Mohon tunggu...
asep abdillah
asep abdillah Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Membaca dan menulis kesukaan saya sejak kecil. Masa remaja terganggu kebiasaan baru main bola dan futsal. Sekarang ingin kembali meneruskan hobby lama, menulis,... Gasspolll...! Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Seorang Santri

23 Maret 2023   16:22 Diperbarui: 23 Maret 2023   17:49 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lika-liku hidup di pesantrean zaman ‘baheula, sangat mengesankan. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Selalu menjadi cerita dan kesan tersendiri. Menjadi sebuah  cerita. Santri milenial yang hidup dizaman sekarang dibandingkan dengan santri dibawah Tahun 90 an jauh berbeda. Dari substansi aktifitas keseharian dan metode  pengajian juga sekolah mungkin ada persamaan. Tapi dalam cara dan gayanya yang  berbeda. Bahkan dalam cara berpakaian pun sudah jauh berbeda dengan santri zaman dahulu. Ciri khas sarung dan peci bagi santri laki-laki adalah menjadi ‘trade-mark’nya seorang santri putra atau ikhwan. Santriwati atau akhwat, lekat dengan busana muslim yang baju gamis dipadu dengan samping atau sarung perempuan khusus dengan jilbab atau kerudung yang panjang. Santri zaman now, apalagi yang mengusung pesantren modern, laki-laki berbaju putih, celana panjang hitam dan berjas, berdasi pula. Seperti konsep di pesantren-pesantren modern. Pondok Pesantren Gontor Jawa Timur adalah salah satu pesantren modern yang ditiru oleh para banyak alumninya. Mereka mengadopsi metodologi pembelajaran di pesantren itu, dengan ciri khas pengebangan kebahasaan. Bahasa Arab dan Inggris menjadi pokok di pesantren-pesantren yang dikelola alumni Gontor ini. Para alumninya menyebar diseluruh pelosok tanah air.

Santri zaman dulu? Cukup sarungan dengan peci hitam dan baju bersih sopan. Diutamakan lengan panjang jika sedang mengaji. Seragam adalah hal yang langka dan isimewa saat itu. Ciri khas pesantren  lainnya adalah ‘ngaliwet’. Kebiasaan ngaliwet adalah  menanak  nasi dengan alat menanak' kastrol ' yang berasnya adalah urunan dari para ‘pemasok modal’, yang mau ikutan makan bersama. Biasanya satu ‘entik’ kami menyebutnya, atau satu gelas perorang. Jika kapasitas kastrol untuk 5 orang maka akan terkumpul 5 entik beras untuk dimasak bersama-sama atau diwakilkan kepada relawan sebagai  juru masak, yang masih teman seasrama. Lauk pauknya? Jangan membayangkan rendang daging sapi atau goreng ayam. Cukup sambal dadakan dan lalaban plus ikan asin atau peda merah sebagai lauk-pauk utama. Lalabannya berupa pucuk singkong, dan pohon imba, dari hasil memetik dikebun dekat kuburan di lingkungan pesantren atau yang ditanam didepan rumah kyai. Daun pucuk  singkong dan pucuk imba ini adalah menu  favorit sebagai teman sambal dadakan yang rasanya agak asin, dan manis, dipadu sambel terasi yang gurih, pedas dan mengenyangkan saat itu. Menu diluar itu, adalah hal yang istimewa. Jarang bertemu dengan barisan lauk elit, seperti;  ikan, ayam,  sayur, dan lain-lain. Cara  menghidangkan makannya adalah dengan alas daun pisang yang diamparkan terbalik. Nasi liwet yang masih panas langsung ditebar secara merata  di atas daun pisang, disusul dengan lalaban yang ditaruh di atas nasi liwet. Sambel beserta ikan asin plus sambel dadak diletakkan dipinggir-pinggir nasi sesuai ‘ kekuasaan ’ tempat duduk masing-masing.

Nisa sedang duduk di teras rumah belakang sambil minum teh. Dia adalah alumni pesantrean Al-khairiyyah, tahun 1988. Dia bercerita kepada anaknya yang duduk di kelas  9 SMP yang sudah beranjak remaja.

“Mamah ketemu sama ayahmu di pondok pesnatren itu..” Nisa membuka percakapan.

“ ooh jadi cinlok gitu ya mah?” Arini penasaran.

“ iyya kan Mamah jadi murid Papah waktu itu. Jadi sering ketemu dipengajian. Dan ayahmu itu, sering menyuruh Mamah untuk mengulang bacaan kitab. Istilahnya sorogan kitab yang diajarkan beliau..”

“ Siapa yang naksir duluan Mah?" tanya Arini bersemangat.

“ ya Papah laah...he he..” jawab Nisa.

                Nisa dan Ahmad berjodoh ketika keduanya lagi mondok di pesantren itu. Kini ia hidup bersama dengan keluarga yang dikarunia 3 orang anak yang sudah beranjak remaja dan dewasa. Ayah dari ketiga anak ini adalah santri senior yang sudah lama mondok. Ia menjadi salah satu staf pengajar atau Dewan Santri yang dipercaya membantu kelancaran jalannya kegiatan di pesantren. Hingga suatu ketika, datang murid baru, santriwati bernama Nisa yang punya paras putih dan cantik. Ahmad yang ketika itu menjadi salah satu guru sorogan kitab Nisa terpesona. Ustadz yang bersuara nyaring ini, tertarik dengan Nisa, seorang santri baru nan lugu yang menjadi santriyah di pesantren yang kecil itu.

Lengkaplah kebahagiaan Ahmad ketika itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Cinta Ahmad terbalaskan. Ia tak bertepuk sebelah tangan. Dibanyak kesempatan, Ahmad selalu menyuruh Nisa membacakan kembali hasil ‘ngalogat’ yang bacakan dihadapan santri asuhannya. Tradisi ngalogat adalah kegiatan menyimak bacaan yang dipandu oleh kyai atau ajengan atau ustadz dengan seksama. Para santri mengikuti sambil menandai dan menerjemahkan dengan menuliskan kata atau kalimat-kalimat enting dengan tulisan arab sunda dibagianbawah kitab kuning. Lengkap dengan tanda-tanda atau kode-kode khusus sebagai i’rab atau kedudukan kalimah dalam kitab tersebut. Dengan begitu para santri dilatih menerjemahkan sekaligus belajar memahami isi kitab dengan syarahnya atau penjelasannya, yang biasanya posisinya ada ditengah kitab kuning.

                   Istilah kitab kuning itu sendiri, sebenarnya tidak mutlak berupa kitab yang berwarna kuning semata. Tapi istilah dikalangan pesantren yang sebenarnya, saat ini kitab rujukan tidak hanya berwarna kuning. Tapi memang dulu kebanyakan kitab-kitab cetakannya dengan kertas berwarna kekuningan.

“ ya bagus Nisa, lumayan.., lebih sering lagi ya muroja’ah dan menyimaknya:..!

Ustad Ahmad mengomentari bacaan yang baru saja dilakukan oleh Nisa.

“ Sekarang antum, Ilham, silahkan baca..!”

“ bismillahairrahmanirrohiim,,,,! Ilham pun langsung membaca logatan yang baru saja dibackan oleh Nisa sebagai pembanding.

“ terus Mamah dulu, kalau ingin  ketemuan sama Ayah dimana ? Tanya Arini penasaran.

“ Yaaah..., kan di pengajian juga ketemu, gak usah ada waktu ketemuan khusus. Lagi pula kan di pesantren mah, malu atuh kalau berduaan ikhwan dan akhwat. Dilarang keras  sama pengurus pesantren. Paling kalau kangen bikin surat-suratan, he he...”.

Memang saat itu, belum ada alat komunikasi secanggih sekarang. Tradisi berkirim surat lewat pos masih dalam masa kejayaannya. Tahun 90 dan Tahun 2000 baru booming alat  komunikasi yang semakin canggih, Gadget, atau HP sudah menjadi kebutuhan dan mengalahkan alat komunikasi lain seperti telepon kabel dan lain-lain.

“ Mamah dan Papahmu dulu belum kenal HP seperti sekarang” Ibu Nisa menjelaskan.

“ oooh jadi papah kalau ingin ketemu sama Mamah gimana doong? Arini penasaran.

“ Ya janjian saja sama sobatnyanya, titip pesan. “ Nisa mengakiri percakapan sambil bergegas ke dapur mengambil air minum.

             Ustad Ahmad dan Ustadzah Nisa kini hidup bahagia dengan ketiga putra putrinya. Kini ayah yang punya usaha sampingan berwirausaha peternakan ini beserta adiknya menjadi pelopor membuka dan mengelola pesantren kecil di daerahnya. Ahmad menamakan pesantrennya sama dengan nama pesantren tempat ia dahulu mondok yakni : Al-Khairiyyah.  Pesantren yang ia kelola sekarang sudah berkembang dengan pesat. Bukan tanpa alasan Ahmad, menamakan pesantrennya Al-Khairiyyah itu. Ahmad berpendirian dengan nama itu sebagai prasasti dan penghormatan kepada Guru-guru yang ada dilingkungan pesantren sewaktu ia mondok dahulu. Sebaga kenangan terindah, karena selain mendapat ilmua agama, ia juga menapat kitab ‘antingan’ atau jodoh. Kini pesantrennya berkembang dengan membuka Pendidikan formal Madrasah Ibtida’iyah dan Madrasah Tsanawiyah yang ia kelola beserta keluarga dilingkungan pesantren.

Alhamduillah.

                                Mantan Rois pesantren dulu, kini telah menjadi kyai. Menjadi santri telah mengantarkannya menjadi seorang yang cukup menguasi ilmu agama.Ilmu yang sangat  dibutuhkan dan berguna bagi masyarakat disekitar lingkunyannya. Ahmad meyakini bahwa Pesantren adalah Garda terdepan sebagai komponen pembangun utama manusia yang beragama secaa benar, berbudi luhur, tasamuh,moderat dan setia terhadap NKRI. Pesantren menjadi salah satu jawaban dari berbagai macam persoalan moral bangsa seperti; degradasi moral, tameng dari merebaknya Narkoba, pergaulan bebas dan kehidupan remaja yang cenderung permisif. Pesantren menjadi sebuah jawaban terhadap keresahan para orang tua yang kebingungan harus kemana menyekolakan anaknya. Insya Alloh.

Ustadz Ahmad dan Ustadzah Nisa adalah salah satu alumni, produk pesantren yang berhasil menjawab tantangan zaman sekarang yang semakin berat. Maka benar apa yang dikatakan Sayidina Ali : Didiklah anak-anakmu, karena merak akan hidup bukan pada zaman yang anda alami saat ini. Nasihat futuristik ini serta kemampuan sesuai bakat dan minat, adalah suatu keniscayaan. Maka menjadi penting membekali Anak dengan ilmu di pesantren sebagaiamana yang diperintahkan Tuhan Yang Maha kuasa, dengan ilmu agama yang mumpuni. Membekali mereka dengan ilmu agama, pengetahuan dunia dan berbagai keterampilan adalah suatu jawaban menghadapi tantangan dan masa depan anak bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun