Politik identitas sering kali terjadi di Indonesia karena menurut Prof Abd. Rasyid Masri dalam tulisannya Politik Identitas Menuju Pemilu Presiden, dikutip dari laman uin.alaudin.ac.id, menuliskan bahwa politik identitas sering terjadi di Indonesia karena kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia belum terlepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme yang masih kuat mengakar dalam  budaya masyarakat Indonesia sekalipun sudah hidup di era demokratisasi terbuka dan era digitalisasi modern.
Ia mencontohkan bentuk dari politik identitas di masa lampu yaitu seperti PKI pada saat itu mengikuti kontestasi politik di Indonesia karena gerakan politiknya mengajak kelompoknya untuk bersatu dalam identitas faham komunis atau yang sehaluan dengan pemikiran sosialis untuk memilih sesama anggotanya, dan hal tersebut juga digunakan oleh partai Islam atau ormas Islam yang mengkapanyekan untuk memilih tokoh politik dari Islam.
Selain itu politik identitas kesukuan juga sering kali kita jumpai seperti pernyataan bahwa pemimpin itu harus orang Jawa, dan lain-lainnya. Itu juga merupakan bentuk dari politik identitas yang berbasis etnisitas, masih menurutnya.
Politik identitas diartikan sebagai langkah politik yang memfokuskan terhadap pembedaan dan penggunaan ikatan primordial yang menjadi ketegori utamannya. Indentitas politik dapat minimbulkan toleransi dan kebebasan akan tetapi di lain sisi  dapat menimbulkan pola-pola intoleransi, kekerasan, dan perpecahan etnik. Sebagaimana menurut Buchari melalui Jumadi (2009) menjelaskan bahwa konsep indentitas secara general di pahami sebagai sebuah citra yang membedakan individu ataupun kelompok dengan individu atau kelompok lainnya. Indentitas dapat menimbulkan pola-pola perpecahan di masyarakat.
Politik identitas yang meyebabkan Polarisasi sangat nyata terlihat khususnya pada kampanye pemilihan presiden 2014 yang dimana calon saat itu yang maju ialah Joko Widodo di usung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Prabowo Subianto yang merupakan pendiri Partai Gerindra. Yang kemudian hal yang sama terjadi lagi pada Pemilihan Presiden 2019 dimana adanya pertarungan simbolik  antar kubu "Cebong" versus  "Kampret" tentunya hal ini tidak asing lagi terdengarnya di telinga terlebih ketika masa kampanye khususnya di media sosial.Â
Pemilu yang seharusnya menjadi ruang tumbuhnya perbedaan ideologis sehingga pada setiap calon dapat menunjukkan perbedaanya sesuai dengan garis perjuangan partai tersebut. Akan tetapi justru dalam realitasnya cenderung mendorong sifat propaganda dan memimbulkan "kebencian".
Penggunaan politik identitas muncul juga pada pemilihan gubernur 2017 di DKI Jakarta dimana komunitas muslim melakukan gerakan massa dalam jumlah yang besar untuk melawan mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal Ahok dan politik identitas ini efektif untuk mengalahkan lawan politiknya.
Politik identitas sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia serta berdampak juga kepada masyarakat yang mengakibatkan terjadinya perpecahan dalam masyarakat itu sendiri sebagaimana di sampaikan oleh "Politik Identitas sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi karena dapat menimbulkan polarisasi tajam pada masyarakat yang berdampak perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa dan merusak nilai pencasila. Politik Idnetitas yang berpotensi memecah belah ialah politik identitas yang mengatasnamakan Agama".
Jadi politik identitas sangatlah bahaya bagi demokrasi di Indonesia, namun apakah politik identitas yang menimbulkan polarisasi ini akan terjadi di kontestasi pemilu 2024 nanti? Lalu bagaimana cara untuk menghindari politik identitas ini? Boleh utarakan gagasan mu di kolom komentar, terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H