Mohon tunggu...
Asep Ilham
Asep Ilham Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis adalah cara untuk menuangkan berbagai pertanyaan dalam pikiran, lalu dijawab dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Politik Identitas, Politik Memecah Belah?

9 Februari 2023   11:29 Diperbarui: 9 Februari 2023   16:16 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.eposdigi.com

Pemilu 2024 sebentar lagi terlaksana, gembor-gembor calon kontestasi Pemilu pun sudah mulai nampak terlihat berbagai partai politik sudah mulai memusyawarahkan siapa yang akan mewakili partai dalam kontestasi nanti, dan ada pula yang sudah memilih calon yang akan di usung, sebagaimana koalisi perubahan yang terdiri dari partai Nasdem, PKS, dan, Demokrat yang sudah menentukan dukungan kepada Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024, sehingga Anies merupakan satu-satunya calon yang sudah memenuhi syarat Threshold pilpres 2024, karena di dukung tiga partai yang memenuhi syarat suara sebagaimana Pasal 222 UU 2017 tentang Pemilu yang berbunyi.

"Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".

Dimana pada Pemilu 2019 NasDem mendapatkan suara 12.661.792 (9,05 persen), PKS: 11.493.663 (8,21 persen), dan Demokrat: 10.876.507 (7,77 persen). Sehingga gabungan tiga partai ini sudah mencapai 25,03% dari suara sah nasional Pemilu Legislatif 2019. Sebagaimana di kutip dari kontan.co.id.

Menarik ditunggu siapa lagi calon-calon yang akan di usung oleh partai politik lainnya dalam kontestasi di pemilu 2024 kelak.

Dalam kontestasi politik di Indonesia kerap kali menghasilkan polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembagian atas dua bagian. Namun apabila kita tarik kepada konteks politik polarisasi sebagaimana di kutip dari Tempo.co merupakan dua kelompok yang memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda secara politik.

Polarisasi politik kerap terjadi karena pada masa kampanye para kandidat sering kali menyuarakan sesuatu yang terkait dengan persamaan identitas, hal tersebut dilakukan untuk meraih dukungan dari masyarakat yang merasa memiliki persamaan identitas. Sebagaimana menurut Karim, A. G. Dalam tulisannya di Politika: Jurnal Ilmu politik, yang berjudul Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset.

"Polarisasi politik dapat muncul karena faktor identitas, akan tetapi lebih berfokus pada faktor lainnya, yaitu persepsi atas pengelolaan kekuasaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi munculnya polarisasi ialah Identitas".

Polarisasi muncul karena faktor identitas, politik di Indonesia tidak pernah lepas dari faktor tersebut, hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia yang memiliki beragam etnis, ras, agama, dan lain-lain, serta orang Indonesia yang terkenal fanatik terhadap sesuatu yang mereka ikuti. Maka melihat fenomena tersebut banyak politisi yang memanfaatkan hal itu untuk meraih dukungan dalam kontestasi politik dengan tujuan memenangkan suara sebanyak-banyaknya agar menang dalam kontestasi, dan pada akhirnya bisa mendapat kekuasaan. Setelah mereka berhasil mendulang suara dengan memecah-mecah masyarakat terkadang setelah mendapat kekuasaan mereka abai terhadap perpecahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga di masyarakat sendiri satu sama lain saling membenci karena perbedaan pilihan saat kontestasi terjadi.

Identitas yang sering digunakan dalam kontestasi politik adalah identitas agama. Agama acap kali dijadikan alat untuk mendulang suara. Biasa kita bilang bahwa hal tersebut disebut sebagai politik identitas, namun masih banyak yang memperdebatkan perihal politik identitas ini. Adapun politik identitas yang berbasis agama sebagaimana dikutip dari laman Kemenag mengenai Kepahlawanan dan politik identitas yang di tulis oleh Yaqut Cholil Qoumas bahwa politik identitas berbasis agama merupakan suatu gerakan yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan.

Bentuk dari politik identitas berbasis agama masih menurut Yaqut Cholil Qoumas seperti jual beli ayat, komodifikasi agama, ujaran kebencian, kampanye hitam, fitnah, dan intimidasi lawan politik dengan menggunakan argumen keagamaan. Sering pula terjadi janji-janji pembangunan tempat ibadah, madrasah, pesantren, makam, dan lain-lain. Serta label-label seperti kafir, neraka, pelaku bidah, dan bahasa-bahasa yang kurang mengenakan pun sering kali muncul kepada mereka yang berbeda pilihan.

Politik identitas sering kali terjadi di Indonesia  karena menurut Prof Abd. Rasyid Masri dalam tulisannya Politik Identitas Menuju Pemilu Presiden, dikutip dari laman uin.alaudin.ac.id, menuliskan bahwa politik identitas sering terjadi di Indonesia karena kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia belum terlepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme yang masih kuat mengakar dalam  budaya masyarakat Indonesia sekalipun sudah hidup di era demokratisasi terbuka dan era digitalisasi modern.

Ia mencontohkan bentuk dari politik identitas di masa lampu yaitu seperti PKI pada saat itu mengikuti kontestasi politik di Indonesia karena gerakan politiknya mengajak kelompoknya untuk bersatu dalam identitas faham komunis atau yang sehaluan dengan pemikiran sosialis untuk memilih sesama anggotanya, dan hal tersebut juga digunakan oleh partai Islam atau ormas Islam yang mengkapanyekan untuk memilih tokoh politik dari Islam.

Selain itu politik identitas kesukuan juga sering kali kita jumpai seperti pernyataan bahwa pemimpin itu harus orang Jawa, dan lain-lainnya. Itu juga merupakan bentuk dari politik identitas yang berbasis etnisitas, masih menurutnya.

Politik identitas diartikan sebagai langkah politik yang memfokuskan terhadap pembedaan dan penggunaan ikatan primordial yang menjadi ketegori utamannya. Indentitas politik dapat minimbulkan toleransi dan kebebasan akan tetapi di lain sisi  dapat menimbulkan pola-pola intoleransi, kekerasan, dan perpecahan etnik. Sebagaimana menurut Buchari melalui Jumadi (2009) menjelaskan bahwa konsep indentitas secara general di pahami sebagai sebuah citra yang membedakan individu ataupun kelompok dengan individu atau kelompok lainnya. Indentitas dapat menimbulkan pola-pola perpecahan di masyarakat.

Politik identitas yang meyebabkan Polarisasi sangat nyata terlihat khususnya pada kampanye pemilihan presiden 2014 yang dimana calon saat itu yang maju ialah Joko Widodo di usung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Prabowo Subianto yang merupakan pendiri Partai Gerindra. Yang kemudian hal yang sama terjadi lagi pada Pemilihan Presiden 2019 dimana adanya pertarungan simbolik  antar kubu "Cebong" versus  "Kampret" tentunya hal ini tidak asing lagi terdengarnya di telinga terlebih ketika masa kampanye khususnya di media sosial. 

Pemilu yang seharusnya menjadi ruang tumbuhnya perbedaan ideologis sehingga pada setiap calon dapat menunjukkan perbedaanya sesuai dengan garis perjuangan partai tersebut. Akan tetapi justru dalam realitasnya cenderung mendorong sifat propaganda dan memimbulkan "kebencian".

Penggunaan politik identitas muncul juga pada pemilihan gubernur 2017 di DKI Jakarta dimana komunitas muslim melakukan gerakan massa dalam jumlah yang besar untuk melawan mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal Ahok dan politik identitas ini efektif untuk mengalahkan lawan politiknya.

Politik identitas sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia serta berdampak juga kepada masyarakat yang mengakibatkan terjadinya perpecahan dalam masyarakat itu sendiri sebagaimana di sampaikan oleh "Politik Identitas sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi karena dapat menimbulkan polarisasi tajam pada masyarakat yang berdampak perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa dan merusak nilai pencasila. Politik Idnetitas yang berpotensi memecah belah ialah politik identitas yang mengatasnamakan Agama".

Jadi politik identitas sangatlah bahaya bagi demokrasi di Indonesia, namun apakah politik identitas yang menimbulkan polarisasi ini akan terjadi di kontestasi pemilu 2024 nanti? Lalu bagaimana cara untuk menghindari politik identitas ini? Boleh utarakan gagasan mu di kolom komentar, terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun