasa puas dan lega.

Itulah saya kira kata kunci dari logistik di era industri 4.0. Bahwa konsumen ingin dilayani lebih dari sekadar "cukup" tak hanya berpedoman pada standar operasional prosedur belaka. J&T Express dengan mengoptimalkan platform di semua media sosial sejauh ini telah melakukannya dan akan terus berbenah agar lebih baik lagi. Rasa-rasanya tak lama lagi visi J&T Express menjadi perusahaan express terbesar di Asia Tenggara akan segera terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun