Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Paradoks WTP: Tujuan atau Akuntabilitas

21 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 21 Januari 2025   00:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Paradok WTP (Sumber: canva.com/dream-lab)

"Ketika WTP menjadi tujuan, kita lupa pada akuntabilitas yang sebenarnya. Apakah laporan keuangan yang rapi cukup untuk mencerminkan keadilan bagi masyarakat?"

Pembaca Kompasiana yang budiman, coba kita bayangkan… sebuah daerah "merayakan" predikat WTP dengan gegap gempita, tetapi di sisi lain, masyarakatnya masih mengeluhkan jalan rusak, layanan kesehatan yang terbatas, tunjangan guru, tunjangan kesehatan yang terlambat dan infrastruktur dasar yang tidak memadai. Apakah laporan keuangan yang rapi sudah cukup untuk mencerminkan tata kelola yang baik? Apakah cukup "merayakan WTP" jika masyarakat masih menunggu solusi untuk masalah infrastruktur dasar? Inilah yang disebut sebagai paradoks WTP… ketika simbol administratif seolah-olah menjadi pencapaian utama, sementara dampak nyata anggaran kepada masyarakat sering kali diabaikan.

Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi indikator yang sering “dirayakan” oleh pemerintah daerah. Namun, apakah predikat ini benar-benar mencerminkan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan? (Maaf, saya gunakan contoh ilustrasi untuk penyebutan daerah yang dimaksud), Sebagai contoh, Provinsi/Kabupaten X yang meraih predikat WTP, tetapi terungkap memiliki layanan publik yang buruk, seperti antrean panjang pelayanan di rumah sakit/puskesmas, jalan rusak yang belum diperbaiki bertahun-tahun, dan sekolah-sekolah tanpa fasilitas memadai seperti layanan internet. Situasi ini menggambarkan betapa kesenjangan antara laporan administratif dan kenyataan di lapangan masih sangat nyata. Data terbaru menunjukkan bahwa meskipun 90,3% pemerintah daerah di Indonesia meraih opini WTP pada 2023, laporan Ombudsman mencatat bahwa 40,38% layanan publik masih menjadi keluhan utama masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan yang buruk, keterlambatan distribusi bantuan sosial, tunjangan dan sertifikasi guru tertunda, dan administrasi yang lambat. Angka-angka ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang signifikan antara laporan administratif dan kenyataan di lapangan.

Apa Itu WTP dan Mengapa Menjadi Sorotan?

Untuk memahami pertanyaan tersebut, perlahan mari kita bahas. WTP adalah opini audit yang diberikan kepada entitas pemerintah yang laporan keuangannya dinilai sesuai dengan standar akuntansi, bebas dari kesalahan material, dan patuh pada peraturan. The Best-lah laporannya. Di atas kertas, WTP dianggap sebagai bukti akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Namun, apakah WTP benar-benar mencerminkan keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat?

Data dari BPK menunjukkan bahwa meskipun opini WTP terus meningkat, kelemahan mendasar seperti pengendalian internal yang lemah dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan masih ditemukan. Dalam laporan tahun 2023, kerugian negara akibat kelemahan ini mencapai Rp. 2,45 triliun, dengan potensi kerugian sebesar Rp. 405,2 miliar. Fakta ini menegaskan bahwa laporan keuangan yang rapi saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan tanggung jawab untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Siapa yang Terkait dalam Paradoks WTP?

Sebelum memahami pihak-pihak yang terkait dalam paradoks WTP, penting untuk melihat bagaimana setiap elemen berkontribusi terhadap tata kelola anggaran. Dari pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas penyusunan dan pelaksanaan anggaran, hingga BPK sebagai pengawas keuangan, serta masyarakat sebagai penerima manfaat, semua memiliki peran penting. Mari kita telusuri lebih dalam peran masing-masing pihak ini dalam memastikan bahwa WTP bukan hanya simbol administratif, tetapi juga mencerminkan akuntabilitas sejati.

1. Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah memegang peran utama dalam memastikan anggaran dikelola dengan baik. Namun, sering kali fokus mereka teralihkan pada pencapaian opini WTP tanpa mempertimbangkan dampak nyata terhadap masyarakat.

2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Sebagai lembaga yang memberikan opini WTP, BPK memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa penilaian mereka mencakup dampak anggaran terhadap kesejahteraan publik, bukan hanya aspek administratif.

3. Masyarakat

Masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari anggaran publik sering kali kurang dilibatkan dalam pengawasan dan kurang memahami bagaimana anggaran digunakan. Partisipasi masyarakat yang rendah menjadi salah satu faktor lemahnya akuntabilitas.

Kapan WTP Menjadi Tujuan dan Bukan Akuntabilitas?

Sebelum memahami bagaimana WTP dapat berubah menjadi tujuan semata, penting untuk melihat konteks yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah “merayakan” predikat WTP sebagai simbol keberhasilan administratif. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah predikat ini benar-benar mencerminkan tanggung jawab dan akuntabilitas anggaran? Laporan keuangan yang rapi sering kali menjadi kebanggaan, tetapi bagaimana dengan dampak nyata anggaran terhadap masyarakat? Apakah jalan berlubang sudah diperbaiki? Apakah layanan kesehatan semakin baik? Atau, apakah ini hanya formalitas yang memenuhi kepatuhan administratif?

WTP berubah menjadi tujuan semata ketika:

  • Pemerintah daerah lebih fokus pada laporan keuangan yang rapi sebagai simbol keberhasilan daripada memastikan anggaran digunakan secara efektif dan benar.
  • Mekanisme pengawasan internal yang lemah membuat evaluasi dampak anggaran terhadap masyarakat terabaikan.
  • Kepatuhan administratif menjadi prioritas dibandingkan dengan transparansi dan hasil nyata di lapangan.

Yang sering terjadi di banyak daerah, daerah-daerah yang meraih predikat WTP tetap menghadapi kritik tajam atas layanan publik yang buruk. Hal ini menyoroti perlunya perubahan perspektif: dari sekadar meraih opini WTP menjadi memastikan anggaran benar-benar memberikan manfaat nyata.

Bagaimana Memastikan WTP Mencerminkan Akuntabilitas?

Tentunya, perlu di pikir sebuah langkah-langkah strategis untuk menjadikan opini WTP lebih dari sekadar simbol administratif. Rekomendasi ini penulis anggap urgent untuk memastikan bahwa tata kelola anggaran tidak hanya memenuhi aspek formalitas, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Dengan memahami peran pemerintah daerah, reformasi di tingkat BPK, dan pentingnya partisipasi masyarakat, kita dapat menciptakan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan relevan.

1. Rekomendasi untuk Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah harus menyadari bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah awal yang harus diikuti dengan evaluasi berkelanjutan. Langkah ini dapat diukur melalui peningkatan transparansi anggaran, pelibatan masyarakat dalam pengawasan, dan penilaian dampak langsung dari program-program yang didanai anggaran tersebut. Tanpa pengukuran yang jelas, opini WTP hanya akan menjadi simbol administratif tanpa substansi nyata. Transparansi anggaran harus menjadi prioritas utama. Implementasi sistem e-budgeting dan e-audit tidak hanya menutup celah korupsi tetapi juga memungkinkan masyarakat untuk ikut memantau penggunaan anggaran secara real-time. Contoh nyata, misalnya, adalah memastikan dana untuk infrastruktur benar-benar menghasilkan jalan yang layak digunakan atau fasilitas kesehatan yang memadai.

2. Reformasi Penilaian oleh BPK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melakukan reformasi pada standar penilaian opini WTP. Selain memeriksa laporan keuangan, penilaian juga harus mencakup evaluasi terhadap dampak anggaran pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya, keberhasilan alokasi dana pendidikan harus diukur berdasarkan jumlah anak yang mendapatkan akses sekolah gratis atau peningkatan kualitas pendidikan di daerah terpencil. Dengan cara ini, WTP akan menjadi indikator yang lebih relevan bagi masyarakat.

3. Peningkatan Literasi dan Partisipasi Masyarakat

Literasi keuangan masyarakat harus ditingkatkan agar mereka mampu memahami bagaimana anggaran digunakan. Transparansi tidak cukup jika masyarakat tidak dapat memanfaatkan informasi tersebut. Pemerintah daerah dapat mengadakan forum publik atau menyediakan laporan keuangan yang mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat umum. Partisipasi publik dalam proses pengawasan ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan tetapi juga memperkuat akuntabilitas.

Kesimpulan

Paradoks WTP mengajarkan kita bahwa laporan keuangan yang rapi tidak cukup untuk mencerminkan tata kelola yang baik. WTP seharusnya menjadi langkah awal menuju transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar. Pemerintah daerah, BPK, dan masyarakat memiliki peran bersama dalam memastikan opini WTP benar-benar mencerminkan dampak nyata bagi masyarakat.

"WTP bukan sekadar predikat, tetapi amanah untuk menjaga kepercayaan publik. Akuntabilitas adalah tujuan utama, bukan hanya simbol administratif."

Mari kita jadikan predikat WTP lebih bermakna dengan langkah konkret. Dukung transparansi anggaran, aktif dalam forum masyarakat, dan dorong penerapan sistem e-budgeting yang lebih inklusif agar setiap anggaran dapat memberikan manfaat nyata. Laporan keuangan bukan hanya soal angka, tetapi tentang bagaimana anggaran dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Apakah daerah Anda sudah melangkah ke arah itu? Semoga ini menjadi refleksi bersama.

Transparansi tanpa akuntabilitas adalah ilusi. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap predikat WTP tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga wujud nyata dari keadilan anggaran yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun