"Ramadan", bulan penuh ampunan, penuh berkah, bulan mulia ajang setiap mukmin untuk bermuhasabah. Namun, ada yang berbeda dengan ramadan 1441 H tahun ini. Di tengah-tengah wabah virus covid19, baik ibadah atau tradisi ramadannya tidak seperti biasanya.Â
Ramadan kali ini diharuskan berdiam di rumah, pembatasan jarak atau kerumunanan, sholat di rumah, taraweh di rumah, tidak bisa ngabuburit, tidak ada buka puasa bersama, dilarang mudik, sholat idul fitri dan tradisi bersalaman memakai baju baru pun kemungkinan tidak bisa dilaksanakan.
Sebagaimana kita ketahui ibadah puasa Ramadan adalah ibadah diwajibkan bagi orang yang beriman dengan tujuan meningkatkan derajat takwa, sebagaimana firman Allah SWT: Â "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah, Ayat 183). Jika direnungkan secara mendalam, ramadan memiliki konsep yang luar biasa dalam meningkatkan kualitas manusia. Â
Itulah sebabnya bulan puasa juga disebut sebagai syarut tarbiyah, baik tarbiyah jasadiyah, tarbiyah qolbiyah, dan tarbiyah fikriyah. Harapannya, selepas mengikuti pendidikan, seluruh peserta didik yang terdiri dari orang-orang bertakwa yang menjalankan puasa, mampu membawa nilai-nilai kebaikan selama mengikuti proses pendidikan setelah bulan suci ramadan.Â
Terdapat bagian demi bagian yang kita dapatkan dari konsep tarbiyah, dilihat dari konsep pendidikan modern yaitu Input-Proses-Ouput dan Outcomes. Pertama, Orang-orang yang beriman. Merupakan input yang akan dimasukkan ke dalam sistem pendidikan atau tarbiyah Ramadhan. Â
Kedua, Puasa. Merupakan proses atau sistem yang akan mengolah input (orang-orang beriman) untuk digembleng, digodok selama sebulan penuh untuk mengikuti pelatihan dan pelatihan.Â
Ketiga, Takwa. Merupakan output atau hasil yang ingin dicapai oleh tarbiyah ramadan yang dilakukan selama sebulan. Dan Keempat, Outcmes. Ukuran kualitas ketakwaan, ibadah dan akhlak kita selepas ramadan untuk terus istiqomah dan meningkat sebagai Outcomes dari tarbiyah ramadan itu sendiri sampai kita dipertemukan kembali dengan ramadan-ramadan selanjutnya.
Momentum pandemi corona dan keputusan pemerintah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah, merangsang kita untuk mengembalikan esensi cara menjalani ibadah puasa itu sendiri.Â
Ramadan kali ini menjadi ajang kita senantiasa bermuhasabah setiap hari sampai tiga puluh hari penuh, tanpa harus menunggu sepuluh hari terakhir Ramadan. Saatnya kita bermesraan dengan Sang Maha Pencipta dengan bersimpuh di hadapan-Nya, meluapkan segala kegundahan kepada-Nya.
Bisa jadi inilah momentum terbaik dan tidak ditemukan lagi tahun depan, dan terbaik untuk bermuhasabah. Mampu merefleksi diri mengevaluasi perilaku kita selama ini kepada keluarga, kepada tetangga, kepada rekan kerja, dan kepada masyarakat pada umumnya.Â
Apakah kita benar-benar malakukan tugas utama kita untuk senantiasa beribadah? Apakah kehadiran kita di tengah-tengah mereka telah memberikan manfaat?Â
Apakah kita telah benar-benar menjalankan amanat Allah bahwa kehadiran kita di dunia menjadi khalifah bagi semesta alam?, tentunya muhasabah pada Ramadan 1441 H tahun ini menemukan jalannya sendiri.
Terdapat banyak nilai-nilai yang bisa digali dalam pelaksanaan ibadah puasa; Pertama, Puasa menjadi sarana mensucikan hati dan jiwa agar taat kepada perintah-Nya, sekaligus mengobati dan menjadi terapi kesehatan manusia serta menjaga diri dari keburukan.
Syekh Muhammad al-Gazali dalam Akhlak Seorang Muslim mengatakan, ibadah puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji. Â
Kedua, puasa mengajari kita untuk menolong orang lain atau peduli akan sesama (sense of responsibility). Hanya dengan mengalami dan merasakan langsung jiwa sosial dan kepekaan kita terhadap sesama akan muncul dan terasah, puasa mengajari kita untuk saling berbagi dan memberi kepada saudara yang kekurangan.Â
Kesulitan hidup karena imbas Covid-19 seperti saat ini, menjadi ladang dan peluang amal untuk membuktikan makna shaum yang kita lakukan. Â
Ketiga, puasa melatih kita untuk mempererat dan memperkokoh senasib, mencintai, dan menyayangi sesama muslim lainnya. Maka perilakunya menjadi lebih terpuji dan dijauhkan dari sifat meng-underestimate orang lain, cenderung bersifat toleran, peduli dan rekonsiliatif yang lebih mengutamakan hidup dalam kebersamaan.Â
Dan Keempat, menguatkan aspek mental. Ramadan memotivasi kita untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, dan membersihkan dosa dan kesalahan, sehingga menghasilkan kualitas mental dan diri yang lebih baik. Â
Mudik Spiritual
Bagi kaum muslim, menjadi sebuah momen puncak dan ritus paling suci yang menandai berakhirnya momen bulan Ramadan adalah dengan mudik lebaran.Â
Di masa pandemi ini, tidak atau menunda mudik adalah moment untuk lebih menguatkan tradisi mudik lebaran bukan hanya sekadar tradisi tahunan khas Indonesia.Â
Senyatanya mudik, bukan hanya pulang ke tanah kelahiran, bertemu dengan orang tua, berkumpul dengan sahabat, memakai baju baru, bagi-abagi rejeki, mencium aroma lembah, bukit dan pepohonan. Lebih jauh lagi, ini adalah saat di mana kita mulang ke udik untuk rekalibrasi diri secara spiritual dan sosial.
Dimana makna mudik yang hakiki adalah kita kembali terlahir fitri kembali, mudik dalam makna kita benar-benar kembali fitrah, kita kembali suci seperti bayi yang baru lahir.Â
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa berpuasa ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni". Dan orang-orang yang mudik sesungguhnya sedang menjalani teologi "ilaihi roji'un", setiap orang pada saatnya pasti mudik ke kampung halaman abadi.Â
Itulah mudik spritual, yakni kembali ke hadapan Allah Sang Maha Pemilik segalanya. Perjalanan pulang yang tentunya penuh liku, menempuh jarak yang cukup panjang dan melelahkan. Â
Semakin jelas jika kehadiran ramadan menjadi kebutuhan kita untuk meng-upgrade iman dan taqwa sehingga kita benar-benar menjadi khaira ummah.Â
Menjadi semakin kuat dan tebal iman, semakin meningkat taqwanya yang akhirnya kita dapat mendekati bangunan yang ideal yakni menjadi insan kamil yang akan kembali menuju Sang Pemiliknya.Â
Tidak ditampikan setelah bulan ramadan berlalu, orang akan terbagi menjadi beberapa bagian, namun secara garis besarnya mereka terbagi dua golongan. Â
Golongan yang pertama yaitu orang yang pada bulan ramadan tampak sungguh-sungguh dalam ketaatan namun itu semua hanya berlalu begitu saja bersama habisnya bulan ramadan dan setelah itu ia kembali lagi bermalas-malasan, kembali mendatangi maksiat seolah-olah ia baru saja dipenjara dengan berbagai macam ketaatan lalu kembali terjerumus dalam syahwat dan kelalaian juga mengulangi perbuatan-perbuatan maksiatnya di masa lalu. Â
Golongan yang kedua yaitu orang yang bersedih ketika berpisah dengan bulan ramadan mereka rasakan nikmatnya kasih dan penjagaan Allah, mereka lalui dengan penuh kesabaran, mereka sadari hakekat keadaan dirinya, betapa lemah, betapa hinanya mereka di hadapan Yang Maha Kuasa, mereka berpuasa dengan sebenar-benarnya, mereka shalat dengan sungguh-sungguh.Â
Perpisahan dengan bulan ramadan membuat mereka sedih, bahkan tak jarang di antara mereka yang menangis. Sebab itu, keberhasilan shaum akan tampak manakala lahir pribadi yang shaleh ritual dan shaleh sosial. Allahu a'lam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H