"Ketika WTP menjadi tujuan, kita lupa pada akuntabilitas yang sebenarnya. Apakah laporan keuangan yang rapi cukup untuk mencerminkan keadilan bagi masyarakat?"
Pembaca Kompasiana yang budiman, coba kita bayangkan… sebuah daerah "merayakan" predikat WTP dengan gegap gempita, tetapi di sisi lain, masyarakatnya masih mengeluhkan jalan rusak, layanan kesehatan yang terbatas, tunjangan guru, tunjangan kesehatan yang terlambat dan infrastruktur dasar yang tidak memadai. Apakah laporan keuangan yang rapi sudah cukup untuk mencerminkan tata kelola yang baik? Apakah cukup "merayakan WTP" jika masyarakat masih menunggu solusi untuk masalah infrastruktur dasar? Inilah yang disebut sebagai paradoks WTP… ketika simbol administratif seolah-olah menjadi pencapaian utama, sementara dampak nyata anggaran kepada masyarakat sering kali diabaikan.
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi indikator yang sering “dirayakan” oleh pemerintah daerah. Namun, apakah predikat ini benar-benar mencerminkan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan? (Maaf, saya gunakan contoh ilustrasi untuk penyebutan daerah yang dimaksud), Sebagai contoh, Provinsi/Kabupaten X yang meraih predikat WTP, tetapi terungkap memiliki layanan publik yang buruk, seperti antrean panjang pelayanan di rumah sakit/puskesmas, jalan rusak yang belum diperbaiki bertahun-tahun, dan sekolah-sekolah tanpa fasilitas memadai seperti layanan internet. Situasi ini menggambarkan betapa kesenjangan antara laporan administratif dan kenyataan di lapangan masih sangat nyata. Data terbaru menunjukkan bahwa meskipun 90,3% pemerintah daerah di Indonesia meraih opini WTP pada 2023, laporan Ombudsman mencatat bahwa 40,38% layanan publik masih menjadi keluhan utama masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan yang buruk, keterlambatan distribusi bantuan sosial, tunjangan dan sertifikasi guru tertunda, dan administrasi yang lambat. Angka-angka ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang signifikan antara laporan administratif dan kenyataan di lapangan.
Apa Itu WTP dan Mengapa Menjadi Sorotan?
Untuk memahami pertanyaan tersebut, perlahan mari kita bahas. WTP adalah opini audit yang diberikan kepada entitas pemerintah yang laporan keuangannya dinilai sesuai dengan standar akuntansi, bebas dari kesalahan material, dan patuh pada peraturan. The Best-lah laporannya. Di atas kertas, WTP dianggap sebagai bukti akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Namun, apakah WTP benar-benar mencerminkan keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat?
Data dari BPK menunjukkan bahwa meskipun opini WTP terus meningkat, kelemahan mendasar seperti pengendalian internal yang lemah dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan masih ditemukan. Dalam laporan tahun 2023, kerugian negara akibat kelemahan ini mencapai Rp. 2,45 triliun, dengan potensi kerugian sebesar Rp. 405,2 miliar. Fakta ini menegaskan bahwa laporan keuangan yang rapi saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan tanggung jawab untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Siapa yang Terkait dalam Paradoks WTP?
Sebelum memahami pihak-pihak yang terkait dalam paradoks WTP, penting untuk melihat bagaimana setiap elemen berkontribusi terhadap tata kelola anggaran. Dari pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas penyusunan dan pelaksanaan anggaran, hingga BPK sebagai pengawas keuangan, serta masyarakat sebagai penerima manfaat, semua memiliki peran penting. Mari kita telusuri lebih dalam peran masing-masing pihak ini dalam memastikan bahwa WTP bukan hanya simbol administratif, tetapi juga mencerminkan akuntabilitas sejati.
1. Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah memegang peran utama dalam memastikan anggaran dikelola dengan baik. Namun, sering kali fokus mereka teralihkan pada pencapaian opini WTP tanpa mempertimbangkan dampak nyata terhadap masyarakat.
2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Sebagai lembaga yang memberikan opini WTP, BPK memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa penilaian mereka mencakup dampak anggaran terhadap kesejahteraan publik, bukan hanya aspek administratif.
3. Masyarakat